Indonesia kembali menjadi tuan ramah hajatan besar yang bernama APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation), tepatnya di Bali pada 1-8 Oktober 2013. Disebut hajatan besar karena melibatkan tak kurang dari 21 kepala negara (sesuai jumlah anggota APEC) dan sekitar 1200 pemimpin puncak korporasi dari masing-masing negara anggota. Indonesia sendiri direncanakan akan menghadirkan 250 pemimpin perusahaan kakap (CEO) untuk berinteraksi dengan pemimpin perusahaan lainnya dan menangkap peluang usaha. Tiap tahun KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ini digelar dengan berpindah-pindah negara, di mana Indonesia sendiri pernah menjadi tuan rumah pada 1994 (lima tahun setelah lembaga ini berdiri pada 1989). APEC memiliki nilai strategis secara ekonomi maupun politik, karena melibatkan negara-negara yang memiliki bobot cukup besar, seperti AS, Jepang, Rusia, Korsel, China, Kanada, dan Australia. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang dihasilkan dari forum KTT ini pasti menjadi pusat perhatian dunia.
APEC dan Liberalisasi
Dalam konstelasi global, barangkali keberadaan APEC hanya terpaut sedikit di bawah G-20 (20 negara paling besar ukuran ekonominya di dunia). Indonesia dan 7 negara APEC lainnya masuk dalam G-20. APEC tidak bisa dipandang sebelah mata karena mewakili kurang lebih 40% penduduk dunia, 55% PDB global, dan 50% perdagangan internasional. Dengan kekuatan tersebut, dapat dibayangkan bila seluruh gerakan dan kebijakan yang dihasilkan dari KTT pasti memengaruhi dinamika perekonomian global. Seperti juga organisasi ekonomi internasional sejenis, APEC konsentrasi untuk mewujudkan ekonomi dunia tanpa hambatan (proteksi). Semangat menjalankan agenda liberalisasi ekonomi (perdagangan dan investasi) begitu terasa sejak awal berdirinya. Di luar itu, APEC juga memfasilitasi interaksi bisnis antarnegara anggota dan kerjasama ekonomi dan teknik. Dengan begitu, keberadaan Indonesia di APEC makin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara pemeluk liberalisasi.
Forum KTT ini memiliki makna yang strategis karena berlangsung tepat ketika terjadi turbulensi ekonomi dunia, baik yang terjadi di negara maju maupun sebagian negara berkembang. Negara maju sejak 2010 lalu dihajar oleh krisis fiskal yang parah sehingga sampai hari ini masih tertatif-tatif memulihkan perekonomiannya. Sementara itu, sebagian negara berkembang turut terhempas krisis ekonomi akibat situasi di negara maju. Terlebih, saat ini negara berkembang yang mempunyai bobot ekonomi besar, seperti China, India, dan Indonesia sedang dihimpit dengan pusaran krisis yang lebih dalam, antara lain akibat rencana pemerintah AS mengurangi pembelian obligasi (tapering-off) yang telah dijalankan selama 3 tahun terakhir. Kebijakan tersebut, ditambah dengan proyeksi ekonomi AS yang mulai membaik, mengakibatkan pelarian modal dari negara berkembang ke negara maju sehingga mengguncang nilai tukar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Krisis ekonomi tersebut bukan merupakan peristiwa baru, karena makin kerap terjadi sejak dekade 2000-an. Bukan pula merupakan kebetulan bila intensitas krisis yang kian sering itu datang bersamaaan dengan era liberalisasi. Pada satu sisi, liberalisasi membuat interaksi antarnegara makin erat sehingga memungkinkan akumulasi kegiatan ekonomi digencarkan. Inilah yang menjadi dasar bahwa kemakmuran ekonomi menjadi lebih mudah dicapai ketimbang masing-masing negara membentengi (memproteksi) pasarnya. Tapi, di sisi lain, liberalisasi juga membikin tiap negara sulit menghindar dari perangkap krisis bila negara lain sedang mengalami masalah. Hal ini bisa terjadi karena intensitas hubungan antarnegara makin pekat, baik di sektor keuangan, perdagangan, investasi, dan lain-lain. Tepat pada titik inilah liberalisasi ekonomi sampai kini gagal mencapai cita-citanya, sehingga hasrat untuk mengevaluasi dan meninggalkan konsep ini kian hari makin kencang, bahkan di negara maju sendiri.
Relevansi APEC
Indonesia telah merasakan betapa pahitnya dampak dari liberaliasi tersebut. Sejak 2010 saat diberlakukan secara efektif ACFTA (Asean-China Free Trade Area) secara perlahan pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk impor, khususnya China. Kapasitas untuk berkompetisi dengan negara-negara Asean sendiri juga makin kelihatan keroposnya sehingga neraca perdagangan mulai tergerus, misalnya dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia. Hasilnya, pada 2012 neraca perdagangan mengalami defisit. Ini merupakan defisit neraca perdagangan pertama kali dalam 40 tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan tersebut merupakan gabungan dari sebab pasar domestik yang sangat terbuka, daya saing ekonomi yang keropos, dan kesalahan opsi kebijakan. Liberalisasi ekonomi hanya akan bermanfaat bila diandaikan seluruh negara memiliki kemampuan yang merata, sesuatu yang sebetulnya mustahil terjadi. Bila tidak, maka liberalisasi pasti akan menjadi sumber petaka.
Data terbaru daya saing global yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF, 2013) menunjukkan daya saing Indonesia masih berada di bawah Singapura, AS, Jepang, Korsel, Malaysia, Brunei, China, dan Thailand (semuanya ini anggota APEC). Peringkat Indonesia tahun ini sebetulnya sudah mengalami lompatan yang besar dari posisi 50 (2012/2013) menjadi peringkat 38 (2013/2014). Namun, lompatan peringkat itu masih belum cukup untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain sehingga perlu kerja keras untuk menggapaianya. Di luar itu, liberalisasi ekonomi menghajar Indonesia dari sisi lainnya, yaitu munculnya patologi ketimpangan pendapatan yang kian akut. Liberalisasi ekonomi memang menawarkan peluang ekonomi yang lebih besar, tapi itu hanya dapat diserap oleh pekerja terampil dan berpengetahuan. Celakanya, 67% tenaga kerja nasional hanya berpendidikan SMP ke bawah. Mereka inilah yang tersingkir dari arena ekonomi sehingga menyebabkan ketimpangan makin besar.
Setelah melihat perkembangan tersebut, pertanyaan dasarnya adalah, apakah APEC masih relevan dalam konteks perkembangan ekonomi global? Lebih menukik lagi, apakah APEC masih layak untuk diikuti Indonesia? Menyangkut pertanyaan pertama, APEC harus dapat membaca perkembangan ekonomi global saat ini yang cenderung melihat liberalisasi sebagai langkah salah karena menimbulkan persoalan pelik pada hampir semua negara, tak terkecuali di negara maju. Desakan untuk kembali kepada penataan ekonomi yang lebih manusiawi dan adil terus bergema, termasuk di AS dan Eropa. Presiden Obama telah melakukan langkah eksesif untuk memasukkan instrumen campur tangan pemerintah dalam pengaturan ekonomi dan sosial, seperti pengenaan pajak progresif dan reformasi asuransi kesehatan. Hal yang sama dilakukan oleh Hollande (Presiden Perancis). Oleh sebab itu, jika APEC tidak melakukan metamorfosis terhadap perubahan itu, maka keberadaannya menjadi ahistoris.
Sementara itu, pertanyaan kedua dapat pula dijawab dengan pola yang sama. Jika Indonesia tidak dapat mewarnai APEC untuk melakukan perubahan ke arah penghentian liberalisasi yang makin menyengsarakan ekonomi nasional, maka keikutsertaan Indonesia bakal dicatat sebagai dosa sejarah yang sulit dimaafkan. Hari ini seluruh rakyat menyaksikan dan merasakan sendiri bahwa kehidupan ekonomi kian sulit, sementara pelaku ekonomi luar negeri begitu mudah masuk dan difasilitasi pemerintah dengan sepenuh hati. Nyaris semua sektor dan komoditas vital digenggam bukan oleh anak bangsa, tapi disesaki oleh pemain-pemain internasional yang tidak jelas kontribusinya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pernyataan ini bukanlah pamflet yang tidak ada penopang data empirisnya, namun kenyataan hidup yang sangat mudah disodorkan realitasnya. Singkatnya, jika langgam gerak APEC (dan juga aneka organisasi sejenis lainnya) hanya untuk memfasilitasi liberalisasi yang tak sesuai dengan karakter ekonomi negara, maka tak ada faedahnya bertahan lebih lama di dalamnya.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef