Dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya pascakrisis 2008, sektor perbankan diterpa banyak berita tidak sedap. Kasus bailout Bank Century yang sampai sekarang belum tuntas semuanya, merupakan salah satu puncak gurita masalah yang mengikat sektor perbankan. Di luar soal itu, sektor perbankan dituding sebagai penyebab tidak optimalnya kinerja pembangunan ekonomi nasional, karena tingginya tingkat suku bunga (kredit), net interest margin (NIM) yang besar (paling tinggi di Asia Tenggara), tingkat penyaluran kredit yang relatif rendah (loan to deposit ratio/LDR), sampai kepada kasus pembobolan dana nasabah dengan memanfaatkan layanan private banking (kasus MD) dan kematian nasabah kartu kredit Citibank oleh pihak debt collector. Ragam persoalan itu tentu berkebalikan dengan kinerja sektor perbankan sendiri, yang dari waktu ke waktu justru membukukan keuntungan yang luar biasa.
Aneka Masalah Perbankan
Jika perekonomian ditarik agak ke belakang pascakrisis 2008, maka salah satu yang menjadi prioritas saat itu adalah mengembalikan perekonomian ke jalur pertumbuhan ekonomi. Indonesia saat itu sebetulnya lumayan beruntung, di mana saat negara-negara lain membukukan pertumbuhan negatif (baik negara maju maupun berkembang), pada 2009 Indonesia masih memeroleh pertumbuhan ekonomi 4,5%. Pertumbuhan itu salah satu yang tertinggi, di samping pertumbuhan ekonomi di China, India, dan Vietnam. Salah satu penyebab terselamatkannya ekonomi nasional saat itu adalah kontribusi konsumsi domestik yang relatif besar terhadap perekonomian. Sementara itu, donasi investasi, ekspor (impor), dan belanja pemerintah tidak terlalu besar. Sungguh pun begitu, jika pertumbuhan ekonomi hendak didongkrak lebih tinggi lagi (khususnya pascakrisis ekonomi 2008), tidak mungkin hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga. Di sinilah dibutuhkan dorongan dari investasi dan ekspor (impor).
Tepat pada titik itulah, salah satu sektor yang diharapkan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi adalah sektor perbankan. Sayangnya, disaat perekonomian membutuhkan topangan dari sektor keuangan tersebut, sektor perbankan justru memperlihatkan kinerja yang kurang bagus. Meskipun bank sentral (Bank Indonesia) sudah menurunkan BI rate ke tingkat yang rendah (6,5%), namun tingkat suku (kredit) perbankan masih sangat tinggi. Data-data menunjukkan bahwa tingkat bunga perbankan nasional jauh lebih tinggi ketimbang negara tetangga (misalnya, pada 2009 suku bunga kredit Indonesia 14,5%, Malaysia 5,08%, Thailand 5,96%, Korsel 5,00%, dan China 5,31%). Celakanya, pada saat yang sama, perbankan juga mengambil kentungan yang sangat besar lewat net interest margin yang berada di kisaran 5-6% pada 2009 (Malaysia 3,03%, Filipina 3,92%, Vietnam 3,43%, dan Singapura 1,79%). Dengan karakteristik ini, LDR perbankan menjadi rendah, tapi keuntungan bank tinggi. Jadi, disaat sektor ekonomi lain megap-megap dalam memertahankan kinerja ekonomi, sektor perbankan justru menikmati laba yang hebat.
Berikutnya, perbankan juga tidak mendorong pertumbuhan sektor riil/tradeable sector (khususnya sektor industri dan pertanian). Pada periode 2005-2009, sektor tradeable hanya tumbuh rata-rata 3,33%, sedangkan sektor non-tradeable tumbuh 8,80%. Secara lebih rinci, pertumbuhan rata-rata sektor tradeable dalam kurun waktu tersebut adalah: sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (3,70%); pertambangan (2,38%); dan industri pengolahan (3,92%). Padahal, sektor tradeable selama ini menjadi pilar penting perekonomian nasional, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja. Dalam posisi ini seharusnya sektor perbankan lebih ramah dalam menyalurkan kredit kepada kedua sektor tersebut. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, proporsi kredit yang disalurkan ke kedua sektor itu justru kian menurun (sekarang kredit ke sektor tradeable kurang dari 25%). Sehingga, tidak heran apabila jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal dari waktu ke waktu terus meningkat karena sektor pertanian dan industri tidak tumbuh bagus.
Problem lain yang tidak banyak diungkap adalah peranan bank asing di Indonesia. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang ramah dalam menerima kehadiran bank asing di tanah air, entah dengan alasan apa. Sebaliknya, ketika bank nasional (swasta maupun BUMN) hendak membuka cabang ke luar negeri, sulitnya bukan main, misalnya di Malaysia dan China. Semua negara memiliki pertimbangan sendiri untuk mempersulit/mempermudah kehadiran bank asing di negaranya. Dalam konteks Indonesia, kehadiran bank asing itu mestinya dilihat dalam perspektif apakah kehadirannya membawa kebaikan atau justru menimbulkan masalah. Secara teknis, bank asing itu diharapkan bisa memerkuat perekonomian nasional, antara lain melalui penyaluran kredit. Tetapi, jika dilihat data-data yang berkaitan dengan aspek ini, komitmen bank asing terhadap penyaluran kredit masih rendah, misalnya jika dibandingkan dengan bank swasta atau BUMN. Pada 2010 lalu, pertumbuhan kredit bank asing hanya 12,99%, bandingkan dengan Bank Umum yang mencapai 22,80% dan Bank Persero 17,96%.