Debat capres putaran kedua yang dilakukan pada 25 Juni 2009 lalu disepakati oleh semua pihak sebagai debat yang lebih hidup ketimbang putaran kedua, meskipun secara substansi masih jauh dari harapan. Selebihnya, makna debat itu sendiri belum benar-benar direalisasikan dalam forum tersebut, karena yang terjadi para kandidat hanya menjawab pertanyaan moderator, bukan saling mengkritisi jawaban antarkandidat. Memang ada satu sesi khusus yang memberi kesempatan calon presiden memberi tanggapan terhadap jawaban kandidat lainnya, tapi formatnya sangat formal dan tanggapan yang diberikan terlalu ‘lunakâ€. Hasilnya, debat itu tidak lebih sebagai upaya sosialisasi visi dan program para capres. Meskipun begitu, debat yang mengambil topik “Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran†itu relatif dapat dinikmati dan berhasil menyuguhkan poin-poin perbedaan mengenai platform ekonomi para capres dalam menyelesaikan dua masalah laten tersebut.
Tiga Arus Pemikiran
Mengawali debat kali ini, Megawati dalam penyampaian visi dan misi menyatakan pentingnya menumbuhkan semangat gotong royong dan melirik sektor maritim sebagai alas pembangunan ekonomi nasional. Dengan gotong royong tersebut, harmoni sosial tetap terawat dan pembangunan ekonomi lebih awet dilakukan karena semua pihak bekerja berdasarkan semangat persaudaraan. Sementara itu, pengingkaran terhadap realitas 65% wilayah Indonesia yang terdiri dari lautan dalam konsep pembangunan, menjadikan negara tidak mampu mengoptimalisakan sumber daya ekonomi sehingga kesejahteraan rakyat juga tidak mampu dicapai. Selain itu, saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari moderator, terdapat beberapa sikap politik ekonomi yang dinyatakan Megawati, seperti kelugasannya untuk menghentikan utang luar negeri, tetap mempertahankan subsidi, melakukan revisi terhadap UU Ketenagakerjaan, dan meningkatkan spirit kewirausahaan.
Berikutnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan pentingnya faktor pertumbuhan ekonomi dan intervensi pemerintah dalam menangani soal kemiskinan dan pengangguran. Bagi SBY, tanpa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin masalah kemiskinan dan pengangguran dapat diatasi, sebab penciptaan lapangan kerja juga akan kecil dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Oleh karena itu, SBY menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata harus mencapai 7%/tahun. Sedangkan intervensi dibutuhkan untuk membantu pelaku ekonomi yang belum kuat, misalnya dengan jalan memberikan subsidi. Sungguh pun begitu, SBY percaya bahwa pengurangan kemiskinan dan pengangguran ini merupakan upaya gradual, tidak bisa terjadi pengurangan secara drastis. Sikap lain yang dimunculkan adalah pengurangan subsidi yang tidak tepat sasaran, optimalisasi belanja negara, tidak perlu tergesa merevisi UU Ketenagakerjaan, dan bantuan permodalan/fasilitas lainnya.
Terakhir, Jusuf Kalla (JK) menekankan pentingnya melakukan pembangunan sektor pertanian dan perdagangan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, karena kedua sektor itu sekurangnya menyerap 60% tenaga kerja. Pandangannya ini juga didasarkan realitas bahwa sebagian besar kaum miskin berada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Sehingga, dengan penguatan dan percepatan pembangunan pertanian akan terjadi banyak penciptaan lapangan kerja yang secara otomatis mengurangi kemiskinan. Mengenai isu-isu yang dimunculkan oleh moderator, JK secara lugas menyatakan akan merevisi UU Ketenagakerjaan agar menguntungkan buruh dan pengusaha, melakukan optimasi anggaran negara agar tidak perlu utang (menghindari defisit anggaran), subsidi tetap dipertahankan sambil mengurangi obyek subsidi, dan bantuan permodalan untuk menciptakan wirausahawan-wirausahawan baru (di samping memperkuat peran sekolah kejuruan).
Pilihan Strategi Pembangunan
Sebetulnya tidak terlalu sulit menemukan sumber terpenting penyebab kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Secara umum akar kemiskinan bersumber dari kelalaian pemerintah menempatkan sektor pertanian (secara luas) sebagai alas pembangunan nasional. Padahal, sumber daya ekonomi terbesar yang dimiliki bangsa ini ada di sektor pertanian dan sumber daya alam lainnya (minyak, gas, batubara, emas, dan masih banyak lagi). Demikian pula, pembangunan sektor industri dan jasa seharusnya bertumpu kepada sektor pertanian dan sumber daya alam tersebut. Jika ini yang dilakukan, maka sektor industri/jasa akan memeroleh input yang murah dan jumlah yang cukup sehingga memiliki tingkat kompetisi di pasar internasional. Bisa dibayangkan berapa puluh juta lapangan kerja yang dapat diciptakan bila model pembangunan seperti ini yang dipilih, yakni kesempatan kerja pada sektor hulu (on-farm) dan kesempatan kerja di sektor hilir (industri pengolahan).
Jadi, secara jelas deskripsi di atas memerlihatkan bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia bersifat struktural, yaitu soal pilihan strategi pembangunan. Sayangnya, sejak puluhan tahun lampau sikap pemerintah tidak pernah berubah. Pemerintah disatu menjalankan strategi pembangunan yang tidak berbasis sektor pertanian sehingga hanya menyerap sedikit tenaga kerja, tidak kompetitif, dan kerap mempertontonkan moral hazard (kasus BLBI sat krisis 1997/1998). Di sisi lain, rakyat yang tersisih akibat pilihan strategi itu diberi kompensasi dalam wujud program-program penanganan kemiskinan, seperti KCK, Kredit mikro, KUT, PNPM, dan seterusnya. Apabila pola semacam ini yang dipilih, maka sampai kapanpun kemiskinan dan pengangguran tidak akan pernah terselesaikan karena tidak menyentuh akarnya, yaitu soal pilihan strategi pembangunan. Semoga dengan narasi ini publik menjadi lebih mengerti capres mana yang lebih tepat dalam memahami dan menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran.
Jurnal Nasional, 29 Juni 2009