Jika kita menoleh ke belakang, sejarah kenaikan harga minyak (BBM) di Indonesia adalah kisah rendahnya kredibilitas hitungan statistik berhadapan dengan realitas di lapangan. Ambil saja kasus kenaikan harga BBM pada 2005 lalu, di mana pemerintah menaikkan harga BBM sebesar sebanyak 2 kali, yaitu Maret dan Oktober 2005 (rata-rata naik sekitar 110%). Untuk menghindari lonjakan jumlah orang miskin disiapkan skema dana kompensasi (BLT) yang diberikan kepada sekitar 36 juta rakyat miskin dengan total dana Rp 17,9 triliun. Lembaga kajian ekonomi dari sebuah Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia diminta membuat simulasi atas skema kebijakan tersebut dan menghasilkan kesimpulan: penduduk miskin akan berkurang dari 16,7% menjadi tinggal 13%. Pemerintah yakin betul dengan kajian sumir tersebut, sehingga abai terhadap kritik atas akurasi simulasi itu. Sejarah menyimpan warta: pada awal 2006 jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75%) akibat inflasi yang meroket mencapai 17,11%.
Legitimasi Etis
Dalam kasus kenaikan harga BBM tersebut, mengapa simulasi statistik atau model ekonometrik tidak sanggup memprediksi secara akurat? Jawabannya sederhana: pemerintah tidak dapat mengisolasi secara meyakinkan perembetan kenaikan harga BBM terhadap komoditas-komoditas lainnya, entah makanan, transportasi, pendidikan, pakaian, dan lain-lain. Apakah penjalaran semacam itu tidak dapat diestimasi? Sebetulnya bisa selama struktur pasar (distribusi) sehat, faktor spekulasi dianggap absen, dan infrastruktur bagus. Tapi, ketiga asumsi tersebut tidak ada di sini, di mana struktur pasar sangat oligopolis (khususnya komoditas pertanian), spekulasi menjadi tradisi, dan ketersediaan infrastruktur sangat parah. Implikasinya, model ekonometrik secanggih apapun dipastikan meleset karena tidak mampu menginternalisasikan kejadian-kejadian di luar asumsi. Pada kasus 2005 tersebut, APBNP II memprediksi inflasi hanya 8,6%, tapi dalam realitasnya melesat menjadi 17,11% (inflasi 2004 sendiri sebesar 6,4%).
Berikutnya, kenaikan harga BBM selalu dikaitkan dengan keselamatan fiskal, seolah-olah jika subsidi dipangkas maka secara otomatis anggaran fiskal akan sehat. Sepintas logika itu mungkin benar, sebab bila subsidi BBM dikurangi (yang dianggap selama ini hanya dinikmati oleh golongan berpendapatan menengah ke atas) maka ruang fiskal terbuka lebar untuk pembangunan lain, misalnya belanja modal dan sosial. Mari kita lihat lagi dari kasus 2005 itu. Akibat kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi 2005 mengalami kontraksi menjadi 5,6%, padahal seandainya kenaikan BBM tidak terjadi pertumbuhan ekonomi minimal bisa 6,5%. Saat itu, tercatat sektor pertanian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; perdagangan; hotel dan restoran; keuangan; persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa peranannya menurun terhadap PDB (BPS, 2006). Kesimpulan generik: jika dibuat neraca, penghematan fiskal yang diperoleh jauh lebih kecil ketimbang penurunan pergerakan ekonomi secara keseluruhan.
Terakhir, setiap kebijakan publik harus mendapatkan dua pasokan legitimasi sekaligus: etis dan pragmatis. Legitimasi etis berkaitan dengan ketiadaan konflik kepentingan dan noda masalah di sekitar obyek kebijakan publik. Sementara itu, legitimasi pragmatis bersinggungan dengan argumentasi praktis untuk memecahkan masalah sedini mungkin. Dalam soal kenaikan harga BBM ini secara pragmatis mungkin bisa dibenarkan, karena harga minyak internasional melambung dan subsidi membengkak jika tidak ditempuh opsi kenaikan harga BBM. Tapi di balik itu sebetulnya ada perkara etis yang menumpuk: salah satunya perampokan sumber daya alam/SDA dan mafia minyak yang tidak terjamah selama ini. Bayangkan, kita meributkan duit Rp 120 triliun untuk subsidi minyak, padahal pemerintah tiap tahunnya mengeluarkan uang dalam jumlah yang sama cuma untuk membayar cost recovery perusahan eksplorator minyak (yang didominasi asing). Pertanyaannya, apakah etis seluruh lapisan rakyat diminta menanggung beban atas kekhilafan/dosa pemerintah dan pesta pora para cukong/bandar/mafia minyak?
Perburuan Rente SDA
Dengan mendeskripsikan pokok soal di atas, saya sebetulnya hanya ingin menyampaikan dua pesan. Pertama, jika benar bahwa nantinya kebijakan kenaikan BBM dilakukan, maka pemerintah jangan naif memercayai bahwa kenaikan inflasi hanya akan di bawah 1,5% (jika premium naik sekitar Rp 1500/liter). Pemerintah mesti menyadari bahwa struktur pasar distribusi, situasi para spekulan, dan keadaan infrastruktur hari ini persis sama dengan kondisi 2005. Kapasitas birokrasi untuk mengatasi soal-soal itu dalam jangka pendek (apalagi dalam waktu sebulan jika memang kenaikan harga BBM dilakukan awal April 2012) nyaris nol persen. Pemerintah harus jujur mengatakan berapa inflasi yang realistis bakal terjadi dan kemungkinan lonjakan kemiskinan akibat kebijakan tersebut. Bukan masanya lagi rakyat dibuai dengan ramalan statistik yang tidak masuk akal, sambil tentu saja pemerintah menyiapkan skema kompensasi yang lebih cerdas, beradab, implementatif, dan tidak memunculkan perburuan rente baru.
Kedua, seandainya kebijakan kenaikan harga BBM jadi dieksekusi, maka pemerintah memanggul tugas maha penting: menyelesaikan persoalan terkait legitimasi etis di atas. Pada saatnya rakyat pasti akan paham bahwa harga minyak murah tidak lagi bisa dipertahankan akibat cadangan SDA yang menipis dan harga minyak internasional yang melambung (sementara Indonesia menjadi net importir). Tapi, meminta rakyat mafhum atas situasi itu tanpa mengatasi praktik mafia minyak, perampokan massif SDA (oleh asing maupun predator domestik), dan membiarkan perburuan rente di sektor pertambangan; maka sama halnya dengan menggencet hak hidup rakyat. Argumen kenaikan harga BBM demi anggaran fiskal yang sehat dan mengurangi subsidi kepada orang kaya menjadi patah dan sebatas dongeng engantar tidur bila pasokan legitimasi etis tidak cepat didapat. Kontrak seperti ini yang harus disodorkan kepada pemerintah untuk ditandatangani. Jika tidak bersedia, maka kenaikan harga BBM sudah sepantasnya ditolak!
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef