Indonesia sampai ini terus masuk radar ekonomi dunia karena kinerja ekonomi yang dianggap bagus. Beragam penghargaan dilayangkan oleh lembaga internasional untuk mengapresiasi pencapaian ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, misalnya dalam soal stabilitas makroekonomi, pengelolaan fiskal, dan peningkatan investasi. Dalam soal yang terakhir ini, ketika hampir seluruh negara berkembang terguncang akibat krisis ekonomi global, seperti yang dialami oleh China dan India, investasi asing tetap hadir dengan pertumbuhan yang sangat tinggi (sekitar 30%). Demikian halnya dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang tetap tinggi, meskipun ada sedikit penurunan. Dalam soal stabilitas makroekonomi, variabel inflasi, nilai tukar, dan suku bunga relatif dalam situasi yang terkendali. Hasil ini melengkapi proyeksi beberapa lembaga internasional yang mengestimasi Indonesia akan menjadi negara besar pada 2030 dan 2050, seperti yang antara lain disampaikan oleh Asia Development Bank (ADB).
Posisi Amerika Serikat
Dalam pertemuan tahunan PBB minggu lalu, pemerintah di sela-sela acara juga mengadakan Indonesia Investment Day di New York yang dihadiri beberapa ekonom dan kaum bisnis terkemuka, seperti Nouriel Roubini (peraih Nobel Ekonomi) dan George Soros. Mereka umumnya memuji kondisi ekonomi Indonesia, bahkan Roubini berpendapat mulai saat ini bukan lagi BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) yang menjadi lokomotif dunia, tapi MIST (Meksiko, Indonesia, Korsel, dan Turki). Presiden sendiri dalam pidatonya menyampaikan keberhasilan Indonesia menjaga stabilitas makroekonomi, mengelola fiskal, dan menumbuhkan investasi. Tentu, presiden juga mengenalkan proyek MP3EI yang menjadi fokus pemerintah kini. Diharapkan investor dari AS tertarik dan mau bergabung dalam pembangunan dan pendanaan proyek-proyek infrastruktur yang telah didaftar dalam MP3EI. Bagi presiden, AS (meskipun sedang dilanda krisis ekonomi) tetapi dianggap sebagai negara penting yang dapat berkontibusi dalam investasi di Indonesia.
Jika dilihat dalam beberapa tahun lalu, posisi AS sebagai penyumbang investasi asing (PMA) di Indonesia memang besar, tidak pernah terlempar dari posisi 2 besar. Namun dalam 3 tahun terakhir, kontribusi AS tergeser oleh negara-negara lain yang kian agresif datang ke Indonesia. Sampai Triwulan I-2012, investasi asing terbesar ke Indonesia adalah Singapura (20,2%), disusul Jepang (11%), Korsel (8,9%), Inggris (5,7%), dan Belanda (4,8%). Sementara itu, sampai Semester I-2012 situasi agak berubah, di mana Singapura tetap yang paling besar, diikuti Jepang, Korsel, AS, dan Australia. Tampak bahwa AS masih menjadi 5 besar negara penyumbang PMA, walaupun pada urutan keempat dengan nilai investasi US$ 0,7 miliar (BKPM, 2012). Di sini sekurangnya terdapat dua faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, AS sedang dilanda krisis ekonomi hebat sehingga para investor sedang melakukan konsolidasi membantu pemulihan ekonomi domestik. Kedua, negara-negara lain makin agresif masuk ke Indonesia karena potensi keuntungan yang besar, termasuk China dan India.
Sungguh pun begitu, meski berada pada urutan keempat, AS tetap merupakan mitra penting karena beberapa investasi strategis mereka sudah sangat mapan di Indonesia. Di sektor sumber daya alam dan energi, aneka korporasi kakap sudah puluhan tahun beroperasi di sini, sebut saja yang paling besar adalah PT Freport. Di perbankan Citibank sudah berjalan sangat lama dan menjadi salah satu bank asing yang sangat dipercaya oleh investor dometik/asing untuk menopang kegiatan usaha. Di luar itu, korporasi AS sudah merambah ke sektor perdagangan, otomotif, perhotelan, jasa, keuangan, dan lain sebagainya. Kegiatan investasi AS di sini bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi jauh lebih bermakna strategis bagi AS sendiri. Lihat saja, ketika Citibank dilanda persoalan akibat kasus kematian salah satu nasabah, petinggi mereka di AS langsung terbang ke sini untuk bertemu dengan presiden. Demikian halnya saat pemerintah sedang menegosiasikan perubahan royalti pertambangan, Hillary Clinton juga bergegas ke sini.
Problem Investasi Asing
Di luar pembicaraan soal AS, keberadaan investasi asing di Indonesia juga laik dibicarakan secara serius dalam beberapa aspek. Pertama, sampai kini sumbangan PMA terhadap total investasi mencapai sekitar 75%. Artinya, PMA menjadi sangat dominan sehingga apabila jumlahnya menurun (drastis), maka akan memengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, sebetulnya yang justru menjadi prioritas pemerintah dalam soal investasi adalah mendorong pembesaran investasi domestik sebagai penyangga ekonomi nasional. PMA memang sebuah keniscayaan, namun jangan sampai kehadirannya malah meminggirkan investasi domestik. Kedua, PMA patut dianggap sebagai sumber ketimpangan pembangunan antardaerah. BKPM mencatat sampai semester 2012 sekitar 54,9% PMA berada di Jawa, berikutnya Sumatera (24,2%), Kalimantan (14,5%), dan pulau-pulau lain mendapatkan porsi yang sangat kecil. Artinya, sekitar 75% PMA hanya menyasar di Jawa dan Sumatera saja.
Ketiga, PMA juga menjadi sumber ketimpangan pendapatan yang makin menganga. Data BPS menunjukkan adanya peningkatan indeks Gini Rasio (yang mengukur ketimpangan pendapatan). Pada 2004 Gini Rasio masih berada di level 0,32-0,33; namun pada 2011 sudah melesat menjadi 0,41 (makin timpang). Mengapa PMA menjadi salah satu sumber masalah? Hal ini terkait karakteristik PMA yang sedikit menciptakan lapangan kerja karena padat modal/teknologi, sehingga hanya mereka yang berpendidikan bisa masuk. Sebaliknya, sebagian besar (70%) tenaga kerja di Indonesia hanya tamatan SMP ke bawah. Keempat, situasi menjadi makin parah karena pada umumnya PMA tersebut tidak berorientasi ekspor, tapi malah memanfaatkan pasar Indonesia yang besar sebagai fokus penjualan. Ini yang membuat pertumbuhan PMA tidak lantas meningkatkan ekspor secara linier. Sampai kini sebagian ekspor Indonesia malah hanya tergantung dari komoditas primer (seperti perkebunan) yang didominasi PMDN (meskipun asing juga masuk ke sini).
Jadi, memang ada eskalasi masalah yang perlu ditangani secara serius menyangkut keberadaan investasi asing di Indonesia. Pandangan ini tidak perlu ditanggapi sebagai sikap antiasing, tapi sekadar memastikan bahwa keberadaannya harus betul-betul berada dalam porsi yang tepat dan memberi manfaat bagi ekonomi nasional. Selama ini telah ada aneka program dan fasilitasi yang dirancang pemerintah untuk mendatangkan PMA, tapi sangat sedikit upaya yang didesain untuk meningkatkan PMDN. Tentu ini merupakan langkah keliru sebab mestinya investasi domestik menjadi pilar terpenting dalam menggerakkan perekonomian, sedangkan PMA adalah suplemennya. Oleh karena itu, mendesak bagi pemerintah dan BKPM bahu-membahu mendesain regulasi dan program kongkret meningkatkan porsi PMDN dalam konfigurasi investasi nasional. Jika upaya ini dilakukan dan berhasil, banyak masalah ekonomi nasional dapat diselesaikan secara otomatis, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef