Dalam dokumen LoI (Letter of Intent) IMF 1998, khusus sektor pertanian, terdapat tiga “kontrak” yang harus dijalankan Indonesia untuk menyehatkan perekonomian: (i) mengurangi peran Bulog sebagai badan stabilisasi pangan melalui Keppres No. 19/1998. Intervensi yang terlalu eksesif dan patologi korupsi dianggap tidak kompatibel dengan tujuan stabilisasi (harga) pangan. Alhasil, peran Bulog dibatasi hanya mengurus beras; (ii) liberalisasi perdagangan difasilitasi demi menurunkan tensi harga yang melangit saat krisis ekonomi. Pada butir 40 LoI disebutkan semua peraturan yang membatasi pasar harus dicabut; dan (iii) proteksi dan subsidi pertanian dikurangi sedikit demi sedikit untuk mencegah distorsi. Sejarah mencatat, sejak saat itu terjadi perubahan besar di sektor pertanian.
Salah satu perubahan itu terlihat dari banjir impor komoditas pertanian yang makin meningkat. Mula-mula itu hanya terjadi pada komoditas pangan strategis, seperti beras, gula, jagung, kedelai, daging, dan susu. Tapi, lambat laun impor menyebar ke aneka komoditas pertanian lainnya, tak terkecuali produk hortikultura dan perikanan. Pada 2010 nilai impor pertanian baru US$ 6,2 miliar, namun pada 2011 sudah menembus US$ 9,3 miliar (BI, 2012). Di samping komoditas strategis, impor itu juga meluas dari mulai garam, ketela, buah-buahan, sayuran, bahan nabati, tembakau, biji coklat, sampai ikan laut. Impor tersebut tentu bukan cuma disebabkan membengkaknya permintaan akibat pertumbuhan penduduk, tapi juga melorotnya produksi karena insentif pertanian yang kian mengecil.
Menyadari hal itu, pemerintah mengeluarkan beragam kebijakan untuk mengkanalisasi banjir impor tersebut. Secara umum kebijakan itu bisa dibagi dalam dua lapis. Pertama, kebijakan peningkatan produksi domestik untuk mencukupi pertumbuhan kebutuhan pangan. Beberapa komoditas strategis sudah dibuat peta jalan (road map) swasembada, misalnya beras, kedelai, jagung, dan gula. Tapi, hasilnya masih nihil hingga kini. Gula, misalnya, semula dijadwalkan swasembada pada 2007, namun hingga kini masih jauh dari target. Kedua, mengurangi impor dengan beberapa kebijakan teknis, seperti penetapan kuota, penentuan importir terdaftar, atau menutup beberapa pintu pelabuhan (instrumen tarif impor nyaris tak pernah dipakai untuk membatasi impor).
Regulasi terakhir itu bisa dilihat dari keluarnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 dan 16 Tahun 2012 yang mengatur impor hortikultura hanya boleh masuk lewat Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Belawan Medan, dan Pelabuhan Makassar. Kebijakan ini mendapat protes dari negara mitra dagang Indonesia, tapi tetap dijalankan pemerintah karena volume dan nilai impor hortikultura yang makin tak terbendung. Impor buah-buahan, misalnya, meningkat dari (dalam US$ juta) 435 (2007), 452 (2008), 606 (2009), 655 (2010), hingga 829 (2011). Hal yang sama juga terjadi pada sayuran, di mana nilai impor merangkak dari (dalam US$ juta) 245 (2007), 292 (2008), 299 (2009), 431 (2010), sampai 599 (2011) [Kementerian Perdagangan, 2012].
Dalam realisasinya, tidak lama setelah kebijakan itu dijalankan, memang terjadi penurunan arus masuk barang ke Pelabuhan Tanjung Priok, tapi di Pelabuhan Tanjung Perak terjadi kenaikan 30% kontainer produk holtikultura (www.tempo.co, 23 Juli 2012). Bisa diduga, yang terjadi hanyalah pengalihan tempat tujuan pelabuhan, yang seterusnya komoditas akan menyebar ke penjuru nusantara, entah via darat ataupun laut. Secara teoritis harga komoditas impor memang menjadi lebih mahal (sehingga memungkinkan produk domestik dapat bersaing), namun bila produksi dalam negeri tidak mencukupi maka barang impor tersebut akan tetap dibeli. Efektivitas akan kian kecil bila pelabuhan-pelabuhan lain dapat diterobos akibat lemahnya pengawasan atau moral hazard.
Jadi, kebijakan penutupan pelabuhan sebagai tempat datangnya barang impor memiliki peran untuk mempertinggi harga produk karena biaya transportasi (logistik) yang lebih mahal, sehingga komoditas domestik bisa bersaing. Tapi kebijakan ini menjadi tumpul bila pasokan produksi domestik tidak mencukupi untuk memenuhi pasar dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan ini wajib ditopang oleh pemberian insentif yang membuat petani bergairah meningkatkan produksi. Insentif kebijakan itu merentang dari hulu (perluasan lahan, subsidi pupuk dan bibit, irigasi) hingga hilir (pemasaran, stabilisasi harga, distribusi, dan penguatan Bulog). Ibarat pertunjukan, impor pertanian ini mirip drama, yang akan berakhir bahagia jika skenario LoI di atas disingkirkan terlebih dulu.
(dimuat di Majalah Tempo edisi 12-19 November 2012)
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef