Tak terasa perdagangan bebas Asean/AFTA (Asean Free Trade Area) bakal digelar, tepatnya pada 2015. Pemberlakukan AFTA ini juga menandai babak baru perjalanan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebagai wujud dari prinsip kolaborasi dan kesetaraan. Keterlibatan Indonesia dalam AFTA ini bukankah hal yang baru, sebab sebelumnya Indonesia sudah menceburkan diri dalam APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) dan ACFTA (Asean China Free Trade Agreement). Secara agresif ACFTA telah berjalan sejak 2010 dengan hasil yang tidak terlalu menggembirakan Indonesia, khususnya terkait posisi perdagangan dengan China. Semenjak ACFTA berjalan, defisit neraca perdagangan Indonesia kian besar terhadap China sehingga menerbitkan kecemasan manfaat ACFTA tersebut bagi ekonomi nasional. Kasus ACFTA ini tentu merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk menapaki AFTA.
Agenda Domestik
Setiap negara yang telah berjibaku memasuki arena pasar bebas internasional/regional tentu yakin bahwa daya saing ekonomi domestik telah kuat, sehingga sanggup berkompetisi secara penuh dengan negara lain. Indonesia dalam hal ini sebetulnya tergolong nekat menceburkan ke perdagangan bebas ketika kekuatan ekonomi domestik masih rapuh. Seluruh survei yang dilakukan oleh lembaga internasional, seperti Bank Dunia, IFC, WEF, IMD, ADB, dan lain-lain memerlihatkan rendahnya daya saing dan iklim investasi di tanah air (bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asean sekalipun, seperti Singapura, Thailand, Singapura, dan Vietnam). Kondisi ini tentu saja ironis, karena mestinya seluruh sendi ekonomi domestik telah kokoh terlebih dulu saat masuk dalam arena perdagangan internasional. Dengan begitu, saat ini tidak ada hal yang lebih urgen ketimbang memerkuat ekonomi nasional sebagai sumber kekuatan daya saing perdagangan internasional.
Secara umum ada dua aspek utama yang harus diagendakan untuk penguatan ekonomi domestik. Pertama, menyusun integrasi pembangunan ekonomi nasional sebagai penunjuk arah pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi sektor/komoditas utama yang diharapkan bisa bersaing di pasar global/regional. Sampai saat ini pemerintah masih gamang menyusun cetak biru kerangka pembangunan ekonomi tersebut, sehingga sektor pemimpin belum diputuskan. Implikasinya, kegiatan ekonomi tidak terintegrasi dan lemah keterkaitannya. Berikutnya, kelemahan itu menyebabkan sulit bagi pemerintah memutuskan sektor/komoditas ysng menjadi kekuatan nasional. Dengan melihat karakteristik ekonomi yang ada, saya berharap pemerintah segera mengambil sikap menjadikan sektor pertanian dan SDA sebagai basis ekonomi nasional, sehingga pembangunan sektor industri dan jasa bertumpu kepada sektor tersebut.
Kedua, agenda berikutnya adalah tekad kuat mewujudkan efisiensi dan daya saing ekonomi melalui perbaikan infrastruktur, meniadakan ekonomi biaya tinggi, efisiensi perizinan investasi, dan kepastian regulasi. Ini pekerjaan rumah yang sudah lama, bahkan menjadi klise, tapi tak kunjung dituntaskan. Pekerjaan pembangunan infrastruktur mungkin yang paling rumit karena menyangkut ketersediaan dana dan aneka regulasi di baliknya. Namun, kelambanan pemerintah menekan pungutan liar, efisiensi izin usaha, dan kepastian regulasi merupakan kegagalan yang sulit dipahami. Dalam konteks AFTA, tiga aspek itu merupakan pertarungan yang tidak dapat dikompromikan. Artinya, dalam aspek tersebut level Indonesia harus setara dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand agar daya saing ekonomi menjadi sepadan. Jika tidak bisa, maka ekonomi nasional akan babak belur sebab kualitas SDM dan infrastruktur kita tidak sebaik mereka.
Opsi Renegosiasi
Jika dilihat figur perdagangan Indonesia dengan Asean sebetulnya mendeskripsikan hasil yang ambigu sejak diberlakukannya ACFTA. Pada 2010 ekspor Indonesia ke negara-negara Asean mencapai US$ 25,6 miliar, meningkat dari semula US$ 21,3 miliar pada 2009. Sementara itu, impor Indonesia dari negara-negara Asean pada 2010 senilai US$ 22 miliar, meningkat dari semula US$ 18,4 miliar (naik US$ 3,6 miliar). Artinya, surplus perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota Asean meningkat dari US$ 2,9 (2009) menjadi US$ 3,5 miliar (2010). Tapi kondisi itu tidak bisa bertahan pada 2011 ketika perdagangan dengan Asean defisit sekitar US$ 2 miliar. Defisit itu terutama disumbang dari perdagangan dengan Singapura, Thailand, dan Brunei (berturut-turut defisit US$ 7,5 miliar; US$ 4,5 miliar; dan US$ 937 juta) [BPS, 2012]. Fakta itu menerbitkan informasi bahwa daya saing nasional belum mapan pada level Asean sekalipun.
Hal kedua yang perlu dipahami adalah rendahnya nilai ekspor Indonesia dibanding anggota Asean, khususnya Singapura, Thailand, dan Malaysia. Pada 2011, total nilai ekspor Singapura mencapai US$ 409 miliar, Thailand US$ 244 miliar, dan Malaysia US$ 212 miliar. Pada tahun yang sama, total ekspor Indonesia sebesar US$ 203 miliar. Hal ini tentu ironis mengingat jumlah penduduk dan sumber daya ekonomi yang dipunyai Indonesia jauh lebih besar ketimbang tiga negara tersebut. Hal ini terjadi karena ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas primer (perkebunan dan pertambangan/SDA) sehingga tidak memiliki nilai tambah. Dengan begitu, pekerjaan yang menanti pemerintah (dan tidak boleh ditunda) adalah industrialisasi total terhadap komoditas yang berbasis pertanian dan SDA lainnya. Ekspor komoditas primer (batu bara, gas, sawit, dan lain-lain) secara bertahap harus dikurangi dan pada akhirnya dihentikan total.
Bagian lain yang perlu dengan saksama dilakukan adalah melakukan verifikasi sektor/komoditas yang diperkirakan Indonesia tidak akan mampu bersaing sampai 10 tahun mendatang, meskipun aneka upaya telah diusahakan. Terhadap realitas ini Indonesia hanya memiliki satu opsi: mengupayakan renegosiasi. Langkah ini sementara dianggap tabu oleh pemerintah, namun sesungguhnya harus diambil mengingat yang menjadi taruhan adalah kepentingan ekonomi nasional. Boleh saja kesepakatan perdagangan internasional dijadikan jalan untuk membangun kerjasama ekonomi di level Asean atau yang lain, tapi keberadaannya harus tunduk kepada kepentingan ekonomi nasional. Sekali lagi, sisa waktu tidak terlalu banyak sehingga pilihan pemerintah hanyalah memerkuat ekonomi domestik secara sungguh-sungguh dan memastikan setiap poin kesepakatan perdagangan bakal menguntungkan perekonomian nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef