Pada malam hari 22 Juli 2014 KPU telah menetapkan pemenang pemilihan presiden (pilpres), yakni Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan perolehan suara 53,15%. Kemenangan ini memang masih menyisakan persoalan karena pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa menyatakan menarik diri dari proses rekapitulasi penghitungan suara karena menganggap proses pilpres berjalan tidak adil. Terlepas dari masalah itu, KPU sudah menetapkan pemenang dan sisa masalah tentu akan diselesaikan secara hukum, khususnya di Mahkamah Konstitusi (jika ada pihak yang menggugat). Dengan begitu, secara politik kemenangan Jokowi – JK harus dimulai dengan menyatukan seluruh kelompok kepentingan karena beda suara yang tidak terlalu jauh. Sementara itu, secara ekonomi terdapat banyak agenda yang ditunggu rakyat sesuai dengan janji-janji yang telah diikrarkan.
Fiskal dan Birokrasi
Dalam jangka pendek, pemerintahan baru telah dibekap oleh tiga masalah pokok yang perlu segera diputuskan. Pertama, defisit fiskal membutuhkan penyikapan yang solid dengan memertimbangkan keseluruhan bangunan ekonomi. Defisit fiskal bersumber dari subsidi BBM yang membengkak karena jumlah impor yang terus naik dan harga minyak internasional yang meningkat. Pada tahun ini diperkirakan subisidi minyak sekitar Rp 300 triliun, jumlah yang teramat besar bila dibandingkan dengan pos belanja lain (misalnya belanja modal hanya pada kisaran Rp 240 triliun). Sungguh pun begitu, penyelesaian dengan menaikkan harga minyak bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi ini, sebab hulu persoalan sebetulnya adalah manajemen pengelolaan SDA (eksplorasi minyak) dan tata kelola impor minyak. Pemerintah mesti mengidentifikasi soal ini secara menyeluruh dan mengambil kebijakan yang adil.
Kedua, perbaikan birokrasi yang mendukung kegiatan ekonomi. Penyakit yang membuat ekonomi biaya tinggi di Indonesia adalah praktik pungutan liar (pungli) yang sebagian dilakukan oleh birokrasi dan perizinan yang mahal (dan lama). Pungli sudah diketahui oleh umum, tapi tak juga ada penanganan secara sistematis. Contoh yang paling gamblang terjadi di Jawa Tengah beberapa waktu lalu, ketika Ganjar Pranowo (gubernur) memergoki aparat di jembatan timbang yang menerima uang dari sopir truk. Kejadian semacam ini jamak terjadi pada kegiatan ekonomi dengan modus yang tak jauh berbeda. Perizinan juga sama, di mana ongkos menjadi bengkak akibat praktik pungutan ilegal semacam itu, ditambah dengan waktu yang lama. Hal ini membuat kegiatan ekonomi menjadi tidak efisien dan menurunkan daya saing dalam persaingan internasional.
Ketiga, eksekusi pembangunan infrastruktur merupakan tugas yang harus diperhatikan secara saksama. Problem utama infrastruktur bukanlah aspek pendanaan, meskipun memang jumlah anggaran yang dimiliki pemerintah sangat terbatas. Sampai saat ini anggaran infrastruktur kurang 3% dari PDB (idealnya 5%), padahal negara lain sudah di atas 7% (seperti China dan Vietnam). Jika tidak ada komitmen penambahan dana, maka upaya pembangunan infrastruktur memang akan tersendat. Tapi, soal yang lebih mendesak adalah optimalisasi pemanfaatan dana yang sudah ada. Sampai hari ini pemerintah tidak pernah menyerap belanja modal secara penuh, cuma sekitar 85-90%/tahun. Demikian pula, persetujuan kredit dari perbankan yang tidak dieksekusi mencapai Rp 750 triliun, yang sebagian tentu saja terkait dengan proyek infrastruktur. Pemerintah mesti mengidentifikasi sebabnya dan mencari solusi dengan sigap.
Reformasi Struktural
Di luar soal-soal jangka pendek yang harus dituntaskan, pemerintahan mendatang juga dibebani tugas berat terkait reformasi struktural perekonomian. Tema keadilan ekonomi, penguatan ekonomi domestik, dan partisipasi ekonomi rakyat menjadi pertaruhan yang harus dimenangkan. Keadilan ekonomi dirasakan makin menjauh dalam 10 tahun terakhir. Ekonomi tumbuh, namun sebagian besar dinikmati oleh golongan menengah-atas. Pendapatan golongan bawah memang meningkat, tapi pertumbuhannya hanya cukup untuk menyerap inflasi. Sebaliknya, golongan menengah-atas pertumbuhannya di atas 20% tiap tahun. Akibatnya, ketimpangan pendapatan antargolongan kian melebar. Kebijakan penguatan aset (tanah dan modal) kaum miskin, reformasi pajak, dan transfer sosial merupakan pembaruan kebijakan yang seyogyanya dijalankan pemerintah.
Berikutnya, penguatan ekonomi domestik harus dimaknai sebagai kedaulatan dalam memformulasikan kebijakan ekonomi bagi kepentingan ekonomi nasional. Sektor pertanian, industri, dan energi merupakan kegiatan ekonomi yang sarat dengan kepentingan pada level global, sehingga independensi pemerintah merupakan syarat yang tak bisa dikompromikan. Kebijakan input, produksi, dan distribusi pertanian harus diabdikan untuk kesejahteraan petani dan jangan dibuat sebagai instrumen transaksi dengan negara lain, misalnya lewat skema liberalisasi yang masif. Pada sektor energi, penguasaan produksi dan tata niaga impor harus diurus dengan benar, khususnya dengan merujuk spirit konstitusi. Sementara itu, sektor industri merupakan pertarungan nilai tambah ekonomi yang mesti dijalankan dengan konsisten agar ekonomi hulu menjadi kokoh.
Terakhir, partisipasi ekonomi merupakan tantangan mendesak karena selama ini pelaku ekonomi lemah kian tersisih dari kegiatan ekonomi. Pedagang tradisional, sektor informal, koperasi, dan usaha mikro/kecil merupakan bagian dari pelaku ekonomi yang terpinggirkan. Mereka harus dimasukkan dalam arena ekonomi lagi lewat pengaturan usaha yang adil dan akses ekonomi yang luas. Sektor keuangan didesain untuk melayani kepentingan mereka, bukan sekadar korporasi kakap. Ekonomi pedesaan dihidupkan dan dijadikan jangkar modernisasi ekonomi, sehingga pendalaman pengetahuan dan akses lembaga keuangan memegang peranan utama. Bangun usaha koperasi menjadi model pengembangan ekonomi sehingga nisbah ekonomi terbagi secara merata dan berpotensi memerkuat kohesivitas sosial. Ikhtiar ini memang rumit dan penuh onak, namun hanya dengan jalan ini amanat konstitusi dapat ditunaikan.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Â