Pemerintah kembali melakukan langkah akrobatik pasca-keputusan UU APBN-P Pasal 7 Ayat 6a UU No. 22/2011. Jika mengacu UU tersebut, mestinya pemerintah baru mendesain kebijakan subsidi BBM pada awal Juli 2012 sesuai mandat Ayat 6a itu. Namun, dengan mencermati perkembangan harga BBM di pasar internasional dan pola konsumsi BBM bersubsidi yang kian deras, pemerintah merasa perlu melakukan langkah antisipasi sejak dini, yaitu lewat opsi penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Meskipun pemerintah belum menyatakan secara resmi dan di internal kabinet pun terdapat perbedaan sikap, misalnya antara Menko Perekonomian dan Menteri ESDM, tapi sinyal ke arah sana terlihat cukup kuat. Tulisan ini tidak akan menyoal substansi kebijakan yang akan diambil pemerintah (pengurangan subsidi BBM), namun memberikan refleksi atas kegagalan pemerintah dalam mendesakkan kebijakan tersebut.
Pilihan Argumentasi
Sejak awal pemerintah memilih dua argumen untuk menyokong kebijakan penghematan konsumsi/pengurangan subsidi BBM: menyelamatkan APBN dan ketidakadilan ekonomi. Penyelamatan APBN dipandang mempunyai dasar yang kukuh karena tanpa kenaikan harga BBM atau penghematan konsumsi maka defisit anggaran membengkak. Padahal, salah satu prestasi yang diandalkan pemerintah selama ini dalam mengelola perekonomian adalah disiplin fiskal (defisit anggaran rendah). Berikutnya, ketidakadilan ekonomi merupakan penjelasan atas sangkaan subsidi BBM lebih banyak dinikmati golongan kaya sehingga kenaikan harga BBM (pengurangan subsidi) justru menjadi instrumen yang lebih adil bagi golongan ekonomi menengah/bawah. Pertanyaannya, mengapa alasan yang tampak begitu rasional dan laik itu tidak berjalan di lapangan politik sesuai harapan pemerintah?
Dalam formulasi kebijakan ekonomi dikenal dua pendekatan untuk melihat bagaimana sebuah kebijakan diformulasikan (Dixit, 2000). Pertama, pendekatan normatif (normative approach) memandang proses pembuatan dan implementasi kebijakan sepenuhnya merupakan soal teknis. Pemerintah diandaikan bisa mengontrol seluruh proses ini, dan seandainya ada halangan politik pemerintah dapat mencegahnya dengan pengelolaan yang baik lewat pemberian mandat kepada profesional/ekonom untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kedua, pendekatan positif ekonomi politik (positive view of political economy) melihat proses pembuatan kebijakan merupakan permainan politik yang mempertemukan banyak pemain dalam proses politik, baik prinsipal maupun agen. Tampaknya, dalam kasus subsidi BBM ini, pemerintah menempatkan pendekatan normatif sebagai pijakan untuk meloloskan kebijakan yang diinginkannya.
Argumen penyelamatan APBN dan keadilan ekonomi memerlihatkan secara gamblang pandangan “technical problem†di atas. Pemerintah berpikir respons terhadap kenaikan harga minyak internasional dengan mudah dapat disikapi via kebijakan teknis yang pemegang saham pembuat kebijakan lainnya (baca: legislatif) bisa memufakati. Hasilnya, pemerintah salah tebak. Seperti halnya di AS, isu defisit anggaran tidak pernah bisa menjadi hal yang penting karena, baik birokrat maupun politisi, mempunyai kepentingan yang sama terhadap anggaran, yaitu sebagai instrumen merawat konstituensi. Aspirasi parlemen dan pemerintah selalu sama: pembesaran pengeluaran, pengurangan pajak, dan anggaran berimbang. Dan semua paham, ketiganya tidaklah kompatibel dalam kebijakan fiskal. Seterusnya, hal yang sama juga menyangkut keadilan ekonomi. Bagi para politisi masih hidup pandangan bahwa subsidi (termasuk BBM) merupakan bagian dari perangkat untuk menjaga konstituennya (di luar soal pilihan ideologis), sehingga pengurangan subsidi akan menyulitkan posisi politik mereka.
Pengadilan Politik
Jawaban di atas masih menyisakan pertanyaan yang tak terjawab: mengapa pada 2005 dan 2008 kebijakan serupa bisa dieksekusi relatif lancar? Pertama, pada kurun waktu tersebut soliditas partai koalisi cukup kentara, sekurangnya wakil presiden merupakan representasi dari salah satu parpol besar yang siap pasang badan mengamankan kebijakan pemerintah. Kemewahan itu tidak dimiliki saat ini ketika ikatan koalisi sangat rapuh, sehingga sumber masalah justru bukan berasal dari partai oposisi. Kedua, kredibilitas dan konsistensi pemerintah pada ketika itu relatif terjaga dibandingkan sekarang sehingga legislatif maupun rakyat “mudah†menerima kebijakan tersebut. Pemerintah relatif kredibel sebab tiap kebijakan diperjuangkan dengan sepenuh keyakinan. Demikian pula, pemerintah dianggap konsisten karena kebijakan strategis didesain lebih matang sehingga tidak berubah-ubah setiap saat.
Narasi tersebut memberi hikmah bahwa proses pembuatan kebijakan tidak pernah sepi dari kepentingan politik, tak terkecuali pemerintah sendiri. Pendapat yang mengutuk DPR hanya peduli dengan kepentingan politik merupakan pikiran lugu karena hal yang sama juga diniati pemerintah (termasuk isu pengamanan APBN dan keadilan ekonomi). Pada akhirnya, di luar pilihan argumen yang kuat, yang bakal dirasakan manfaatnya oleh rakyat (alasan penyelamatan APBN dan keadilan ekonomi terlalu abstrak bagi politisi/rakyat), maka pemerintah perlu konsentrasi mengubah prosedur pembuatan kebijakan yang dianggap strategis. Perjuangan pemerintah ke depan adalah merebut ruang yang lebih besar untuk mendesain kebijakan tanpa melewati lorong parlemen, seperti kasus BBM ini. Jika nantinya kebijakan pemerintah dianggap salah atau gagal dijalankan, biarlah pengadilan politik (misalnya pemilu) yang akan menghukumnya.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef