Hiruk pikuk penyaluran dana non-bujeter DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), yang sejauh ini sudah melibatkan nama-nama ”besar” dalam kancah politik nasional, sebetulnya tidak perlu menghasilkan kegemparan apabila kita tahu konfigurasi birokrasi pemerintah. Di luar itu, magma lain yang lebih dahsyat membuat kegaduhan adalah investasi yang ditanamkan oleh para ”cukong” kepada capres/cawapres yang hendak bertarung. Cukong itu tidak lain adalah para pemodal yang menggantungkan sebagian besar kelancaran bisnisnya dari proyek pemerintah. Di daerah, para cukong itu beroperasi menjadi kasir dalam setiap pelaksanaan pilkada (pemilihan gubernur/ walikota/bupati). Hal yang sulit dibendung oleh lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu tidak lain adalah perilaku opportunism dan bounded rationality. Oportunisme mengacu perilaku untuk memanipulasi regulasi, sedangkan ”keterbatasan rasionalitas” mewujud dalam bentuk ketidaksempurnaan untuk mendesain regulasi.
Konsesi dan Upeti
Basis pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru bisa diilustrasikan sebagai berikut. Disadari pada awal Orde Baru belum terdapat persekutuan bisnis yang mapan, sehingga cuma beberapa gelintir orang dekat pemerintah yang diberi konsesi untuk menjalankan roda perekonomian. Logika ini didukung oleh keyakinan teori “trickle down effect”, yang menganggap kalau terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menetes dengan sendirinya. Sehingga, sejak awal praktik dunia bisnis Indonesia memang telah dirancang sangat monopolistis dan tentunya hanya menguntungkan sedikit pihak. Pola pemikiran seperti itu dipandang merupakan jalan paling mudah untuk menggerakkan kegiatan ekonomi daripada melibatkan sekian banyak pemain dengan kemampuan yang berlainan. Dalam literatur ekonomi politik, perilaku semacam itu disebut dengan istilah “redistributive combines”, yakni regulasi dibuat sebagai instrumen untuk bagi-bagi kue ekonomi di lingkaran elite kekuasaan.
Selebihnya, negara juga memiliki keuntungan karena terdapatnya sifat “patron-klien” dari hubungannya de¬ngan dunia usaha. Di sini negara mendonasikan perlindungan ter¬hadap proses produksi serta menyediakan jaminan apabila perangkat hukum tidak melicinkan aktivitas ekonomi dunia usaha. Sebaliknya, dunia usaha memberikan timbal baliknya berupa pendapatan yang cukup tinggi kepada negara berupa pajak, maupun terhadap oknum-oknum birokrasi berupa “upeti” (MacIntyre, 1994). Oleh pengamat lain, praktik relasi antara kekuasaan dengan dunia usaha semacam itu disebut dengan istilah crony capitalism atau erzats capitalism (Yoshihara, 1994). Simbiose mutualisme itulah yang melanggeng¬kan hubungan antara kekuasaan dengan dunia usaha dalam men¬jalankan roda perekonomian. Dinamika dua faktor itulah yang banyak memengaruhi pembentukan struktur pasar di Indonesia, sehingga menciptakan daya saing ekonomi yang lemah.
Selain itu, fakta lain menegaskan bahwa era konglomerasi di Indonesia dipicu oleh munculnya pengusaha-pengusaha muda, yang umumnya adalah anak-anak dari para pejabat birokrasi atau yang mempunyai koneksi tertentu dengan inner cyrcle bureaucracy. Pengusaha-pengusaha inilah yang kemudian disebut dengan istilah business client alias pengusaha klien. Pengusaha-pengusaha ini beroperasi dengan dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan kekuasaan pemerintah. Pada umumnya mereka mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan birokrasi. Pengusaha jenis ini banyak mendapatkan kegiatan ekonomi dari tender-tender proyek pemerintah dan fasilitas khusus (monopoli, tata niaga, konsesi) yang diperoleh dari aktivitas lobi. Akibat ketergantungannya yang amat tinggi dari sang patron, biasanya bila posisi kekuasaan sang patron sedang melorot maka bisnis mereka pun ikut surut. Dengan mudah kita menunjuk nama-nama konglomerat tersebut seiring jatuhnya Orde Baru.
Desentralisasi dan Oligarki
Desentralisasi ekonomi dan politik yang dijalankan dalam 6 tahun ini telah mengubah wajah Indonesia dalam banyak hal. Salah satu yang paling mencolok adalah partisipasi langsung rakyat dalam memilih pemimpin pemerintahan secara langsung (pusat dan daerah). Dalam perspektif politik, proses ini sangat bermakna karena setiap suara rakyat dipertimbangkan dalam penentuan pemimpin pemerintahan. Tapi, dalam sudut pandang ekonomi masalahnya tidak sesederhana itu. Asumsinya, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, nyaris tidak memungkinkan dihindari kolusi antara kepentingan kandidat dan pemilik modal. Kontestan pilkada butuh pemilik modal sebagai kasir kegiatan kampanye dan lobi. Sebaliknya, pemilik modal perlu menyetor uang kepada kandidat agar masa depan bisnisnya ada yang menggaransi. Jika kandidat tersebut menang, maka dipastikan sumber daya ekonomi negara akan diberikan kepada si cukong, baik dalam wujud proyek pemerintah maupun kebijakan khusus.
Dengan deskripsi itu, oligarki ekonomi saat ini menjadi semakin meluas tidak sekadar pejabat pemerintah dan anak-anaknya melakukan praktik bisnis dengan memanfaatkan kekuasaannya. Lebih dari itu, oligarki ekonomi bisa menyembul dari sayap lain: pengusaha pencari rente yang membiayai ongkos politik pejabat dengan imbalan kebijakan (proyek) ekonomi. Jika oligarki yang pertama lebih mudah diidentifikasi, maka oligarki yang kedua sulit dilacak. Inilah yang menyebabkan tender jalan tol, misalnya, tetap dimenangkan kepada pengusaha (dan penguasa) yang jelas-jelas korporasinya terlibat malpraktik (kasus lumpur Lapindo). Kasus dana DKP sekurangnya memberi inspirasi bagi penyelenggara republik ini, bahwa soalnya bukan sekadar melakukan transparansi proses pengambilan kebijakan dan mendesain regulasi yang bisa menghambat praktik ‘perselingkuhan’ tersebut, tetapi yang lebih penting adalah melakukan detoksifikasi birokrasi dari para pemburu rente.
Seputar Indonesia, 12 Juni 2007
*Ahmad Erani Yustika, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)