Pada 1-8 Oktober 2013 Indonesia akan menjadi tuan untuk yang kedua kalinya hajatan APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation), yang bertempat di Bali. Hampir 20 tahun lalu, tepatnya pada 1994, Indonesia telah menjadi tuan rumah pertemuan puncak APEC di Bogor, yang saat itu menghasilkan Deklarasi Bogor. APEC memiliki arti strategis karena negara-negara besar terlibat di dalamnya, baik dari AS, Eropa, maupun Asia. Meskipun tidak menghasilkan kesepakatan mengikat seperti layaknya blok perdagangan bebas, semacam AFTA (Asean Free Trade Area), namun APEC tetap membuat komitmen yang secara “informal†memengaruhi anggotanya untuk menjalankan kesepakatan tersebut. Tentu saja, jika ada negara yang tidak komit terhadap kesepakatan tak ada sanksi yang akan dijatuhkan, tetapi tetap saja secara psikologis membuat negara tersebut dikucilkan dari sisi hubungan internasional. Oleh karena itu, tiap konsensus yang disepakati merupakan dokumen yang memiliki makna strategis.
Promosi Liberalisasi
Sejak awal berdirinya, APEC telah memiliki kepedulian terhadap perdagangan bebas, ditambah dengan pendalaman investasi dan kerjasama teknik antaranggota. Seperti halnya blok perdagangan atau forum sejenis, APEC didesain untuk mendorong secara lebih cepat liberalisasi ekonomi yang disorong oleh negara-negara maju. Perdagangan bebas merupakan instrumen kunci untuk mempercepat konektivitas ekonomi antarnegara, sehingga pasar suatu komoditas tidak dibatasi lingkup wilayah yang kecil (misalnya satu negara). Jika perdagangan bebas sudah dijalankan, maka secara otomatis kebutuhan penyelenggaraan kebebasan investasi juga muncul. Dengan transaksi jual-beli barang/jasa yang meningkat, maka diperlukan sistem produksi yang dapat menopang peningkatan transaksi tersebut. Jalan keluarnya adalah pembukaan investasi pada masing-masing negara, yang selanjutnya diikuti oleh kerjasama teknis untuk menyangga kegiatan investasi itu.
Oleh karena itu, tidak heran apabila kontribusi PMA (Penanaman Modal Asing) makin meningkat sejak dekade 1980-an setelah secara perlahan agenda liberalisasi ekonomi dijalankan, khususnya di negara berkembang. Pada titik ini APEC menjadi instrumen yang memfasilitasi diskusi-diskusi antarnegara di kawasan Asia Pasifik yang dianggap menjadi tulang punggung perekonomian dunia. Dari sisi ekonomi, baik sumbangan PDB maupun perdagangan dunia, negara anggota APEC menyumbang lebih dari 50%. Dengan kata lain, kawasan ini menjadi “market leader†untuk perekonomian dunia. Jika anggota APEC memiliki komitmen penuh melaksanakan liberalisasi, maka dengan gampang kawasan lain dipengaruhi. Lebih-lebih, sebagian dari anggota APEC juga masuk dalam G-20, termasuk Indonesia, yang selama ini dianggap sebagai 20 negara dengan ukuran ekonomi paling besar di dunia. Jadi, di situlah letak pentingnya keberadaan APEC dalam konstelasi promosi liberalisasi ekonomi.
Masalahnya, bagi Indonesia yang telah terlibat dalam APEC sejak awal berdirinya, apakah orientasi yang diusung tersebut paralel dengan agenda ekonomi nasional? Sulit untuk menjawab bahwa terdapat paralelisme di antara keduanya. Pertama, sampai saat ini Indonesia justru terpuruk sejak liberalisasi perdagangan dan investasi dijalankan. Pertama kalinya, setelah 40 tahun, neraca perdagangan nasional defisit pada 2012 akibat pertumbuhan ekspor yang selalu lebih rendah dari pertumbuhan impor tiap tahunnya. Dalam kasus ACTFA (Asean-China Free Trade Area), defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap China makin meningkat sejak 2010. Pada 2012 nilai defisit mencapai lebih dari US$ 8 miliar, sementara pada tahun ini diperkirakan defisitnya menembus US$ 10 miliar. Jika pasar dibuka lebih luas lagi, seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang akan berlaku pada 2015 mendatang, maka bisa dibayangkan bagaimana situasi neraca perdagangan Indonesia di masa depan.
Ketimpangan Pembangunan
Kedua, sampai sekarang sumbangan PMA terhadap total investasi nasional kurang lebih 70%. Artinya, PMDN hanya berkontribusi sebanyak 30%. BKPM yang diharapkan menjadi promotor bagi pelaku ekonomi domestik untuk mengisi ruang ekonomi yang tersedia, kebijakan dan kegiatan yang dilakukannya malah lebih banyak melayani keperluan investor asing. Aneka kebijakan dan promosi terus dilakukan oleh BKPM demi memenuhi keinginan investor negara lain. Nyaris tak pernah terdengar BKPM memberikan fasilitas agar investasi domestik menjadi lebih berdaya di negaranya. BKPM hanya peduli dengan terget kenaikan investasi, tanpa acuh siapa yang menikmati dan memiliki investasi tersebut. Di samping mempersempit ruang ekonomi bagi pelaku ekonomi domestik, PMA tersebut juga menyerang Indonesia dari sisi modal berupa repatriasi yang dibawa ke negara asal yang cukup besar. Pada 2012, misalnya, repatriasi PMA mencapai US$ 17 miliar. Nilai ini bukan hanya banyak, tapi juga turut memperbesar defisit neraca transaksi berjalan.
Ketiga, terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan yang kian besar saat liberalisasi ekonomi dijalankan. Liberalisasi ekonomi memang membuat lapangan ekonomi makin luas, namun itu hanya berfaedah bagi pelau ekonomi yang memiliki akses, modal, dan keterampilan yang cukup. Masalahnya, sampai kini 67% tenaga kerja domestik hanya tamat SMP ke bawah, bahkan masih banyak yang tak selesai SD. Sektor ekonomi yang tumbuh cepat adalah nontradeable sector yang dihuni oleh sedikit tenaga kerja dengan keterampilan tinggi, yang sebagian adalah warga asing. Sebaliknya, sektor riil (sektor pertanian dan menufaktur padat tenaga kerja) sulit berkembang karena keterbatasan modal, pendidikan, dan dukungan kebijakan pemerintah (proteksi dikurangi dari waktu ke waktu). Demikian pula, investor hanya mau masuk ke Jawa yang infrastruktur dan pasarnya mapan. Tepat pada titik inilah ekonomi nasional dikepung oleh tiga jenis ketimpangan: antargolongan, antarsektor, dan antarwilayah.
Persoalan-persoalan itulah yang menjadi agenda ekonomi nasional dalam jangka pendek, yang tentu saja tidak sejalan dengan orientasi APEC. Indonesia harus bicara lantang dalam forum APEC terhadap isu-isu tersebut jika masih berharap APEC relevan dengan kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah mestinya menjadi juru bicara yang fasih untuk menyuarakan negara-negara yang kepentingan ekonominya hancur akibat praktik liberalisasi ekonomi. Pemburukan ekonomi yang terjadi belakangan ini, baik level global maupun nasional, tidaklah merupakan fenomena otonom yang terlepas dari realitas globalisasi/liberalisasi, tapi justru merupakan satu rangkaian peristiwa yang tali-temali. Namun, nampaknya, sulit mengharapkan pemerintah melakukan mandat tersebut karena sejak awal pemerintah menganggap liberalisasi ekonomi merupakan instrumen yang paling tepat untuk menggerakkan perekonomian nasional. Amat disayangkan, pesan konstitusi tak pernah mengendap dalam pikiran dan tindakan pemerintah.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef