Sampai sebulan lalu para ekonom domestik masih optimis bahwa krisis kali ini dampaknya tidak separah krisis 1997/1998. Sekurangnya optimisme itu dibangun dari tiga argumen. Pertama, krisis 1997 ditandai dengan kerapuhan struktur keuangan korporasi dan pemerintah yang memiliki banyak utang (luar negeri). Celakanya, sebagian utang tersebut jatuh tempo saat krisis terjadi, padahal nilai kurs rupiah (terhadap dolar AS) sudah sangat merosot. Sebaliknya, sekarang situasi keuangan perusahaan dan pemerintah lebih bagus ketimbang satu dasawarsa lalu. Kedua, fundamental ekonomi saat ini juga lebih kuat daripada 1997/1998, misalnya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, jumlah utang luar negeri, dan lain-lain. Ketiga, krisis kali ini hanya bersumber dari pasar modal sehingga tidak terlalu terpengaruh terhadap sektor riil. Ini beda dengan sepuluh tahun lalu yang dipicu oleh penurunan nilai tukar sehingga sangat dekat dengan sektor riil.
Perang Ekonomi
Nampaknya, hari-hari ini optimisme itu harus ditelan karena perkembangan krisis benar-benar dramatis, khususnya di negara-negara maju. Pasar saham di luar negeri tidak kunjung pulih (rebound) meskipun serangkaian kebijakan sudah diambil. Bahkan, ketika tingkat suku bunga panduan, seperti Fed rate, telah diturunkan ke level yang sangat rendah, tapi tidak kunjung menolong keadaan. Pertemuan-pertemuan bilateral dan multilateral sudah digelar, termasuk G-20 dan APEC (yang berlangsung saat ini), tetapi respons perbaikan benar-benar lamban, untuk tidak menyebut justru kian memburuk. Korporasi investasi dan keuangan raksasa dunia hampir tiap hari mengumumkan kebangkrutannya. Bahkan, perusahaan otomotif terbesar dunia, seperti General Motors, yang tidak pernah dibayangkan akan ambruk, sekarang malah sedang mempertimbangkan untuk pailit. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana, merayap dari satu korporasi ke perusahaan lainnya.
Situasi yang sama dijumpai juga di Indonesia. Sampai akhir Oktober 2008, saat krisis boleh dikatakan dapat diisolasi pada pasar modal, perusahaan yang ambruk diidentifikasi hanya yang memiliki intensi tinggi terhadap pasar modal, khususnya korporasi pertambangan. Tapi, begitu krisis menjalar ke nilai tukar, maka perusahaan yang sesak napas bertambah banyak. Ini ditambah dengan kebijakan pemerintah yang sangat ketat dengan menaikkan BI rate sehingga menjadi palu godam bagi pertumbuhan sektor riil. Kedua kondisi itu, yakni pernurunan nilai tukar rupiah (yang mencapai Rp 12.000/dolar AS) dan kenaikan BI rate, membuat sektor riil goyah melalui dua jalur. Pertama, penurunan nilai tukar menyebabkan perusahaan yang tergantung dari bahan baku impor menjadi kewalahan untuk meneruskan produksi. Kejadian ini banyak menimpa di sektor industri pengolahan. Kedua, kenaikan BI rate menyebabkan investasi macet dan daya beli konsumen merosot akibat tingginya kredit.
Lebih parah lagi, perusahaan yang selama ini berorientasi ekspor juga kelimpungan akibat perlambatan ekonomi dunia. Minggu lalu, saat saya berbicara dalam sebuah sesi seminar yang juga dihadiri oleh Sekjen Apindo, diceritakan bahwa industri sekarang telah mengalami penundaan, pembatalan, dan penghentian order dari luar negeri. Para pengusaha juga semakin bingung untuk merencanakan usaha karena kurs rupiah bergerak liar tanpa kepastian. Ini membuat masa depan dunia usaha benar-benar gelap karena pasar internasional berhenti berdenyut dan pasar domestik juga kian lemah daya belinya. Secara diam-diam, sebagian usaha kecil dan menengah telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perusahaan besar sudah ada yang mendaftarkan untuk mem-PHK karyawannya. Para ekonom sudah membuat kalkulasi, pada 2009 diperkirakan akan terjadi PHK sekitar 500 ribu – 1 juta tenaga kerja. Inilah perang ekonomi sedang dihadapi hari-hari ini.
Instrumen Fiskal
Dalam menghadapi situasi ini, sebetulnya pemerintah telah mengambil kebijakan yang cukup banyak, namun efektivitasnya menimbulkan pertanyaan besar. Operasi pasar terhadap penurunan rupiah sudah menghabiskan sekitar US$ 8 miliar tanpa hasil yang menggembirakan, sehingga malah membuat cadangan devisa anjlok ke level US$ 51 miliar. Masyarakat masih ramai-ramai memborong dolar, sesuatu yang sebetulnya sulit diterima akal sehat karena negara produsen uang tersebut saat ini sedang sekarang. BI telah membatasi permintaan valuta asing sejak dua minggu lalu, khususnya bagi kepentingan noninvestasi/nontransaksi. Tapi nampaknya kebijakan itu perlu didukung oleh penerapan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Kebijakan ini mungkin tidak populer, tapi dalam situasi seperti sekarang pilihan-pilian kebijakan amat terbatas, sementara penerapan floating exchange rate terbukti tidak banyak menolong keadaan.
Sementara itu, bagi sektor riil ruang kebjakan yang dipunyai juga tidak kalah sempit. Pemerintah praktis hanya memanfaatkan anggaran negara (APBN), sebab semua sektor privat nyaris melemparkan handuk putih. Oleh karena itu, pemerintah harus jujur dan cerdas menggunakan instrumen fiskal untuk memulihkan perekonomian. Pertama, kebijakan fiskal dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan “konvensional” dalam rupa padat karya, khususnya menampung tenaga kerja yang mengalami PHK dan para penganggur lainnya. Kedua, mengalokasikan sebagian besar anggaran fiskal untuk merevitalisasi sektor industri dan pertanian yang akan berimplikasi terhadap penyerapan tenaga kerja dan membatasi pembengkakan jumlah kaum miskin. Ketiga, pemerintah harus berani melakukan penundaan pembayaran utang (luar negeri) agar beban fiskal tidak terlalu berat. Dengan jalan ini, potensi untuk memenangkan perang melawan krisis masih terbuka lebar.
Jawa Pos, 25 November 2008
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef