Tulisan Prof. Bustanul Arifin (Kompas, 21 Mei 2012) yang menyoal kegentingan masalah di sektor pertanian merupakan peringatan yang secara serius harus diperhatikan pemerintah. Ada tiga poin penting yang diketengahkan dalam tulisan tersebut: penurunan produksi, konversi lahan, dan kelemahan implementasi kebijakan. Secara prinsip saya sepakat dengan elaborasi persoalan itu, juga beberapa saran jalan keluar yang direkomendasikan. Sungguh pun begitu, sebagian rekomendasi itu merupakan “syarat perlu†(necessary), tapi belum mencukupi (not sufficient). Terdapat tiga fakta lain yang mesti diumumkan agar problem tersebut bisa digali sampai akarnya. Pertama, penurunan produksi secara drastis terjadi bersamaan dengan liberalisasi (sektor pertanian). Kedua, lahan persawahan terus menyusut, namun area perkebunan makin meluas. Ketiga, peningkatan produksi tidak akan memiliki efek terhadap kesejahteraan petani jika tidak dikaitkan dengan strategi transformasi ekonomi.
Kemandirian Pangan
Lanskap perekonomian nasional harus diakui membawa perubahan drastis usai krisis ekonomi 1997/1998. Liberalisasi tidak hanya terjadi di sektor keuangan (yang telah dimulai secara sistematis sejak 1983), namun juga di sektor produksi dan perdagangan. Sektor pertanian juga bukan pengecualian, di mana peran Bulog dipreteli sehingga hanya mengurus beras (tadinya sembilan bahan pokok) dan aneka tarif perdagangan dihapus. Hasilnya, produksi beberapa komoditas penting, seperti jagung dan kedelai, langsung merosot. Kemandirian pangan komoditas kedelai, buah, kacang tanah, susu, gula putih, jagung, daging sapi, dan sayuran kian menyusut dan belum ada tanda-tanda bakal meningkat dalam jangka pandek. Cadangan pangan (beras) Indonesia hanya 4,38% dari total produksi, jauh tertinggal dari Thailand (61,52%), Brunei (52,07%), Vietnam (24,44%), Myanmar (18,23%), Filipina (16,5%), Laos (15,71%), dan Malaysia (10,85%) [Asean Food security Information System; dalam Hanani, 2012].
Konversi lahan juga menarik dicermati karena sebagian besar terjadi pada lahan sawah, entah untuk keperluan industri, pemukiman, maupun yang lain. Proses itu terus berlangsung sampai kini sehingga luas lahan kira-kira berkurang sekitar 60 ribu hektar/tahun (setelah ditambah 40 ribu lahan baru/tahun). Penurunan produksi kedelai dan jagung sebagian juga diakibatkan oleh penyusutan lahan tersebut. Oleh karena itu, di samping soal liberalisasi perdagangan, konversi lahan merupakan persoalan utama di balik penurunan produksi. Masalahnya, mengapa pola yang sama tidak terjadi di perkebunan? Lahan kelapa sawit, misalnya, tiap tahun rata-rata bertambah 6,7% (Indef, 2011). Jika dilihat dari struktur kepemilikan, memang terdapat perbedaan antara lahan sawah dan kebun. Lahan sawah dikelola oleh petani kecil (rata-rata penguasaan lahan di Jawa kurang dari 0,5 hektar), sementara perkebunan didominasi oleh investor besar yang menguasai ribuan hektar. Pertanyaannya, apakah ini terkait dengan lobi/upeti yang diberikan oleh para investor kakap tersebut?
Berikutnya, peningkatan produksi bukan merupakan langkah yang mustahil dilakukan karena sumber daya (lahan) memang tersedia. Namun, peningkatan produksi tanpa dikaitkan dengan strategi tranformasi ekonomi yang benar, rasanya tidak akan memberikan kesejahteraan yang memadai bagi petani. Struktur ekonomi di Indonesia bermasalah, sebab sektor pertanian masih menyerap sekitar 43% dari total tenaga kerja (TK), sementara donasi terhadap PDB hanya 15%. Sebaliknya, sektor industri menyerap 12% TK, tapi kontribusi terhadap PDB sekitar 25% (sempat 28% pada 2005). Persoalan ini mengemuka karena dua hal: (i) sektor industri yang dikembangkan jauh dari sektor pertanian sehingga kurang menyerap TK/padat modal; dan (ii) TK di Indonesia sekitar 70% hanya tamat SLTP ke bawah sehingga sulit masuk ke sektor industri/jasa, andaipun lapangan kerja itu tersedia. Dengan begitu, program peningkatan produksi sejak awal harus dikaitkan dengan strategi industrialisasi.
Realokasi Anggaran
Dalam soal liberalisasi pertanian, studi yang dilakukan Wanki Moon (Is Agriculture Compatible with Free Trade?, 2011) penting untuk dipertimbangkan. Secara lugas Moon menyampaikan bahwa sektor pertanian tidak mungkin diliberalisasi karena tiga argumen: (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa nonmarket (lahan, air, bidoversitas, hutan), baik di tingkat lokal maupun nasional; (b) pertanian secara intimatif terasosiasi dengan isu-isu kemanusiaan, semisal perubahan iklim, kesinambungan, dan ketahanan pangan (kemiskinan/kelaparan), khususnya di negara berkembang; dan (c) sektor pertanian memiliki peran dan kemampuan yang berbeda-beda antarnegara sehingga kekalahan dalam liberalisasi bisa menjadi petaka kemanusiaan. Dengan mencermati perkembangan sektor pertanian pascaliberalisasi pedagangan, di samping alasan dari Moon itu, maka selayaknya pemerintah memiliki keberanian tekad dan moral untuk menghindarkan perekonomian (sektor pertanian) dari jerat liberalisasi.
Sementara itu, terkait konversi lahan memang dibutuhkan regulasi yang melarang perubahan pemanfaatan lahan pertanian dan penegakan kebijakan. Tapi, di luar itu butuh program perluasan lahan yang masih mungkin dibuka di luar Jawa. Pemerintah selama ini berdalih keterbatasan anggaran untuk menyiapkan infrastruktur pembukaan lahan sawah (berbeda dengan lahan baru di perkebunan yang dibiayai sendiri oleh investor). Jika pemerintah punya komitmen, anggaran itu sebetulnya bisa diambilkan dari dana pengurangan kemiskinan (yang dialokasikan sekitar Rp 90 triliun di APBN). Jadi, problemnya adalah realokasi, bukan keterbatasan anggaran. Justru dengan langkah ini, program pengurangan kemiskinan menjadi jauh lebih sistematis/kredibel dan efektif dalam jangka panjang. Selebihnya, pemerintah mesti berjibaku meningkatkan pendidikan dan keterampilan TK secara cepat, di samping menyiapkan strategi industrialisasi berbasis pertanian, agar transformasi ekonomi berjalan secara matang. Pemerintah mesti bergegas agar petaka tidak tiba mendahului.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef