Malpraktik pengelolaan ekonomi merupakan kisah kelabu yang seakan tidak ada ujungnya di Indonesia. Aneka kebijakan ekonomi yang tak masuk akal silih berganti diproduksi pemerintah untuk menyantuni kepentingannya sendiri. Di sektor perdagangan terjadi persaingan mematikan antara usaha skala besar dan kecil, investasi dibuka secara telanjang, sektor pertanian dibiarkan tersengal-sengal, industri manufaktur jauh dari basis sumber daya ekonomi domestik, dan masih banyak lagi keganjilan lain yang bisa disampaikan. Di antara keanehan-keanehan itu yang paling menyedihkan adalah pengelolaan kekayaan sumber daya alam (SDA), khususnya minyak dan gas (migas). Saat produksi minyak masih melimpah (sebelum 2003) masyarakat tidak bisa menikmati karena hasilnya sebagaian tidak dipakai untuk pembangunan, tapi saat sekarang volume minyak tidak mencukupi kebutuhan domestik (dan harganya melambung) masyarakat juga yang menjadi korban. Situasi ini terjadi karena satu hal tadi: malpraktik pengelolaan SDA.
Malpraktik Pengelolaan SDA
Dalam eksplorasi migas di Indonesia, pemain domestik (Pertamina dan perusahaan swasta dalam negeri) melakukan ekplorasi kurang dari 20%, sehingga mayoritas dikerjakan oleh pelaku ekonomi/korporasi luar negeri (asing). Sebenaranya praktik ini bukan hanya terjadi dalam kasus migas, namun juga pada komoditas SDA lainnya, misalnya emas, tembaga, mineral, dan lain-lain. Komposisi eksplorasi tersebut nyaris tidak ada perubahan ketimbang kondisi 30-40 tahun lampau ketika pada saat itu Indonesia dianggap tidak memiliki modal, teknologi, dan sumber daya manusia. Jika benar pemerintah mengklaim bahwa pembangunan ekonomi berhasil, maka tentunya saat ini modal sudah dipunyai, teknologi dikuasai, dan tenaga kerja terlatih; sehingga pengelolaan SDA seharusnya sudah digeser ke pelaku ekonomi domestik. Jika kemudian pengelolaan SDA itu masih juga dikuasai asing, maka kemungkinannya cuma dua: pembangunan ekonomi yang gagal atau mental pemerintah yang suka dijajah.
Praktik pengelolaan SDA seperti itulah yang menjadi sumbu persoalan ekonomi nasional saat ini. Disatu sisi kebutuhan energi terus meningkat oleh sebab tuntutan kegiatan ekonomi, tapi di sisi lain penguasaan energi tidak sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah (lewat BUMN). Dengan pola eksplorasi yang dilakukan sekarang, sekurangnya terdapat dua masalah yang timbul: (i) sulit bagi pemerintah mengontrol sepenuhnya jumlah produksi dan mekanisme distribusi, meskipun beragam metode telah didesain. Perbedaan data produksi minyak antara versi Kementerian ESDM, Pertamina, dan BP Migas merupakan contoh dari sulitnya memastikan berapa sebetulnya volume produksi minyak yang dihasilkan; dan (ii) manipulasi biaya pemulihan (cost recovery) sangat mungkin terjadi karena ketidakjelasan variabel dan keterbatasan pengawasan. Bayangkan, pemerintah setiap tahun harus keluar sekitar Rp 120 triliun hanya untuk cost recovery (tahun ini eksplorator meminta Rp 138 triliun).
Deskripsi itu dengan terang menunjukkan adanya persoalan etis dalam pengelolaan SDA, sebab dalam aspek produksi tidak tergambarkan adanya unsur kemanfaatan bagi negara. Oleh sebab itu, selaiknya sebelum kebijakan kenaikan harga BBM dieksekusi, pemerintah memanggul tugas maha penting: menyelesaikan persoalan terkait malpraktik pengelolaan SDA itu. Sebenarnya sangat gampang untuk memberi pemahaman kepada rakyat bahwa harga minyak murah tidak lagi bisa dipertahankan akibat cadangan SDA yang menipis dan harga minyak internasional yang melambung (sementara Indonesia menjadi net importir). Tapi, meminta rakyat mengerti atas situasi itu tanpa mengatasi malpraktik pengelolaan minyak, perampokan massif SDA, dan membiarkan perburuan rente di sektor pertambangan; maka sama halnya dengan menodai intisari konstitusi yang memaklumatkan SDA bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga rakyat pasti tidak dapat menerimanya.
Alokasi Belanja APBN
Sebelum diajukan APBN-P 2012 saat ini, deskripsi APBN 2012 dapat dilihat sebagai beriku: (a) porsi belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) mengambil bagian terbesar, yaitu sekitar 41,85% dari total belanja pemerintah pusat (setelah dikurangi dana transfer). Setelah itu pos subsidi dan belanja modal menempati urutan berikutnya, yakni 20,64% dan 15,52%; (b) secara nominal belanja subsidi 2012 turun sekitar 11,95% ketimbang 2011, dengan rincian subsidi energi turun 13,69% dan subsidi non-energi 3,86%. Total, pada 2011 subsidi energi mencapai Rp 195,2 triliun dan subsidi non-energi Rp 41,9 triliun; dan (c) meskipun subsidi energi tiap tahun terus meningkat, tapi penerimaan migas nasional juga bertambah tiap tahun. Pada 2005, penerimaan migas baru mencapai Rp 138,9 triliun, namun pada 2010 penerimaan menjadi Rp 220 triliun. Selama 2005-2010, rata-rata persentase subsidi energi terhadap total penerimaan migas mencapai 64% (minyak 44% dan listrik 20%).
Secara lebih detail, belanja pemerintah pusat yang tercantum dalam APBN bisa dibagi dalam delapan pos penting, yakni belanja pegawai, barang, modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, sosial, dan lain-lain. Pada APBN 2012, porsi belanja pegawai mengambil bagian terbesar, yaitu 22,37%. Setelah itu pos subsidi menempati urutan kedua, sebanyak 20,64%. Jika dibandingkan dengan APBN 2011 urutan ini terbalik, di mana pada periode tersebut subsidi mengambil porsi belanja pemerintah pusat yang terbesar (26,12%), diikuti dengan belanja pegawai 20,14%. Jadi, dalam rancangan APBN 2012 subsidi sudah relatif berkurang, bahkan dalam jumlah yang lumayan besar, sekitar 5%, dibandingkan 2011. Ini artinya, seandainya harga BBM internasional meningkat seharusnya pemerintah tidak tergesa-gesa menaikkan harga BBM sebab masih ada ruang fiskal sekitar 5% (dibandingkan 2011). Pendeknya, subsidi masih bisa ditambah asalkan tidak melebuhui 25% dari belanja pemerintah pusat.
Deskripsi di muka menunjukkan dua hal besar menyangkut alokasi APBN dalam beberapa tahun terakhir: (1) belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) mengambil porsi yang makin besar dari tahun ke tahun (juga pertumbuhannya) sehingga watak APBN sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat menjadi hilang. Tren seperti ini tentu membahayakan karena tidak meletakkan fungsi APBN dalam posisi yang tepat; dan (2) instrumen subsidi yang dianggarkan dalam APBN makin lama porsinya kian menciut. Subsidi energi (minyak dan listrik) pada 2004 masih 23,21% dan turun menjadi 17,47% (2012), sedangkan subsidi non-energi (pangan, pupuk, benih, dan lain-lain) pada 2004 sebesar 7,57% yang turun menjadi 4,18% (2012) terhadap total belanja pemerintah pusat. Jadi, wajar bila argumen subsidi minyak lebih banyak dinikmati kaum kaya mudah dipatahkan, sebab terdapat banyak alokasi lain yang justru menunjukkan alokasi APBN tidak dinikmati oleh rakyat miskin.
Daya Beli dan Makroekonomi
Tidak sulit untuk menyatakan bahwa kebijakan minyak pasti akan memengaruhi tatanan perekonomian secara keseluruhan, mengingat sebagian besar kegiatan ekonomi tergantung dari minyak, seperti sektor industri, transportasi, konstruksi, perdagangan, dan pertanian. Jika harga minyak naik, maka sebagian besar aktivitas ekonomi mengalami lonjakan harga (inflasi) pula. Proporsi inflasi antarsektor ekonomi bervariasi, tergantung dari bobot penggunaan energi (minyak) dan struktur pasar pada sektor/komoditas yang bersangkutan. Secara umum, dampak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM itu dapat dilacak dari dua sisi. Pertama, penurunan daya beli masyarakat. Data menunjukkan tenaga kerja yang betul-betul dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) hanya sekitar 70%, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur dan penganggur terbuka. Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65% bekerja di sektor informal dan hanya 35% bekerja di sektor formal (BPS, 2011).
Masyarakat miskin menjadi lebih rentan lagi terhadap kenaikan harga minyak karena pertumbuhan pendapatannya jauh lebih kecil ketimbang kelompok pendapatan menengah ke atas. Jika pengeluaran masyarakat dibagi dalam 10 kelas (desil), maka akan dijumpai data sebagai berikut. Pengeluaran terendah kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp 153 ribu dan 204 ribu/kapita/bulan, pada 2010 hanya tumbuh 9,08% dan 8,25%. Sebaliknya, pengeluaran tertinggi kelompok pertama dan kedua, yaitu sekitar 1,48 juta dan Rp 768 ribu/kapita/bulan, pada tahun yang sama tumbuh 15,36% dan 18,77% (BPS, 2011). Jelasnya, mereka yang pengeluarannya besar boleh dikatakan pertumbuhan pendapatannya dua kali lipat dibandingkan dengan kelompok miskin. Ini pula yang menjadi sebab ketimpangan pendapatan makin tinggi saat pertumbuhan ekonomi nasional juga melesat, sekaligus menggambarkan kelompok pendapatan rendah itu akan mudah terguncang oleh kejutan ekonomi sekecil apapun.
Kedua, dampak terhadap makroekonomi. Dengan asumi kenikan BBM sebesar Rp 2000/liter, simulasi yang saya lakukan menghasilkan proyeksi sebagai berikut: (i) pertumbuhan ekonomi merosot menjadi 5,7-5,8%. Kemerosotan pertumbuhan ekonomi ini antara lain disebabkan oleh investasi yang jatuh (akibat kenaikan suku bunga kredit); (ii)  inflasi melonjak 3-3,5% sehingga daya beli masyarakat jatuh, di mana kaum miskin daya belinya berkurang sekitar 10-15%; (iii) jumlah kemiskinan meningkat 1,1-1,3% (sekitar 1,5 juta penduduk) akibat penurunan daya beli, meskipun aneka skema kompensasi sudah dijalankan; (iv) secara keseluruhan  pendapatan nasional berkurang Rp 125 triliun dibandingkan apabila BBM tidak dinaikkan (sehingga pertumbuhan ekonomi 6,5%). Dampak tersebut masih bisa diteruskan efeknya terhadap kenaikan pengangguran, penurunan ekspor, dan lain sebagainya. Ringkasnya, pemerintah mesti berhitung neraca laba rugi sosial-ekonomi lebih cermat lagi dalam soal rencana kenaikan harga BBM ini agar senjakala perekonomian nasional tidak terjadi.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef