Perhelatan Sidang Tahunan ADB (Bank Pembangunan Asia) Ke-42 di Bali telah ditutup dengan menghasilkan keputusan-keputusan yang sebetulnya sangat minimalis. Padahal, dalam situasi krisis ekonomi yang gawat sekarang dibutuhkan keputusan yang jauh lebih penting daripada sekadar penambahan modal ataupun penciptaan instrumen Fasilitas Penahan Tren Penurunan Pertumbuhan Ekonomi (Countercyclical Support Facility). Krisis ekonomi saat ini telah mengerutkan perekonomian dunia dalam persentase yang amat besar, bahkan negara-negara maju dipastikan pertumbuhannya negatif pada 2009 ini. Negara-negara Asia, selain Jepang, Korea Selatan, dan Singapura sebetulnya relatif tidak mencemaskan karena diperkirakan pertumbuhannya masih positif, walaupun tentu jauh lebih rendah ketimbang 2008. Sungguh pun begitu, di kawasan ini diperlukan serangkaian kebijakan pada level regional yang lebih utuh sehingga proses pemulihan ekonomi bisa dilakukan secara lebih cepat.
Forum Lintas Negara
Dalam konstelasi global, sebenarnya peranan ADB dalam membantu pembangunan di negara-negara kawasan Asia tidaklah besar. Secara nominal, nilai bantuan itu tidak lebih dari US$ 10 miliar/tahun. Jumlah itu hanya lebih sedikit dari stimulus fiskal yang dikeluarkan Indonesia pada tahun ini. Jika dana bantuan itu disebar ke berbagai negara, bisa dibayangkan betapa kecilnya donasi yang diberikan ADB ke negara yang memerlukannya. Oleh karena itu, mestinya peranan ADB tidak semata dilihat dari sisi jumlah dana yang dapat mereka kucurkan, melainkan dapat disimak dari sisi yang lain. Pada titik ini, peranan ADB tersebut bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, sejauh mana lembaga multilateral ini menjadi forum lintas negara Asia untuk mengembangkan tata ekonomi yang terpadu. Kedua, mengukur kontribusi lembaga ini dalam memformulasikan kesepakatan dan kerjasama ekonomi untuk mengurangi dampak pembangunan ekonomi, seperti kemiskinan.
Soal penetapan tata ekonomi yang terpadu, lembaga semacam ADB sebenarnya memiliki peluang yang besar untuk memformulasikan konsep tersebut. Seperti yang dipahami, globalisasi dan liberalisasi yang marak sejak dekade 1980-an telah memangsa negara-negara yang lemah perekonomiannya. Implikasinya, kemakmuran ekonomi memusat ke negara-negara maju. Sebagian negara yang menjadi pecundang dari arena globalisasi itu tidak lain adalah kawasan Asia. Di sinilah dibutuhkan forum lintas negara Asia yang dapat menjadi wadah mengatasi dan mendesain tata ekonomi yang lebih menguntungkan negara kawasan Asia, di mana ADB secara teoritis telah memiliki infrastrukturnya. ADB harus menjadi motor untuk mengembangkan model hubungan ekonomi yang saling menguntungkan, sekurangnya di antara negara-negara Asia, sehingga tidak dilindas oleh gelombang globalisasi. Sayangnya, peran ini tidak dimainkan oleh ADB secara massif.
Berikutnya, ADB selama ini juga tidak banyak menggalang kerjasama ekonomi yang terpadu untuk mengatasi persoalan-persoalan laten sebagai residu pembangunan ekonomi yang dilakukan, semacam kemiskinan, pengangguran, akses air bersih, sanitasi, gizi buruk, dan lain-lain. Di luar kawasan Afrika, Asia merupakan lokasi “pembenihan†penyakit-penyakit ekonomi dan sosial tersebut, yang celakanya berjalan seiring dengan percepatan pembangunan ekonomi yang dijalankan. Persoalannya, teramat sedikit negara di kawasan ini yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut tanpa bantuan dari pihak lain. Sebab, solusi masalah itu bukan sekadar dana, tapi juga kesanggupan dari negara lain untuk berbagi pemahaman kebijakan ekonomi sehingga tidak menenggelamkan negara lain. Sekadar contoh, penetrasi komoditas China ke pasar negara Asia lain, baik secara legal maupun ilegal, berpotensi menghancurkan kegiatan produksi sehingga menimbulkan pengangguran.
Faktor Indonesia
Faktor lain yang kerap dilupakan adalah soal teknis yang mesti disepakati tentang mekanisme kerja dari lembaga multilateral semacam ADB ini. Dengan kepemilikan saham yang berbeda-beda antarnegara menyebabkan pengaruh tiap negara untuk mendesakkan keputusan juga berlainan. Inilah yang menyebabkan lembaga multilateral tidak lantas menjadi representasi dari Negara-negara anggotanya, melainkan wakil dari kepentingan negara yang memiliki pengaruh besar (melalui saham yang dipunyai). Fakta itu juga bisa disimak dari sepak terjang Bank Dunia dan IMF selama ini, yang secara de facto merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan negara maju (baca: AS). Oleh karena itu, ADB mestinya harus dihindarkan dari praktik yang tidak bagus tersebut, sehingga di masa depan keberadaannya tetap relevan. Namun, jika melihat pengalaman yang dikerjakan ADB hingga kini, rasanya tidak mudah pula untuk mengubah perilaku tersebut karena kepemilikan sahamnya tidak merata.
Secara singkat, praktik yang seharusnya dihindari oleh ADB dapat dijabarkan dalam dua aspek berikut. Pertama, ADB tidak boleh menjadikan bantuan dana yang diberikan ke negara-negara anggota sebagai instrumen mengambil keuntungan. Posisi mereka jelas bukanlah bank komersial ataupun makelar yang mengeruk laba dari pemberian pinjaman. Walaupun bunga yang dikenakan termasuk rendah, tapi secara substansial hal itu tetap tidak etis dikenakan kepada para peminjam karena dana itu akan dimanfaatkan bagi kepentingan non-komersial, seperti pengurangan kemiskinan dan penyediaan akses kebutuhan dasar. Kedua, harus dijauhi praktik menyatukan pemberian pinjaman dengan paket jasa konsultan (atau kebijakan) yang selama ini justru menjadi berita buruk bagi negara berkembang penerima pinjaman. Praktik ini bukan saja menyunat sebagian pinjaman yang diperoleh (untuk dibayarkan ke konsultan), tapi juga saran yang diberikan kerap kali (sengaja) keliru.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki andil cukup besar (karena menempati urutan keenam pemegam saham terbesar) diharapkan mengambil tempat paling depan menyuarakan ide-ide tersebut. Indonesia punya banyak alasan untuk melakukan itu, di antaranya karena pernah mengalami pengalaman buruk saat krisis ekonomi 1997/1998, di mana IMF dan Bank Dunia memanfaatkan bantuan yang diberikan untuk menekan kebijakan ekonomi nasional. Lebih dari itu, Indonesia seyogyanya juga memanfaatkan posisinya yang cukup kuat untuk menginisiasi forum lintas negara Asia dalam memformulasikan tata ekonomi yang ideal sekaligus memperbicangkan upaya penanganan masalah ekonomi yang kian rumit (kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya). Peran ini merupakan misi suci yang dapat diambil Indonesia sehingga berkontribusi terhadap kehidupan ekonomi dunia (sekurangnya Asia) yang lebih bermartabat di masa depan. Hanya dengan inilah ADB menjadi tetap layak dipertahankan. Tetapi jika upaya itu menemui jalan buntu, sebaiknya ADB segera dikubur agar tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar lagi.
Seputar Indonesia, 8 Mei 2009
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya