Berita tidak mengenakkan kembali menerjang Indonesia. Laporan tahunan yang dipublikasikan oleh Institute for Management Development (IMD) dalam tajuk ‘World Competitiveness Yearbook’) menempatkan Indonesia pada urutan 54 dari 55 negara yang disurvei tingkat daya saingnya (Sindo, 11/5/2007). Survei yang menggunakan 323 kriteria berdasarkan 4 kelompok indikator tersebut (kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis, dan ketersediaan infrastruktur) memberikan skor 37,4 kepada Indonesia, di mana skor itu hanya lebih baik dari Venezuela. Sebaliknya, wakil Asia lain, seperti Cina dan India, melakukan lompatan yang cukup besar ketimbang tahun sebelumnya. Secara umum, negara-negara di Asia melakukan percepatan daya saing yang cukup tinggi sehingga memeroleh skor yang bagus. Celakanya, Indonesia justru melangkah mundur. Merujuk Cina dan India, apakah yang bisa dipelajari Indonesia untuk mengejar ketertinggalan tersebut?
Reformasi ‘Bottom-up’
Cina dan India, dengan caranya masing-masing, telah menunjukkan kepada dunia bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi kampiun ekonomi. Bahkan, dalam waktu 15 tahun lagi diperkirakan ekonomi Cina akan meninggalkan Jepang dan AS. Berita ini tentu menggembirakan karena berarti telah terjadi proses penyebaran kegiatan ekonomi sehingga memiliki dampak yang lebih bagus bagi perekonomian dunia. Pada titik ini, kawasan Asia dianggap yang paling progresif dalam menggerakkan daya saingnya. Secara umum, proses percepatan ekonomi di kawasan Asia berlangsung karena arahan reformasi ekonomi yang terencana dan sistematis, dengan memanfaatkan perubahan secara gradual lewat instrumen mikro ekonomi. Fakta yang terungkap, reformasi ekonomi yang berlangsung dari ’bawah’ tersebut telah berkontribusi besar terhadap penataan kelembagaan ekonomi yang kukuh di Asia.
Secara lebih detail, Asia cenderung mendesain reformasi ekonominya melalui penahapan yang terukur. Pendekatan ini juga lebih menitikberatkan kepada strategi “bottom-up” serta menempatkan reformasi pada level mikro ekonomi, seperti reformasi kelembagaan (reformasi di sektor pertanian dan reformasi usaha-usaha industri) dan reformasi harga; mendahului reformasi pada level makro ekonomi (kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi perdagangan luar negeri). Kemudian dalam mendesain perbaikan kinerja perusahaan, khususnya perlakuan terhadap BUMN, pendekatan Asia lebih banyak menempuh upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Negara-negara Asia menganggap yang diperlukan oleh sebuah perusahaan untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya: apakah dimiliki oleh negara atau swasta. Dua pilar itulah yang menjadi alas proses reformasi ekonomi di Asia.
Konsekuensi dari model itu, pada tahap awal reformasi ekonomi lebih banyak terkuras untuk menyelesaikan mekanisme pembentukan harga yang sering terdistorsi, menangani dampak reformasi bagi kelompok rentan (misalnya melalui kebijakan pengupahan), dan memerbaiki iklim usaha (regulasi undang-undang antimonopoli). Dalam jangka pendek/menengah, langkah-langkah tersebut bermanfaat sebagai pemandu bagi pelaku ekonomi untuk melakukan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi. Mekanisme harga yang tidak distortif akan menjadi insentif bagi alokasi sumberdaya ekonomi yang efisien. Sedangkan perbaikan iklim usaha akan merangsang pelaku-pelaku ekonomi masuk ke pasar sehingga timbul persaingan sehat, yang berimplikasi kepada efisiensi ekonomi. Cina dan India, dengan segala modifikasinya, telah mengerjakan reformasi dengan pola tersebut (bottom-up).
Pasar Pembiayaan
Tentu tidak semua aspek memiliki sisi positif di Asia, karena terdapat satu masalah yang hingga kini masih belum terpecahkan, yakni inefisiensi lembaga intermediasi (perbankan) dan manajemen risiko yang buruk. Sebagai lembaga intermediasi, semestinya lembaga perbankan memiliki agresivitas yang kuat sebagai penopang pergerakan setor riil. Tapi, fungsi itu tidak berjalan dengan baik, seperti yang terlihat kasat mata di Indonesia. Perbankan hanya menyalurkan kredit sekitar 60% dari dana pihak ketiga (deposito) yang diperoleh (loan to deposit ratio/LDR) pada tahun 2006. Dengan LDR serendah itu, lembaga perbankan justru menjadi kartu mati dalam kegiatan ekonominya. Akhirnya, yang terjadi lembaga intermediasi itu malah berperilaku layaknya ‘pencari rente’, yakni memarkir dana pihak ketiga dalam wujud investasi obligasi (SBI) yang kurang memiliki efek terhadap perkembangan sekor riil. Soal inilah yang tampak menjadi kelemahan utama perekonomian Asia secara umum, khususnya di Indonesia.
Selebihnya, data-data yang ada menunjukkan pasar pembiayaan (financing market) di Asia masih sangat menyandarkan kepada lembaga perbankan, kecuali di Jepang, Korea, dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju, seperti di USA dan Eropa (dengan pengecualian Inggris) pasar pembiayaaan kegiatan ekonomi lebih banyak memanfaatkan pasar saham dan obligasi (Finance and Development, 2006:21). Tentu saja, diversifikasi pasar pembiayaan tersebut akan kian mempercepat perputaran kegiatan ekonomi. Di Indonesia, walaupun dominasi deposito bank masih kuat dalam pembiayaan, namun 15 tahun terakhir ini terdapat kemajuan yang pesat dalam pasar saham dan obligasi. Pasar saham tahun 1990 nilainya baru 4,4%, tapi tahun 2004 sudah melesat menjadi 24,9% dari GDP. Demikian halnya dengan pasar obligasi, tahun 1990 baru 0,4% menjadi 24,1% dari GDP (2004). Kurang lebih lewat pembelajaran seperti itulah Indonesia dapat mengambil kredit positif dari pengalaman negara-negara di Asia, terutama Cina dan India, tentu sambil membuang sisi negatifnya.
Seputar Indonesia, 15 Mei 2007
*Ahmad Erani Yustika, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)