Tiap pemerintahan selalu dihadapkan kepada kesukaran, nyaris tanpa pernah ada jeda. Itulah sebabnya ia diberi otoritas untuk mengambil keputusan, hampir tanpa batas. Biasanya, kesukaran-kesukaran muncul disaat pemerintah menghadapi pilihan-pilihan yang serba ekstrem, misalnya dalam kasus harga BBM. Dalam kesulitan yang amat pelik, pembatas otoritas itu hanya dua: panduan negara (konstitusi) dan kalkulasi teknokratis. Situasi seperti inilah yang sekarang ditemui pemerintah: menaikkan harga BBM dengan mengorbankan daya beli masyarakat (kecil), atau membiarkan subsidi seperti saat ini dengan tumbal APBN? Kelihatannya dua titik ekstrem itu merupakan kenyataan yang harus dipilih pemerintah, tapi pada umumnya kebenaran merupakan titik tengah dari situasi “trade-off†tersebut. Ada sebagian kebenaran yang berasal dari satu pendulum, juga ada kebenaran dari pendulum di sisi lainnya. Pada titik inilah kesetiaan konstitutional dan keterampilan teknokratis pemerintah diuji.
Keterampilan Teknokratis
Dalam kasus kenaikan harga BBM, pemerintah hanya perlu menjawab dua hal saja. Pertama, sebetulnya berapa keseluruhan biaya untuk memproduksi dan mendistribusikan minyak sampai ke konsumen, termasuk jika perlu impor berapa ongkos tiap barrel/liternya. Keterbukaan pemerintah terhadap informasi ini, tentu ditambah dengan informasi lainnya (seperti jumlah produksi dan para pemainnya), membantu pemerintah membuat kalkulasi secara matang dan menyampaikan kepada masyarakat dengan terang-benderang. Rakyat (dan juga wakil rakyat) selama ini tidak pernah terpuaskan soal ini karena segalanya tampak sangat gelap. Lebih ganjil lagi saat pemerintah memberitahu bahwa ketimpangan harga minyak telah menyebabkan penyelundupan menjadi marak. Ini tentu janggal, sebab kalau penyelundupan tekstil atau gadget dari China makin membesar tiap tahun ke Indonesia, apakah lantas solusinya pemerintah meminta China menaikkan harga barang-barang tersebut?
Kedua, yang disebut dengan APBN jebol dan subsidi dinikmati oleh orang kaya itu definisinya seperti apa? Pemerintah bisa saja menyampaikan APBN jebol apabila defisit anggaran melebihi 3% dari PDB. Pertanyaanya, mengapa jika berbicara pada indikator itu pemerintah sangat ketat, namun bila masalah keseimbangan primer pemerintah tidak pernah mempersoalkan? Demikian pula, kalau DSR (debt service ratio) sudah melebihi 30% kenapa pemerintah tidak pernah risau, padahal ini indikator untuk menunjukkan kemampuan bayar utang? Selanjutnya, jika betul 80% subsidi BBM dipakai oleh mobil pribadi (dan dianggap sebagai orang kaya), bagaimana cara pemerintah merumuskan kebijakan agar 20% konsumen yang lain tetap bisa mendapatkan subsidi? Mengapa jika sasaran pemerintah hanya ingin menghentikan subsidi kepada orang “kayaâ€, tetapi dengan membebani kaum miskin? Apakah benar solusinya hanya kenaikan harga BBM? Itulah rentetan pertanyaan yang harus dijawab secara teknokratis.
Jika realitas kebenaran ada di antara dua titik ekstrem, maka pemerintah sebetulnya dapat mengelak dari dua pilihan kebijakan di atas. Sekadar contoh, seperti yang sering saya sampaikan dalam forum-forum diskusi maupun seminar, mengapa pemerintah tidak berpikir untuk menaikkan pajak kendaran bermotor hingga 200-300%. Jika pajak dinaikkan 300% untuk kendaraan pribadi, maka subsidi minyak secara otomatis dikompensasi dari penerimaan pajak tersebut. Di luar itu masih ada manfaat lainnya: (i) kepemilikan kendaraan akan berkurang sehingga konsumsi BBM menurun; (ii) mengurangi kemacetan dan mengedukasi masyarakat untuk menggunakan transportasi publik; (iii) relatif tidak menimbulkan inflasi karena pajak kendaraan hanya dikenakan ke kendaraan pribadi; (iv) tidak membebani kaum miskin akibat inflasi yang terkendali; dan (v) kebijakan ini juga berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan akibat polusi yang berkurang.
Kesetiaan Konstitusional
Tentu saja harga minyak di masa depan tidak boleh dipertahankan pada level sekarang, oleh sebab banyak alasan. Secara sistematis pemerintah mulai merancang penetapan harga minyak yang realistis dengan memertimbangkan banyak aspek. Namun, kenaikan harga minyak itu perlu didahului dengan urutan sebagai berikut. Pertama, urusan menyangkut moral hazard pada produksi, distribusi, impor, biaya pemulihan (cost recovery) harus dituntaskan. Kedua, energi altenatif selain minyak ditata dan dibangun secara solid sehingga aneka pilihan konsumsi terbentang. Seperti pengalaman 2005, pemerintah menaikkan harga minyak tanah secara fantastis, tapi rakyat diberi pilihan dengan adanya gas sebagai substitusi. Ketiga, kegiatan ekonomi yang tidak efisien karena berbahan bakar minyak, seperti PLN, harus lekas dikonversi ke batu bara atau gas sehingga penggunaan minyak menjadi lebih selektif. Jika pemerintah mampu melakukan ini (juga dikerjakan negara lain), maka kenaikan harga minyak dirasakan adil oleh rakyat.
Terakhir, pemerintah selalu menyampaikan subsidi BBM dinikmati oleh orang kaya, namun hingga kini tidak pernah didesain politik/kebijakan subsidi secara utuh dan terukur bagi orang miskin. Data menunjukkan persentase subsidi terhadap PDB di Indonesia hanya 2,3%, lebih rendah ketimbang Brunei (2,6%), Malaysia (2,5%), Thailand (2,7%), dan Vietnam (2,8%) [IEA, 2012). Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa (seperti Jerman, Prancis, dan lain-lain) tentu akan lebih jauh lagi. Pesannya adalah: (a) jumlah subsidi yang diberikan kepada rakyat sebetulnya masih sangat rendah; dan (b) tidak ada kejelasan skema politik subsidi yang ditawarkan pemerintah pasca-kenaikan harga BBM. Jika pemerintah hanya berbicara soal BLSM, tentu saja banyak pihak yang meradang sebab itu sama sekali tak menunjukkan pemerintah sedang berpikir dan bekerja. Pada titik inilah kesetiaan konstitusional pemerintah dituntut agar tidak sekadar mempertontonkan kepiawaian mencuri momen di panggung politik.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef