Akhir tahun lalu kita dikejutkan oleh beberapa data ekonomi yang mencemaskan. Di antara banyak data miris tersebut, dua data berikut bisa menjadi representasinya. Pertama, selama Maret – September 2012 angka kemiskinan hanya turun 0,3%. Itu artinya, kemampuan pemerintah menurunkan angka kemiskinan makin lemah dari waktu ke waktu. Anehnya, penurunan ini terjadi bersamaan dengan makin besarnya anggaran yang digunakan untuk mengatasinya. Kedua, sampai Triwulan III 2012 data BPS menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu membuka 180 ribu tenaga kerja. Kinerja ini jauh lebih buruk ketimbang 2010 (400 ribu tenaga kerja) dan 2011 (225 ribu tenaga kerja). Jika ditambahkan dengan data ketimpangan pendapatan yang menganga, maka kian sempurna problem terkait kualitas pembangunan pada beberapa tahun terakhir.
Sektor Pertanian Macet
Pemerintah berkilah penurunan kemiskinan yang lambat diakibatkan oleh persentase kemiskinan yang sudah relatif rendah, sehingga setiap upaya pengurangan akan makin sulit. Argumen ini sebetulnya lemah karena kemiskinan “alamiah†sebetulnya berada di kisaran 4%, yang disebabkan oleh adanya individu yang sakit (permanen), cacat, lanjut usia, dan lain sebagainya. Jika kemiskinan berada di kisaran 10%, maka masih terbuka penurunan dalam persentase yang besar. Dalam kasus sedikitnya jumlah kemiskinan yang bisa dikurangi dalam beberapa tahun terakhir, kemungkinan besar terkait rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dan industri yang selama ini menjadi kantung kemiskinan. Pertumbuhan sektor pertanian nyaris tidak pernah di atas 3%, bahkan beberapa kali hanya sedikit di atas 2% (padahal pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%). Intinya, nyaris mustahil mengurangi kemiskinan jika sektor pertanian tumbuh rendah (involusi pertanian).
Pola yang sama juga terjadi di sektor industri. Sektor tersebut sedikit membaik pertumbuhannya dalam 2 tahun terakhir setelah sebelumnya berada dalam jebakan zona pertumbuhan rendah. Pada sektor industri ini kelemahan yang menonjol adalah keterlambatan pemerintah mengembangkan industri yang berbasis komoditas pertanian (agroindutri). Aneka komoditas pertanian, perkebunan, perikanan/kelautan, peternakan, dan lain-lain hanya dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga tidak memiliki nilai tambah. Implikasinya, mereka yang bekerja di situ terjebak dalam kondisi pendapatan yang rendah. Jika sektor hilir dibangun, maka minimal kemanfaaatan yang diperoleh adalah: (1) penciptaan lapangan kerja yang besar karena menggunakan teknologi yang rendah/menengah; dan (ii) daya beli pekerja kian meningkat karena barang yang diproduksi memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Dalam soal penciptaan lapangan kerja ini, kegagalan pemerintah terletak pada struktur pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor non-tradeable. Sektor ini memang memiliki nilai tambah yang tinggi, namun elastisitas terhadap penciptaan lapangan kerja kecil. Implikasinya, setiap pertumbuhan yang terjadi pada sektor tersebut hanya akan menciutkan penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan kesenjangan pendapatan. Tentu saja pemerintah tidak harus mengurangi pertumbuhan sektor ini, tapi mendorong sektor riil (industri dan pertanian) mengejar pertumbuhan tersebut agar lebih seimbang. Pada titik ini bukan sekadar dibutuhkan instrumen keuangan dan infrastruktur pendukung, namun lebih penting dari itu (seperti yang telah berulang kali disampaikan) adalah kesadaran untuk menempatkan sektor tersebut sebagai basis ekonomi nasional. Sejarah telah memberi pelajaran: negara yang melakukan pembangunan dengan benar selalu bertumpu kepada sumber daya ekonomi yang dimiliki.
Fatamorgana Pertumbuhan
Pola pembangunan seperti itulah yang pernah dipraktikkan Indonesia pada masa awal-awal pembangunan (dekade 1970-an) sehingga bisa menurunkan kemiskinan dalam jumlah yang besar disertai ketimpangan pendapatan yang relatif rendah. Hasilnya, pada periode 1980-1993 Indonesia (bersama dengan Malaysia) digolongkan sebagai model terbaik yang dalam waktu bersamaan dapat memadukan antara pertumbuhan ekonomi (yang memiliki konsekuensi penurunan kemiskinan/pertumbuhan berkualitas) dan pemerataan pendapatan. Sebaliknya, Rusia (1980-1993) adalah kasus terburuk karena memeroleh pertumbuhan ekonomi rendah dan ketimpangan pendapatan tinggi. China (1985-1993) dan Thailand (1981-1992) pertumbuhan ekonominya tinggi, namun pemerataan pendapatannya jelek. Sementara itu, Srilanka (1981-1990) pemerataan pendapatannya bagus, tapi pertumbuhan ekonominya rendah (Fritzen, 2002).
Model pembangunan Indonesia pada masa itulah yang dalam 10 tahun terakhir ditiru oleh Vietnam sehingga pada periode 2002-2012 kemiskinan di sana turun dari 29,0% menjadi 9,5%. Artinya, dalam kurun waktu 10 tahun kemiskinan turun 19,5%. Sebaliknya, Indonesia pada kurun waktu yang sama hanya mampu menurunkan kemiskinan 6% (dengan menggunakan garis kemiskinan yang sangat rendah). Oleh karena itu, persoalan Indonesia bukanlah keterbatasan konsep, tapi keengganan untuk mengadopsi sesuatu yang sudah pasti menjadi jalan permanen pembangunan. Pemerintah perlu bersikap teguh agar tidak gampang digoda oleh fatamorgana pertumbuhan yang menyilaukan ataupun intervensi para pemilik modal/kepentingan negara lain yang terbukti membusukkkan perekonomian. Saat ini merupakan momentum yang bagus, ketika pemerintah diingatkan betapa buruknya kinerja pengurangan kemiskinan dan lapangan pekerjaan, untuk mengarahkan layar ekonomi kepada kompas yang benar.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef