Tahun 2018 sudah di tutup, tetapi beberapa sisa data ekonomi baru saja di umumkan. Terbaru, bangsa ini patut bahagia karena di tengah tekanan ekonomi global yang berat (seperti harga minyak, nilai tukar, dan perang dagang), ekonomi kita tetap tumbuh di atas 5%, tepatnya 5,17%.
Ombak tinggi ekonomi berhasil di lalui. Bloomberg memberitakan pencapaian ini di atas ekspektasi para ekonom. Menariknya lagi, sejak 2016 pemerintah dapat memperoleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat disertai dengan pengurangan 3 hajat ekonomi yang paling mematikan: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Ini pencapaian yang tidak pernah diperoleh sepanjang satu dekade sebelum 2015. Bahkan angka kemiskinan menjadi sejarah karena mencapai level terendah sejak Indonesia merdeka. Kenapa perolehan pertumbuhan 5,17% merupakan prestasi? Paling pokok ekonomi global sudah melambat sejak 2011. Tentu, kondisi tersebut memengaruhi performa ekonomi Indonesia.
Menurut data Bank Indonesia (2019), pertumbuhan China turun dari 6,9% (2015) menjadi 6,5% (2018, triwulan IV); Korea Selatan turun dari 2,8% (2015) menjadi 2% (2018, triwulan IV); India turun dari 7,4% (2015) menjadi 6,7% (2018). Pada saat bersamaan, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik, dari 4,88% pada 2015 menjadi 5,17% pada 2018. Penurunan kemiskinan bukan soal angka saja, tetapi ini hajat keadilan ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat penduduk miskin tinggal 9,66% pada 2018. Bandingkan dengan empat tahun sebelumnya yang masih bertengger pada angka 11%. Sejalan dengan perbaikan angka kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga menurun.
Sepanjang 2015-2018, pemerintah telah menciptakan lapangan kerja bagi 9,3 tenaga kerja baru sehingga TPT merosot dari 5,94% (2014) menjadi 5,3% (2018). Variasi pekerjaan pun semakin beragam sehingga memberikan kesempatan bagi tenaga kerja memasuki jenis pekerjaan baru. Porsi pekerja formal meningkat dari 40% (2014) menjadi 43% (2018). Jadi, anggapan bahwa pengangguran meningkat atau lapangan kerja menipis dengan terang hal itu tidak ditopang data. Bahkan pemerintah pun melindungi tenaga kerja informal lewat BPJS, asuransi nelayan, dan petani. Pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan telah dan sedang dipanggul pemerintah. Ketimpangan pendapatan (yang tecermin dari rasio gini) bergerak menurun sesuai dengan harapan.
Pada 2014, rasio gini Indonesia mencapai 0,41 dan turun menjadi 0,38 pada 2018. Jadi, misi pemerataan pendapatan telah berada di jalur yang benar. Hal itu sejalan dengan program pemerintah yang memang sebagian besar berorientasi kepada golongan menengah ke bawah. Misalnya penurunan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi 7% sejak 2018 (awalnya 23%), RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial), Dana Desa, pemotongan tarif pajak UMKM menjadi 0,5%, perluasan akses pendidikan dan kesehatan (KIP dan KIS), rastra, PKH (Program Keluarga Harapan), dan banyak program lain.
Catatan bersejarah lainnya terekam dari angka inflasi. Torehan yang prestisius tersebut mencakup inflasi umum, inti, harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered price), dan harga bahan pangan yang bergejolak (volatile food). Data BPS menjelaskan inflasi umum periode 2011-2014 ratarata 6,21%; inflasi inti, administered price, dan volatile food masing-masing 4,66%, 9,92%, dan 7,94%. Bandingkan dengan periode 2015-2018. Inflasi umum hanya 3,32%; inti, administered price, dan volatile food masing-masing 3,26%, 4,59%, dan 2,29%. Selama ini 4 tahun ini inflasi selalu di bawah 3,6%.
Prestasi menjaga inflasi juga mencerminkan keadilan ekonomi yang diperjuangkan pemerintah. Pemerintah menjaga agar harga-harga tidak melukai masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah. Hal ini dapat diraih karena adanya berbagai program untuk menjaga daya beli seperti Rumah Pangan Kita (program Bulog), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan beras sejahtera (rastra). Jangan pula dilupakan, kesemuanya itu tidak terlepas dari langkah membangun infrastruktur keseluruh penjuru negeri. Contohnya dulu harga satu sak semen di Wamena mencapai Rp 750.000, sekarang turun menjadi Rp 350.000 akibat pembangunan jalan poros Jayapura – Wamena.
Pada tataran makro, inflasi rendah juga berperan penting dalam menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Komponen tersebut menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi nasional yang bisa dilihat pertumbuhannya masih pada angka 5%. Pada bagian lain, pemerintah juga menjaga pertumbuhan sektor padat karya (sektor penyerap tenaga kerja terbesar). Pada 2018, industri manufaktur tumbuh 4,27% (yoy), meningkat dari 4,25% (yoy) pada 2015. Setidaknya pemerintah mampu menjaga pertumbuhan positif industri manufaktur pada saat proses transformasi ekonomi terus berjalan.
Sektor pertanian dan perdagangan juga tumbuh positif. Ini kabar bahagia yang layak disyukuri. Sektor manufaktur, pertanian, dan perdagangan merupakan penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja. Dengan begitu, data ini tentu linier dengan penurunan angka pengangguran. Pencapaian lain terlihat dari kemandirian ekonomi. Tahun lalu sektor fiskal bekerja sangat baik lewat realisasi pendapatan negara hingga 102% dari target. Pemerintah pun mampu menekan defisit neraca keseimbangan primer turun menjadi Rp1,8 triliun. Selain itu rasio defisit fiskal dan utang dapat ditekan ke level yang lebih rendah.
Defisit fiskal tinggal 1,7%, terendah dalam 6-7 tahun terakhir dan makin jauh dari batas kritis (3%). Pertumbuhan utang juga makin turun bila dibandingkan dengan periode 2010-2014. Perbaikan demi perbaikan sudah dikerjakan meski belum sempurna. Jika melihat kebelakang, ada beberapa data menggembirakan lainnya dari sektor fiskal, terutama pada peningkatan anggaran produktif. Politik fiskal sedang bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Beberapa data berikut ini merupakan contoh untuk mendeskripsikan hal tersebut: (i) anggaran pendidikan naik 30% dari Rp375 triliun (2014) menjadi Rp488 triliun (2019) dan tetap menjaga porsinya 20% dari APBN sesuai amanat konstitusi; (ii) anggaran kesehatan naik 100% dari Rp61 triliun (2014) menjadi Rp122 triliun (2019)— untuk pertama kali nya semenjak 2015 anggaran kesehatan mampu ditunaikan sebesar 5% dari APBN sesuai UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan; (iii) anggaran infrastruktur meningkat 157% dari Rp163 triliun (2014) menjadi Rp420 triliun (2019); dan (iv) alokasi belanja fungsi ekonomi secara rata-rata juga meningkat 20,1% sepanjang 2015-2019, dari hanya 9,1% dalam sepanjang 2010- 2014.
Alokasi anggaran makin fokus dan efisien sehingga terasa bagi masyarakat. Tahun 2018 juga menjadi titik balik kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional, yaitu lewat pengambilalihan Blok Rokan dan Freeport. Penguasaan ini juga menjamin keberlanjutan operasional perusahaan serta menjaga kelangsungan penerimaan negara dari pajak dan hasil pertambangan. Pertamina, misalnya, dulu hanya menguasai sekitar 20% dari total produksi minyak, sekarang meningkat menjadi sekitar 50-60%. Sungguh pun begitu, aneka capaian tersebut tidak boleh membuat terlena, apalagi bertepuk dada.
Masih banyak agenda besar ekonomi yang harus diurus dengan serius, salah satunya adalah perbaikan neraca transaksi berjalan. Ini masalah laten ekonomi nasional sejak puluhan tahun. Paling pokok yang mesti ditangani adalah neraca perdagangan sehingga upaya mendorong transformasi ekonomi (nilai tambah produk) merupakan keniscayaan. Sektor jasa juga rentan, misalnya transportasi untuk lalu lintas ekspor-impor. Pariwisata perlu didorong lebih kencang lagi.
Pendalaman sektor keuangan juga merupakan agenda mendesak agar perekonomian tak tergantung pada investasi portofolio (jangka pendek) yang membuat ekonomi mudah bergejolak. Catatan ini mesti dikerjakan secara presisi dan diukur kemajuannya dari masa demi masa. Pesan intinya: perekonomian telah berjalan ke arah yang benar, tapi mesti hati-hati agar tak terpeleset.
AHMAD ERANI YUSTIKA
Staf Khusus Presiden, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya