Iklim persaingan perekonomian dunia yang semakin terbuka membuat kompetisi ekonomi kian ketat, tidak terkecuali di sektor perbankan. Persoalan menjadi lebih pelik karena tantangan di sektor perbankan Indonesia akan semakin sulit dengan diterapkannya API (Arsitektur Perbankan Indonesia). API sendiri merupakan kebijakan pemerintah terhadap dunia perbankan di Indonesia yang penerapannya dimulai pada 2010, berbarengan dengan rencana penerapan Basel Accord-2, yang fokusnya hendak memerkuat struktur perbankan, pengawasan yang ketat, dan perlindungan nasabah. Tentu, kebijakan API tersebut menuntut setiap bank berlomba memerbaiki kinerjanya, termasuk menghimpun dana dari masyarakat. Dalam rangka meningkatkan jumlah nasabah agar modal perusahaan meningkat, maka bank-bank harus banyak melakukan promosi, inovasi produk, dan perbaikan kualitas pelayanan.
Dengan begitu, API memang menjadi kebutuhan mendesak bagi perbankan Indonesia dalam memperkuat struktur sektor perbankan. Krisis ekonomi 1997 menunjukkan industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan yang kokoh dengan dukungan infrastruktur perbankan yang baik, sehingga secara fundamental masih harus diperkuat untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal. Belum kokohnya pilar perbankan nasional jelas merupakan tantangan yang berat, bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya.
Menerobos Pasar ASEAN
Dalam persiapan menghadapi semakin berkembangnya sektor perbankan di dunia, terutama di ASEAN, sudah barang tentu pemerintah wajib memerbaiki kinerja perbankannya. Standar kinerja yang dikehendaki harus sesuai dengan standar perbankan di ASEAN. Jika diamati secara teliti, sebetulnya fundamental perbankan Indonesia saat ini sudah semakin berkembang. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari data tentang perbandingan kondisi perbankan pada 1998 dan 2008. Pada 1998 perbankan menempatkan total aset sebesar Rp 895.847 miliar, kemudian berkembang menjadi Rp 2.018.842 miliar pada 2008. Menariknya, dilihat dari perbandingan tersebut, pada kedua masa itu Indonesia sama-sama sedang diguncang prahara krisis ekonomi. Pada 1998 depresiasi Bath (mata uang Thailand) telah membuat perekonomian Indonesia kocar-kacir, sedangkan pada 2008 badai krisis melanda kembali yang penyebabnya adalah subprime mortgage di Amerika Serikat sehingga membuat banyak negara nyaris kolaps, termasuk Indonesia. Perbandingan Non-Performing Loan (NPL) pada dua masa tersebut juga mengindikasikan perbankan saat ini semakin mengalami kemajuan pesat. Persentase NPL pada 1998 mencapai 52,96% dan menurun drastis pada 2008 menjadi 3,5%.
Menghadapi persaingan perbankan yang semakin ketat, perbankan Indonesia wajib menyesuaikan dengan karakteristik perbankan ASEAN, di mana sebagian ciri utamanya adalah terbentuknya struktur perbankan yang sehat, kinerja yang bagus, pengawasan yang intensif, dan kepastian perlindungan nasabah. Beberapa karakteristik ini masih belum bisa dipenuhi oleh mayoritas perbankan di tanah air. Sampai kini hanya sebagian kecil bank-bank saja yang hampir memenuhi karakteristik tersebut, misalnya BCA, Mandiri, BRI, dan BNI. Dalam hal kegagalan melindungi konsumen dapat dilihat kasus Bank Century, di mana ketika bank itu mengalami kolaps akibat krisis keuangan global (yang akhirnya Bank Century dinyatakan pailit), mereka meninggalkan utang dan tanggung jawab mengembalikan dana simpanan milik nasabah. Oleh karena itu, kesiapan perbankan Indonesia menghadapi pasar ASEAN merupakan keniscayaan dan ujian terpenting yang harus dilalui adalah kesiapan industri perbankan menghadapi penerapan API.
API sendiri merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu 5 – 10 tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa mendatang dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Banking Outlook, 2009). Meskipun konsep ini masih menimbulkan kontroversi hingga kini, bahkan ada kemungkinan konsepnya akan diubah dalam waktu tidak lama lagi, tetapi secara substantif penerapannya merupakan salah satu bagian penting bagi penguatan perbankan nasional. Kesadaran ini mesti dipahami oleh semua pihak sehingga implementasinya dapat berlangsung secara mulus dan target menerobos pasar ASEAN dapat dijangkau selekas mungkin.
Sasaran dan Struktur Perbankan
Guna mempermudah pencapaian visi API, maka telah dirumuskan beberapa sasaran yang ingin dicapai, yaitu: (i) menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan; (ii) menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional; (iii) menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko; (iv) menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional; (v) mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat; dan (vi) mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan (BI, 2009). Keenam sasaran ini merupakan satu rangkaian yang harus dikejar dalam satu tarikan napas penguatan perbankan nasional.
Secara operasional, upaya membangun landasan bagi berjalannya perbankan dapat diawali dengan melakukan penguatan struktur perbankan nasional. Program ini bertujuan memerkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan (Banking Outlook, 2009). Masalah permodalan ini masih menjadi soal yang serius bagi perbankan nasional, terutama jika dihadapkan dengan keinginan menerobos pasar internasional (ASEAN). Permodalan yang kuat juga secara tidak langsung berkaitan dengan kemampuan perbankan menanggulangi risiko apabila terjadi gangguan ekonomi. Dengan pemahaman tersebut nantinya soal modal bukan dilihat semata sebagai kemampuan ekspansi, tetapi juga ketangguhan sektor perbankan menghadapi guncangan ekonomi.
Selanjutnya, dalam rangka menghadapi persaingan perbankan secara internasional, penguatan struktur perbankan mutlak diperlukan sebagai bekal menyesuaikan dengan karakteristik perbankan ASEAN. Penataan struktur perbankan diharapkan mendorong bank menjadi lebih kuat dan siap bertarung dengan bank-bank negara lain di level regional. Dalam beberapa aspek, upaya penguatan struktur ini juga bersinggungan dengan kebutuhan penambahan modal tadi. Penambahan modal dapat diwujudkan dengan peningkatan modal baru dari shareholders lama maupun dari investor baru, atau dapat pula dengan melakukan merger dengan bank-bank lain. Penataan struktur perbankan nasional ini memang memiliki arah untuk mengurangi jumlah bank sehingga nantinya akan terjadi proses seleksi secara alamiah. Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka potensi perbaikan struktur perbankan akan kian besar dan keberhasilan menembus pasar ASEAN bukan lagi sekadar impian. Semoga.
Seputar Indonesia, 10 Agustus 2009