Indonesia telah melewati masa 14 tahun pasca-reformasi ekonomi akibat krisis keuangan yang hebat pada 1997/1998. Saat akhir tahun seperti ini, seperti biasa, berita dan analisis ekonomi banyak diisi dengan aneka proyeksi ekonomi tahun depan. Tentu tradisi ini bermanfaat untuk melihat apakah prospek ekonomi akan lebih baik atau buruk, sambil pada saat bersamaan mengevaluasi kejadian setahun ke belakang. Tapi, tahun depan nampaknya ada perkecualian yang penting sehingga kebiasan melakukan proyeksi ekonomi pada tahun mendatang harus dilihat pada konteks yang lebih luas, yakni apakah reformasi ekonomi yang telah berjalan cukup panjang (tahun depan tepat 15 tahun) dan Indonesia pada 2014 nanti (saat terjadi perhelatan pergantian pemimpin nasional) dapat memulai era baru yang lebih mapan secara ekonomi? Eksplorasi terhadap pertanyaan ini akan memberikan ekspektasi masa depan ekonomi sambil mencari ruang menyusun agenda strategis untuk meraih kemapanan ekonomi.
Konsumsi Rumah Tangga
Perekonomian Indonesia sepanjang 2012 memberikan banyak pelajaran jika dilihat secara menyeluruh.
Pertama, krisis ekonomi global ternyata paling rentan menyergap ekonomi nasional dari sisi perdagangan internasional (ekspor). Nilai ekspor langsung jatuh sehingga bukan saja menggoyahkan neraca perdagangan, tetapi juga sempat melantakkan bangunan neraca pembayaran (sebagian karena tekanan impor minyak). Akibatnya, nilai tukar rupiah sempat tertekan, meskipun sekarang bisa dikendalikan.
Kedua, di luar dugaan sektor konsumsi rumah tangga tidak mengalami penurunan sehingga menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan nasional (PDB). Stabilitas konsumsi rumah ini berperan penting menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, meskipun lebuh rendah dari proyeksi pemerintah. Sampai akhir tahun diperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6,2-6,3%. Pertumbuhan ini masih tergolong tinggi di dunia, sedikit lebih rendah dari China dan kemungkinan lebih tinggi ketimbang India.
Ketiga, infrastruktur ekonomi, inefisiensi birokrasi, dan korupsi merupakan benih terburuk sehingga membuat panen ekonomi tidak dapat optimal. Sungguh pun begitu terdapat keganjilan terhadap fenomena berikut ini: pertumbuhan investasi tetap kencang meskipun terjadi krisis ekonomi global dan buruknya infrastruktur. Bagaimana ini mesti dijelaskan? Jawaban ini masuk akal tapi perlu diuji secara lebih lanjut: (i) Indonesia masih termasuk negara yang potensi pasarnya besar (dengan konumsi rumah tangga yang tinggi), sumber daya ekonomi yang melimpah, dan ditopang dengan tenaga kerja murah; dan (ii) kebijakan quantitative easing di AS memberikan berkah terhadap ekonomi nasional, yaitu modal terus mengalir ke emerging markets (termasuk Indonesia), baik lewat investasi langsung maupun portofolio. Dengan begitu, pada titik tertentu faktor keterbatasan infrastruktur, inefisiensi birokrasi, dan korupsi belum begitu mengganggu perekonomian akibat adanya faktor-faktor tersebut.
Keempat, Indonesia merupakan salah satu kisah sukses keluar dari krisis ekonomi hebat 1997/1998, jika itu dilihat dari stabilitas makroekonomi, penurunan angka kemiskinan, dan pengendalian pengangguran. Namun prestasi-prestasi tersebut harus ditelisik lebih mendalam agar didapatkan fakta yang lebih akurat. Soal kemiskinan terdapat informasi yang penting saat saya menghadiri International Business Research Conference di Monash University, 19-21 November 2012 lalu, di mana salah satu pembicara dari Vietnam (Minh Son Le) membuka data: kemiskinan Vietnam pada 2002 sebesar 28,9% dan tinggal 9,45% (2012). Pada kurun waktu yang sama kemiskinan Indonesia turun dari 17,9% (2002) menjadi 11,9% (2012). Artinya, dalam 10 tahun terakhir Indonesia cuma bisa mengurangi kemiskinan sebesar 6% dan Vietnam 19,5%! Kisah yang serupa juga terjadi dalam soal pengangguran, di mana tingkat pengangguran terbuka tinggal 6,8% (2012) tapi mereka yang bekerja di sektor informal sebesar 62,7% dari total tenaga kerja, sehingga kualitas ketenagakerjaan nasional dalam kondisi buruk.
Konsensus Pembangunan
Deskripsi di atas sebetulnya memberikan dua sinyal penting terhadap ekonomi nasional, yaitu soal kelemahan mutu kelembagaan (quality of institutions) dan kegagalan membangun konsensus pembangunan. Soal kualitas kelembagaan (aturan main/rules of the game) problem klasik yang tidak kunjung bisa diperbaiki adalah efektivitas pemerintahan, mutu dan kepastian regulasi, jaminan hak kepemilikan, dan pengendalian korupsi. Hal inilah yang membuat pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan secara optimal. Investasi tersendat karena proses perizinan lama dan berbiaya mahal, pembajakan inovasi mandeg sebab pembajakan amat ditoleransi, dan pembangunan infrastruktur macet oleh akibat praktik korupsi dan pembebasan lahan yang berbelit. Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan itulah yang akan menentukan laju pembangunan ekonomi di suatu negara (Acemoglu dan Robinson, 2012). Sebaliknya, Indonesia justru mendesain kelembagaan ekonomi yang menghisap (extractive economic institutions).
Sementara itu, konsensus pembangunan dibutuhkan untuk membuat pilar pembangunan ekonomi berdiri tegak mengatasi persoalan-persoalan mendasar. Problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan (termasuk investasi berdasarkan wilayah dan sektor) terjadi akibat tidak adanya konsensus soal basis pembangunan ekonomi nasional. Sampai kini pembangunan ekonomi berjalan tanpa pijakan sektor basis yang kukuh (endowment factor) sehingga secara umum perekonomian menjadi ringkih, gampang roboh diterpa gejolak ekonomi. Jika tidak ambruk, tetap saja akselerasi pembangunan hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi, seperti yang sekarang terjadi. Saya percaya bahwa pertumbuhan ekonomi tahun depan sedikit lebih baik ketimbang tahun ini, tapi jika perbaikan kelembagaan dan konsensus pembangunan tidak segera diselesaikan, maka kualitas hasil pembangunan tetap rendah. Kita masih punya waktu sedikit untuk mengambil momentum tersebut, paling lambat pada 2014.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef