Tiap cahaya (yang menyala redup sekalipun) tetap merupakan berkah saat gulita menyergap. Perasaan itulah yang dialami sekarang. Pada saat kecemasan memenuhi ruang pikiran karena pandemi Covid-19, satu pencapaian bangsa diumumkan: Indonesia naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah-atas (upper middle income countries). Tentu tidak mudah menggapai level pendapatan itu, Indonesia membutuhkan waktu 23 tahun agar keluar dari jepitan negara kelas menengah-bawah.
Jadi, performa ini laik disyukuri sebagai pantulan kerja keras, komitmen, dan konsistensi. Sungguhpun begitu, obor ini masih redup, belum terang benderang karena beberapa soal sedang mengintip sehingga sedikit kealpaan saja membuat posisi itu bisa melorot. Terlebih, tidak banyak negara yang mampu naik kelas menjadi negara berpendapatan atas karena ragam syarat yang wajib dipenuhi. Ini yang menyebabkan negara-negara terjebak dalam pendapatan menengah (middle income trap).
Jebakan ketimpangan
Rentang kelompok pendapatan menengah atas di antara 4.046-12.535 dollar AS. Bank Dunia memakai pendapatan nasional kotor (gross national income) untuk mengklasifikasikan pendapatan per kapita tersebut. Jika nanti Indonesia memiliki pendapatan per kapita di atas 12.535 dollar AS, akan naik kelas menjadi negara berpendapatan atas.
Pada saat ini (dengan menggunakan data 2019), pendapatan per kapita Indonesia 4.050 dollar AS, jadi hanya tipis di atas batas bawah dari rentang kelompok pendapatan menengah atas. Problem yang lekas disadari: awal 2020 terjadi pandemi dan sampai akhir tahun diproyeksikan ekonomi lunglai.
Implikasinya, pendapatan nasional akan menurun sehingga pendapatan per kapita (setelah dibagi jumlah penduduk) turut merana. Ancaman ini nyata sehingga tahun depan (ketika diumumkan) potensi anjloknya pendapatan per kapita bisa menjadi realitas. Oleh karena itu, pemerintah harus berjibaku mempertahankan agar peluang penurunan dapat dipinggirkan.
Berikutnya, tak mudah memperoleh data pendapatan yang meyakinkan di suatu negara, terlebih di negara berkembang seperti Indonesia. Banyak aktivitas ekonomi informal yang menyumbang pendapatan kepada individu, tetapi tak tercatat dalam statistik resmi.
Ekonomi informal itu terbagi dalam empat pelaku: sektor rumah tangga, sektor informal, sektor irregular, dan sektor kriminal (Thomas, 1992). Sektor rumah tangga adalah aktivitas ekonomi yang biasanya tak diperdagangkan dan ini jumlahnya banyak, seperti halnya sektor informal (tetapi kegiatan ini ditransaksikan).
Sektor irregular adalah transaksi barang/jasa yang legal, tetapi pengadaan atau distribusinya ilegal, semacam penggelapan pajak, penyelundupan, dan aneka pelanggaran regulasi. Sektor kriminal adalah tindakan usaha yang seluruhnya ilegal, seperti obat-obat terlarang, pencurian, dan perdagangan manusia. Jadi, pendapatan yang direkam sebetulnya di bawah nilai yang sebenarnya.
Tantangannya adalah segera memasukkan kegiatan ekonomi informal tersebut dalam catatan statistik.
Masalah lain yang jamak dimengerti adalah jebakan ketimpangan. Pendapatan per kapita menunjukkan perkembangan ekonomi dari waktu ke waktu. Namun, penggunaan indikator ini menyembunyikan ketimpangan di baliknya. Selama lima tahun terakhir, pemerintah berpeluh menurunkan ketimpangan pendapatan dengan segala daya.
Pada 2014, ketimpangan pendapatan dengan memakai rasio gini mencapai puncaknya: 0,41. Pada 2019 rasio ini bisa diturunkan menjadi 0,38. Artinya, ikhtiar pemerintah telah memberikan hasil meski belum bisa sepadan 2004, yakni 0,32 (BPS).
Sungguhpun begitu, data lebih rinci menunjukkan ketimpangan masih jadi benalu pembangunan. Berdasar data Susenas 2019 (Kemenkeu, 2020), jumlah penduduk miskin 9,4 persen; kelompok pendapatan rentan 20,6 persen; menuju kelas menengah 48,2 persen; kelas menengah 21,5 persen; dan pendapatan atas 0,4 persen.
Jadi, sebetulnya status kesejahteraan di Indonesia hanya dirayakan tak lebih dari 21,9 persen penduduk paling atas. Pada titik inilah Indonesia tak boleh silau dengan predikat negara berpendapatan menengah atas.
Demokrasi ekonomi
Mencermati data di atas, perolehan pendapatan menengah masih bertumpu di matras yang rapuh sehingga agenda demokrasi ekonomi tak boleh dibajak lagi. Demokrasi ekonomi tegak karena tiga alas: pemerataan aset dan akses, organisasi ekonomi yang demokratis, dan kolaborasi ekonomi yang setara.
Aset modal dan lahan menjadi pusat pertaruhan level makro agenda demokrasi ekonomi. Ketimpangan kepemilikan lahan berdasarkan Sensus Pertanian 2013 sebesar 0,68 (BPS, 2014). Ini sangat parah meski ada penurunan ketimbang Sensus Pertanian 2003. Lima tahun terakhir, pemerintah agresif mengeksekusi kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial. Ini mesti dijaga dan dipercepat lima tahun ke depan.
Sirkulasi modal juga berputar hanya pada pucuk penduduk paling kaya. Data LPS, Mei 2020, memperlihatkan 0,03 persen pemilik rekening (simpanan di atas Rp 5 miliar) menguasai 46,81 persen total dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Sebaliknya, 98,21 persen pemilik rekening (di bawah Rp 100 juta) hanya menguasai 13,74 persen DPK. Artinya, 1,79 persen pemilik rekening menguasai 86,26 persen DPK! Politik kebijakan pajak juga kurang tajam memangkas ketimpangan aset dan kekayaan ini.
Pada level meso, organisasi ekonomi yang demokratis diperlukan demi memastikan pengambilan keputusan melibatkan khalayak, bukan sekadar pemilik modal (Smith, 2005). Pekerja, perwakilan warga, konsumen, dan yang lain perlu diikutkan dalam pengambilan keputusan sehingga keseluruhan output kebijakan mewakili aspirasi pemangku kepentingan yang lebih luas.
Jadi, ada pergeseran orientasi dari pemegang saham (shareholder) ke pemangku kepentingan (stakeholder). Di luar itu, bangun usaha pada level korporasi memberi ruang bagi pihak yang terlibat untuk memiliki, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab. Itu sebabnya, bangun usaha yang cocok dengan jiwa konstitusi adalah koperasi.
Di negara maju, baik di Eropa maupun AS sekalipun, koperasi bukanlah simbol usaha kecil, tetapi bisnis besar yang dimiliki dan dikelola publik dengan standar tata kelola yang sehat sehingga menyebarkan berkah bagi semua pihak.
Sungguhpun begitu, implisit dalam persaingan usaha adalah semangat memangsa kompetitor (kanibalisme) dalam skema ”Zero Zum Game”. Pelaku ekonomi yang efisien memenangi kompetisi dan melumat aktor yang kurang sangkil. Konsumen diuntungkan karena memperoleh harga yang ideal (dalam jangka pendek).
Namun, apabila dikuliti lebih detail, sebetulnya yang lebih tangguh adalah kolaborasi, bahkan kooperasi, antarpelaku ekonomi. Kolaborasi mengumpulkan talenta dan sumber daya yang berserak menjadi satu kekuatan besar sehingga menghasilkan efisiensi dan inovasi. Kooperasi bukan semata mengumpulkan, tetapi membangun kesadaran dan kepemilikan bersama sehingga tidak memproduksi paradoks antara pertumbuhan dan ketimpangan.
Transformasi ekonomi
Jika soal hulu terkait demokrasi ekonomi telah mapan didesain, aksi berikutnya adalah transformasi ekonomi. Ini percakapan yang telah dilakukan sejak dekade 1980-an, tetapi lamban dieksekusi. Sebagian besar aktivitas ekonomi masih bertumpu pada eksplorasi (bahkan eksploitasi) sumber daya alam. Sepuluh komoditas ekspor terbesar Indonesia didominasi bahan mentah, seperti migas, kayu, batubara, karet, dan sawit.
Persentase ekspor produk manufaktur terhadap total ekspor jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Situasi ekonomi yang minim nilai tambah ini menyebabkan negara sulit meningkatkan pendapatan nasional sehingga pendapatan per kapita tidak bisa terdongkrak.
Salah satu negara yang berhasil secara meyakinkan melakukan transformasi ekonomi adalah Korea Selatan sehingga sudah cukup lama negara tersebut masuk kategori berpendapatan tinggi (keluar dari jebakan pendapatan menengah).
Hal lainnya, pemisahan antara sektor pertanian (tradisional) dan industri/jasa (modern) makin kasatmata. Pada saat pertumbuhan ekonomi melaju kencang, pertumbuhan sektor pertanian kian tertinggal. Selama empat tahun terakhir, paling tinggi pertumbuhan sektor pertanian hanya 3,92 persen (2017), padahal pertumbuhan ekonomi pada level sekitar 5 persen.
Sektor jasa tumbuh menjulang, tetapi tidak tersambung dengan sektor pertanian. Sektor jasa ditopang oleh input impor sehingga tidak dapat menyeret kemajuan di sektor tradisional. Kedalaman intensitas involusi di sektor pertanian tak bisa dihentikan sehingga para pelakunya hijrah ke kota.
Celakanya, dalam 15 tahun terakhir kontribusi sektor industri terus menurun hingga pada 2019 tinggal 19,7 persen (pada 2004 masih 29 persen terhadap PDB). Hasilnya, tenaga kerja menumpuk di sektor informal, yang pada 2019 jumlahnya 57 persen dari total pekerja (BPS, 2019). Kelompok ini sukar didorong peningkatan pendapatannya karena miskin kapital dan inovasi.
Isu transformasi ekonomi tentu juga terkait efisiensi investasi. Pada titik ini Indonesia punya pekerjaan rumah yang berat. Selama lima tahun terakhir telah dikerjakan tiga gugus pokok agar prasyarat investasi dipunyai negara, yakni pembangunan infrastruktur, deregulasi, dan peningkatan kapabilitas manusia. Harapannya, ketiga kaki ini menjadi titik pijak yang kuat merealisasikan efisiensi investasi.
Hasilnya memang ada, tetapi perbaikannya lambat. ICOR (incremental capital output ratio) sebagai indikator pengukur efisiensi investasi menampakkan penurunan. Pada 2016 ICOR sebesar 6,69; 2017 turun menjadi 6,64; dan 2018 turun lagi ke 6,52. Makin rendah ICOR, berarti kian efisien karena dibutuhkan modal lebih kecil untuk menghasilkan output yang sama.
Masalahnya, negara tetangga ICOR-nya jauh lebih rendah. Pada 2018 Malaysia 5,38; India 4,99; Vietnam 4,80; dan Filipina 4,63 (ADB, 2018). Ini menjadi penyebab nilai investasi yang besar kurang menghasilkan pendapatan yang tinggi.
Investasi inklusif
Investasi menjadi kata kunci dan tulang punggung peningkatan pendapatan secara bermakna. Banyak persoalan investasi di sini, di mana lima perkara ini mendeskripsikan sebagian besar masalah: (i) investasi fokus kepada eksploitasi SDA sehingga mendestruksi lingkungan dan terlambat mengerjakan industrialisasi: (ii) investasi hanya terkonsentrasi pada wilayah dan sektor tertentu sehingga menjadi sumber ketimpangan wilayah dan sektor; (iii) perkembangan investasi dari waktu ke waktu makin padat modal dan teknologi sehingga tak banyak menciptakan lapangan kerja; (iv) investasi kerap meminggirkan masyarakat lokal sehingga menjadi sumber konflik yang mengganggu stabilitas sosial dan politik; dan (v) investasi berbasis penguasaan modal sehingga menyebabkan penumpukan aset dan kekayaan kepada segelintir pelaku ekonomi. Belakangan pemerintah mulai menyadari hal itu sehingga menggeser beberapa kebijakan investasi menjadi lebih inklusif (inclusive investment).
Investasi inklusif dimaksudkan sebagai upaya menghilangkan dilema di baliknya, seperti ketimpangan, pengabaian warga, perusakan lingkungan, dan seterusnya. Investasi mesti ramah lingkungan, melibatkan warga lokal, menghargai kemanusiaan, pemerataan akses dan aset, orientasi jangka panjang, dan fokus ke benefit (people, planet, profit/benefit).
Pada kasus Indonesia, investasi inklusif diutamakan untuk menyelesaikan beberapa perkara pokok, seperti ketimpangan antarwilayah/sektor, penciptaan lapangan kerja, nilai tambah ekonomi, promosi ekspor, pemulihan lingkungan, pelibatan masyarakat lokal, memperkuat UMKM, memperbesar kamar koperasi/UMKM dan investasi sosial, serta kemandirian ekonomi.
Dua instrumen yang perlu didayagunakan menjadi pandu investasi inklusif: (a) kelembagaan yang mapan: aturan main/regulasi (insentif) yang komplet dan penegakan hukum yang keras; dan (b) prioritas investasi: menentukan jenis investasi, wilayah/sektor, dan target kelompok masyarakat.
Promosi lingkungan adalah unsur terpenting keberlanjutan pembangunan. Selama puluhan tahun pembangunan ekonomi dipacu dengan titik tumpu eksplorasi dan eksploitasi SDA. Aneka capaian pembangunan luluh lantak akibat pengabaian daya dukung lingkungan. Banjir, kekeringan, kebakaran, dan perubahan iklim menjadi ongkos pembangunan yang mengerikan.
Peristiwa ini pada level rumah tangga menggoyahkan perikehidupan dan melenyapkan pendapatan, sedangkan di tingkat negara mendelusi kekayaan lingkungan. Sepaket dengan ekologi ialah mendorong partisipasi kaum perempuan, termasuk melenyapkan diskriminasi tingkat upah untuk jenis pekerjaan yang sama. Intinya, investasi inklusif adalah keniscayaan yang harus diperjuangkan agar pembangunan tak menciptakan patologi sosial dan destruksi ekologi.
Skema pemulihan ekonomi yang dijalankan sekarang mesti menyangga agenda strategis bangsa. Demokrasi ekonomi, transformasi ekonomi, dan investasi inklusif adalah akar tunjang ekonomi sehingga tiap pertumbuhan batang pendapatan tak akan dililit benalu ketimpangan.
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya; Ekonom Senior INDEF