Reformasi ekonomi di Indonesia kurang lebih telah dijalankan selama 10 tahun dengan hasil yang ambigu. Proses reformasi ekonomi itu dilakukan pada hampir semua sektor ekonomi, tetapi tidak banyak yang mengalami kemajuan. Di sektor moneter, independensi bank sentral ternyata tidak lantas membuat kinerjanya menjadi lebih bagus, meskipun aspek pengawasan mengalami kemajuan yang berarti. Di sektor riil, telah terdapat banyak upaya untuk mereformasi ekonomi, baik pada aspek produksi, distribusi, maupun konsumsi. Tata niaga produksi untuk sebagian komoditas sudah dipangkas, namun sebagian besar barang/jasa lainnya masih diselimuti praktik mafia distribusi yang tidak gampang diurai, misalnya pada komoditas pertanian. Pada proses produksi, proses reformasi ekonomi boleh dikatakan jalan di tempat, sehingga menjadi pemicu lambatnya pergerakan investasi di Indonesia. Inilah yang membuat secara keseluruhan Indonesia masih dijangkiti penyakit â€ekonomi biaya tinggiâ€.
Investasi dan Iklim Usaha
Investasi masih menjadi persoalan serius di Indonesia, meskipun sekian banyak fasilitas telah diberikan kepada para investor, seperti pengurangan pajak dan perpanjangan penggunaan lahan. Titik krusial yang menyebabkan investasi tidak bergerak adalah menyangkut iklim investasi yang buruk. Studi yang dilakukan oleh IFC (International Finance Corporation), misalnya, menunjukkan prestasi yang kurang menggembirakan soal iklim investasi ini. Sekurangnya terdapat 10 variabel yang dinilai oleh IFC untuk mengukur iklim investasi, yakni: (i) memulai bisnis; (ii) perizinan; (iii) ketenagakerjaan; (iv) kepemilikan; (v) pengajuan kredit; (vi) perlindungan investor; (vii) pembayaran pajak; (viii) perdagangan lintas negara; (ix) penegakan kontrak; dan (x) penutupan usaha. Berdasarkan penilaian dengan menggunakan parameter IFC tersebut, masih belum terlihat kemajuan sehingga peringkat Indonesia tidak mengalami perbaikan, bahkan dalam beberapa parameter justru mengalami kemunduran.
Sekadar ilustrasi, indikator memulai usaha pada 2008 berada di peringkat 168, menurun ketimbang 2007 (peringkat 163). Pola itu juga terjadi pada indikator pengurusan kredit dan perlindungan terhadap investor, di mana pasa 2008 peringkatnya justru lebih rendah daripada 2007. Sedangkan untuk indikator perizinan, ketenagakerjaan, kepemilikan, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, penegakan kontrak, dan penutupan usaha sedikit perbaikan. Perbaikan itu boleh dikatakan kurang memiliki makna, karena apabila dibandingkan negara-negara tetangga iklim usaha di Indonesia masih jauh tertinggal. Misalnya, jumlah prosedur memulai usaha posisi Indonesia berada di belakang Singapura, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Padahal, dalam konteks kompetisi penanaman modal asing, negara-negara itu merupakan pesaing Indonesia. Posisi yang sama juga terjadi pada aspek lain, seperti biaya memulai bisnis, waktu memulai usaha, dan kerumitan pembayaran pajak.
Salah satu sumber terpenting dari iklm usaha ini adalah soal pungutan liar (pungli). Memang sebagian data sedikit memberikan harapan, sebab pembayaran ilegal (informal payment) terhadap pegawai pemerintah telah mengalami penurunan. Pada pertengahan 2005, persentase pembayaran ilegal kepada pegawai pemerintah mencapai 1,7% dari total ongkos produksi. Persentase itu telah menurun menjadi 1,3% pada pertengahan 2007 (LPEM, 2008). Tetapi, jika data itu disandingkan dengan temuan riset lainnya, maka harapan cerah itu mungkin harus ditahan terlebih dulu. Sekadar contoh, sebuah truk harus melewati 14 pos pungutan apabila melakukan pengiriman barang dari Makasar ke Kendari. Dari pos sebanyak itu, 64% biaya yang dikeluarkan merupakan pungutan tidak resmi dan hanya 36% yang berupa pungutan resmi (LPEM, 2008). Jadi, upaya pemerintah melakukan perbaikan iklim usaha cukup banyak pada level kebijakan, namun dalam implementasinya banyak hal yang masih harus disentuh.
Ekonomi Biaya Tinggi
Deskripsi di muka pada akhirnya menyimpulkan realitas yang tidak dapat dimungkiri bahwa ekonomi biaya tinggi masih menjadi karakter bisnis di Indonesia. Beberapa hal mesti dilakukan untuk mendobrak kebuntuan ini. Pertama, pemerintah pusat bertanggung jawab untuk menyederhanakan regulasi yang menjadi ruang lingkupnya, seperti perpajakan, jaminan kepada investor, ketenagakerjaan, dan penutupan usaha. Pada level ini, kinerja yang sudah dicapai oleh negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia (tidak perlu Singapura) bisa menjadi benchmark. Biaya-biaya siluman yang dikeluarkan untuk variabel-variabel tersebut bisa ditekan dengan pemanfaatan teknologi, sehingga setiap proses pembayaran tidak harus ada tatap muka antara pegawai pemerintah dan (calon) investor. Sedangkan yang menyangkut jumlah prosedur, pengurangan prosedur merupakan hal yang tidak dapat ditawar tanpa mengorbankan substansi yang lebih luas.
Kedua, bagi pemerintah daerah diperlukan langkah serius untuk menekan munculnya perda-perda yang antiinvestasi. Pengalaman Depkeu dan Depdagri yang mencabut ribuan perda bermasalah membuktikan bahwa banyaknya regulasi pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan semangat perbaikan iklim usaha. Oleh karena itu, pemerintah pusat sebaiknya secara tegas memberikan penalti terhadap daerah-daerah yang tidak mendukung ke arah perbaikan iklim usaha/investasi. Sedangkan bagi daerah yang secara nyata memberikan kontribusi terhadap perbaikan iklim investasi (dan secara langsung mengurangi ekonomi biaya tinggi) perlu diberikan insentif, baik dengan skema fiskal maupun nonfiskal. Model inilah yang harus ditempuh oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, sehingga perbaikan iklim investasi benar-benar nyata di hari depan. Tanpa langkah sistematis semacam ini, maka pengurangan ekonomi biaya tinggi hanya menjadi utopia.
Seputar Indonesia, 3 Februari 2009
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya