Krisis kesehatan dan ekonomi masih terus mengular sejak awal Maret 2020 ketika pandemi Covid-19 menghajar Indonesia. Jumlah korban yang terjangkit virus terus bertambah, baik yang positif, orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), maupun pasien meninggal.
Berita bagusnya, jumlah pasien yang pulih kembali juga bertambah lebih cepat daripada yang meninggal. Penyebaran virus masih terus merambah ke semua provinsi dan sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia. Jawa menjadi episentrum virus.
Di luar itu, pemerintah terus memproduksi kebijakan untuk menangani Covid-19 dan isu sosial/ekonomi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan penyediaan alat kesehatan, bekerja dari rumah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mendesain stimulus fiskal, larangan mudik, pembagian kebutuhan pokok, pelaksanaan Kartu Prakerja, dan lain sebagainya. Di luar perdebatan pilihan kebijakan, aspek penting yang harus diperhatikan pemerintah ialah investasi kelembagaan/institusi (rules of the game) agar kebijakan merayap dengan cepat dan tepat.
Kepastian dan ”moral hazard”
Lima analisis pokok kelembagaan (institutions) yang bisa diandalkan untuk mengayak kebijakan pada masa pandemi ini adalah: kepastian dan moral hazard, asimetri informasi, biaya transaksi, perburuan rente (rent-seeking) dan perebutan sumber daya (redistributive combines), serta tindakan kolektif (collective action) dan modal sosial (social capital). Analisis kelembagaan jamaknya dilakukan dalam tiga tingkatan, yakni kelembagaan makro, meso, dan mikro.
Kelembagaan makro berporos pada aspek legal yang memungkinkan kebijakan menjadi payung kepastian; kelembagaan meso berpusat pada tata kelola dan pengorganisasian pelaksanaan kebijakan/program; dan kelembagaan mikro fokus pada aturan main yang memungkinkan semua partisipan dan obyek kebijakan bisa beroperasi menjalankan mandat. Analisis kelembagaan tidak akan mempersoalkan opsi kebijakan yang telah diambil, tetapi berpretensi mencermati apakah kebijakan/program tersebut telah memenuhi persyaratan aturan mainnya.
Prinsip pertama yang harus ditegakkan oleh kebijakan adalah menjamin kepastian dan mencegah munculnya penyimpangan (moral hazard). Tugas kelembagaan membatasi terjadinya perilaku menyimpang tersebut (North, 1994). Manusia cenderung melakukan penyimpangan jika dengan cara itu akan diperoleh keuntungan. Pilihan kebijakan pelonggaran PSBB, misalnya, di satu sisi dapat diterima oleh khalayak karena kerumitan variabel yang mesti dikalkulasi pemerintah, seperti situasi ekonomi, persebaran virus, jumlah penduduk rentan, kapasitas birokrasi, dan anggaran negara.
Problemnya adalah keragaman pandangan atas eksekusi kebijakan ini, misalnya kegamangan pemegang otoritas dalam pengambilan keputusan. Tidak ada patokan standar dalam penerapan kebijakan. Di daerah yang jumlah warga terpapar virus masih tinggi, PSBB bisa dihentikan. Sementara wilayah yang mulai melandai, menjalankan kebijakan transisi pelonggaran. Tak ada kepastian argumen di balik setiap pilihan kebijakan (soal kelembagaan makro).
Pada level meso, penegakan aturan juga tak sepenuhnya kokoh sehingga menjadi insentif penyimpangan. Jaga jarak sulit dikontrol jika aktivitas ekonomi yang memunculkan kerumunan masih buka. Sekadar contoh, terdapat pusat perbelanjaan yang buka ketika PSBB diberlakukan sehingga pengunjung berjubel. Pada saat salah satu pengunjung membuat video pendek dan menyebarkan ke publik (tampak lapangan parkir pusat perbelanjaan penuh sesak) pemerintah daerah tergopoh menutup mal tersebut tentu tanpa ada sanksi.
Pada tingkat kelembagaan mikro, kebijakan pembagian kebutuhan pokok dan relaksasi kredit (sebagai contoh) sangat tepat. Namun, jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan rincian data dan validasi penerima bansos, yang terjadi adalah munculnya friksi di lapangan (baik antarwarga maupun warga dengan perangkat pemerintah: RT/RW, desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota). Sampai saat ini warga atau pelaku UMKM yang punya kredit di bank tidak paham sepenuhnya bagaimana mekanisme yang mesti diikuti. Ini yang membuat kepastian menjadi tipis.
Asimetri informasi
Ekonomi konvensional (klasik/neoklasik) percaya adanya informasi yang sempurna. Artinya, semua pihak memiliki informasi yang sama dan setara sehingga transaksi bisa dieksekusi dengan adil. Namun, dalam dunia nyata, informasi tak pernah lengkap, hanya berputar pada sedikit aktor. Akerlof sudah mempersoalkan hal ini sejak 1970 (yang kemudian melahirkan istilah intermediary market institutions untuk memitigasi asimetri informasi). Setelah itu, studi soal ini dilanjutkan oleh Michael Spence, Joseph Stiglitz, dan seterusnya.
Pada aras kelembagaan makro, pemda perlu memahami detail keseluruhan kebijakan dan program pemerintah pusat agar mudah mengawal program dan memberikan pemahaman kepada khalayak (pada setiap wilayah). Perkaranya, informasi yang utuh dan setara ini belum dipunyai semua pihak sehingga muncul interpretasi yang berbeda. Dua kabupaten yang sempat bersitegang atas kebijakan pemerintah beberapa waktu lalu adalah salah satu contohnya.
Pada level meso, potensi asimetri informasi, antara lain, terjadi pada kasus data jumlah korban Covid-19. Perdebatan yang seru ialah: apakah jenazah yang dikubur dengan protokol Covid-19 layak dihitung sebagai korban terpapar? Implikasi atas jawaban ini panjang karena terkait dengan produksi kebijakan lanjutan. Misalnya, jika jenazah itu dihitung sebagai orang yang meninggal dengan positif Covid-19, jumlah korban menjadi bengkak sehingga kebijakan pembatasan penyebaran virus (katakanlah PSBB) harus diperpanjang, demikian sebaliknya.
Pada level kelembagaan mikro, jarak pemahaman antarwarga terkait virus ini (termasuk instrumen yang mesti dijalankan agar tidak terpapar virus) sangat berbeda. Pengetahuan dan kesadaran warga di perkotaan berbeda dengan di wilayah pinggiran kota atau desa. Demikian pula warga yang berada di episentrum Covid-19 (Jawa) berlainan pemahaman/perasaan dibandingkan dengan di wilayah yang tingkat paparannya rendah/sedang. Literasi menjadi pertempuran pada lokus ini.
Persoalan genting lainnya terkait biaya transaksi. Tidak gampang mendefinisikan ongkos transaksi ini, apalagi menghitungnya. Sungguh pun begitu, biaya transaksi ekonomi (BTE) eksis dan bisa dihitung. Yeager (1999) memformulasikan BTE sebagai ongkos yang keluar untuk mencari informasi, menegosiasikan, mengukur, dan menegakkan aturan. Dari sini kemudian BTE dibagi menjadi tiga (Furubotn dan Richter, 2000): biaya transaksi pasar, manajerial, dan politik (market, managerial, and political transaction costs).
Pangkal biaya transaksi politik adalah ongkos untuk beradaptasi dengan kebijakan. Jika pemerintah menetapkan kebijakan larangan mudik, semua pihak menyesuaikan dengan kebijakan itu. Hal ini yang kemudian memantulkan biaya oportunitas (yang hilang). Seterusnya, implementasi kebijakan yang tak tegas juga menyebabkan beban yang ditanggung setiap warga (dan pelaku ekonomi) berbeda-beda. Inilah yang terjadi pada aspek kelembagaan makro BTE pada kasus larangan mudik.
Pada level meso, BTE ekonomi salah satunya dapat ditelusuri dari proses pencarian dan eksekusi program bantuan sosial. Semua proses yang menyeruak dari rantai ini masuk dalam kategori managerial transaction costs.
Indonesia beruntung sebelum diterjang wabah telah memiliki sistem jaminan sosial yang relatif mapan. Sekian banyak program didesain pemerintah, seperti Rastra, PKH, KIP, dan KIS. Namun, ketika muncul pandemi dan perluasan proteksi sosial diumumkan, banyak kerumitan terjadi sehingga menimbulkan kegaduhan di beberapa tempat. Biaya yang muncul atas semua perkara ini tidak sedikit dan belum semua kelar hingga kini.
Sumbatan lain muncul dari level mikro, yakni informasi yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah terbatas. Akibatnya, kelompok yang seharusnya memperoleh bantuan tidak terjamah program ini. Beruntung banyak inisiasi masyarakat yang mencoba menambal kelemahan ini, misalnya yang dikerjakan Jaringan Gusdurian dan Kobeta (Koperasi Benih Kita Indonesia).
Perburuan rente
Perburuan rente (rent-seeking) adalah tema abadi dalam setiap formulasi kebijakan (ekonomi). Krueger (1974) mengawali kasus kebijakan kuota impor yang jatuh sebagai proses ”jual beli konsesi” kepada pelaku ekonomi yang bisa mengakses kekuasaan. Setelah itu, banyak ekonom yang mengulas topik ini secara serius, di antaranya Bhagwati (1982) dan Srinivasan (1991). Perburuan rente dilakukan dengan cara menelikung kebijakan pemerintah untuk memperoleh keuntungan sehingga mendistorsi sumber daya ekonomi dan mengakibatkan publik menjadi korban.
Sebentar lagi proses kebijakan pemulihan ekonomi akibat Covid-19 akan dieksekusi (sebagian mulai jalan). Pada level kelembagaan makro, formulasi kebijakan yang sudah diambil mesti diikuti dengan detail aturan main sehingga tak menimbulkan celah penumpang gelap. Pengalaman pahit kebijakan bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) 1998 akibat krisis ekonomi jangan sampai terulang. Arah dan kerangka pemulihan ekonomi didefinisikan sejak awal agar tidak disusupi para predator ekonomi.
Rente ekonomi juga bisa menyembul dari aras meso, di mana tujuan dan tata kelola kebijakan/program mesti dipersiapkan dengan presisi. Kritik terhadap pelaksanaan Kartu Prakerja, misalnya, lebih banyak dari sisi ini. Program itu bagus dan mulia, disusun dengan kerangka yang jelas sebagai salah satu program unggulan pemerintah. Namun, dalam pelaksanaan kemudian muncul keluhan soal tata kelola yang rentan sehingga menyeruak konflik kepentingan yang menyusup dalam proses tender, skema program, dan lain-lain.
Celah ini mesti segera disumbat agar tidak mengganggu kredibilitas program dan meletupkan kerugian anggaran negara. Pada level kelembagaan mikro, potensi perburuan rente amat mungkin menyusup pada eksekusi beberapa kegiatan, seperti pengadaan dan pembelian alat kesehatan, distribusi perkakas kelengkapan kesehatan (masker, APD, dan lain-lain), dan dominasi impor barang kesehatan yang membuat Menteri BUMN terbelalak. Struktur pasar yang terkonsentrasi membuat pasar gelap memperoleh ruang untuk beraksi.
Setiap situasi darurat, misalnya perang, krisis, atau pandemi (seperti yang terjadi saat ini), sebetulnya merupakan momentum yang bagus bagi tersusunnya solidaritas. Bahan baku solidaritas ialah modal sosial yang kemudian menggumpal menjadi tindakan kolektif (collection action). Mancur Olson (1971) meyakinkan kepada khalayak bahwa tindakan kolektif merupakan instrumen yang efektif mengatasi penunggang gelap (free-rider) dan mendesain jalan keluar bersama (cooperative solutions) bagi pengelolaan sumber daya atau barang publik.
Kebijakan (pemerintah) bisa digolongkan sebagai ”barang publik” yang bisa dikapitalisasi jika tindakan kolektif bergerak di masyarakat, khususnya kelompok kepentingan strategis. Perkara yang muncul hari ini adalah belum semua kebijakan mendapatkan dukungan dari publik yang layak. Bahkan, sebagian kebijakan mengalami delegitimasi, seperti Kartu Prakerja dan agenda pemulihan ekonomi. Problem kelembagaan makro ini wajib dituntaskan.
Pemerintah diuntungkan sekali dengan modal sosial yang masih amat kukuh di masyarakat sehingga solidaritas mudah terbentuk. Kesukarelawanan ini sungguh memukau sehingga sejak awal rakyat telah berjibaku saling tolong dan sangga. Harapannya, gerak sosial ini diimbangi dengan kelembagaan meso yang diinisiasi pemerintah untuk memfasilitasi terjadi sinergitas. Solidaritas yang hidup ini difasilitasi untuk bantu pendataan, penyaluran, dan pengawasan program. Sayangnya, ini kurang diaktifkan sehingga modal sosial tak bersua dengan modal struktural.
Terakhir, kelembagaan mikro harus dikerahkan demi mencegah kebijakan pemerintah justru memecah solidaritas. Pada awalnya sempat terjadi kebijakan lebih banyak mempromosikan kelompok profesi tertentu (transportasi daring) sehingga menimbulkan kecemburuan. Warta baiknya, pemerintah lekas menyadari ini sehingga sigap memperbaiki kebijakan dengan menjamah program proteksi kelompok rentan lain.
Tiga proposal
Menyimak kompleksitas perkara kelembagaan yang harus ditangani pemerintah, tiga proposal berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, ditelaah kembali ragam kebijakan/program dan diidentifikasi celah yang jadi sumbu masalah, baik menyangkut kepastian, tata kelola program, maupun pemahaman antar-pemangku kepentingan (dan masyarakat).
Acap kali soalnya ada dalam rincian (the devil is in the detail). Kedua, segera dibentuk satgas pemulihan ekonomi yang independen agar tak mudah disusupi para pemburu rente. Satgas merumuskan turunan kebijakan dan mengawal eksekusi program dengan cepat. Institusi ini diberi otoritas yang kuat sehingga program penyehatan bisa jalan.
Ketiga, melembagakan modal sosial dan solidaritas yang melimpah dalam skema kolaborasi dengan pemerintah. Sumber daya pemerintah tidak akan cukup menangani soal yang pelik ini, baik dari sisi keuangan (fiskal), kapasitas personalia (birokrasi/aparat keamanan), maupun kelengkapan kebijakan. Memadukan sumber daya struktural dengan modal sosial menjadi opsi paling masuk akal.
Ahmad Erani Yustika,
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Ekonom Senior Indef