Pemerintah dan institusi/organ yang terkait pemerintah, juga lembaga multilateral (seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan lain-lain), memproyeksikan perekonomian Indonesia akan tetap cerah pada tahun depan (2012). Pemerintah, KEN (Komite Ekonomi Nasional), Bank Indonesia, IMF, dan Bank Dunia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 bisa menyentuh 6,7%. Ini proyeksi yang amat optimis di tengah kemurungan ekonomi global, terutama yang terjadi di AS, Eropa, dan (barangkali) Jepang. Pemerintah dan lembaga multilateral mungkin punya pandangan sederhana, rasio ekspor nasional terhadap PDB tidak terlalu besar (sekitar 28% saja) sehingga dampak krisis global lewat jalur perdagangan tidak akan banyak menimbulkan guncangan ekonomi. Pemerintah masih bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi dari sumber lain: pengeluaran pemerintah (APBN), konsumsi domestik (rumah tangga), dan investasi.
Fatamorgana Pertumbuhan Ekonomi
Pertanyaannya, apakah sesimpel itu jalannya perekonomian tahun depan? Sekurangnya terdapat dua pertimbangan besar yang perlu dilihat pemerintah. Pertama, benar bahwa kontribusi ekspor terhadap pembentukan PDB tidak terlalu besar, tapi yang perlu diingat tidak mudah bagi pemerintah mensubstitusinya dari sumber lain, seperti pengeluaran pemerintah, konsumsi domestik, maupun investasi. APBN kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar angka 8-9% (bandingkan dengan Korsel yang sampai 16% dan rata-rata negara Asia Pasifik di atas 11%), konsumsi domestik tidak mungkin ditingkatkan lebih dari 55% donasinya terhadap PDB (karena daya beli tidak meningkat seiring dengan pelambanan gerak ekonomi), dan peningkatan investasi juga meragukan meskipun “investment grade†sudah dikantongi (sebab persaingan memperebutkan investor asing akan kian ketat).
Kedua, seandainya proyeksi pemerintah tersebut dapat dicapai, maka problem berikutnya adalah: apakah pertumbuhan ekonomi itu mencerminkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan? Kinerja pemerintah dalam 5 lima tahun terakhir makin memburuk dari tiga sisi: kemiskinan absolut turun (tapi jumlah penduduk miskin dan hampir miskin bertambah), pengangguran terbuka makin sedikit (namun proporsi pekerja sektor infomal terus bertambah), dan ketimpangan pendapatan semakin menganga (pada 2010 Gini Rasio mencapai 0,38, rekor tertinggi dalam periode modernisasi ekonomi Indonesia). Hal ini terjadi oleh sebab yang “sepeleâ€: ekonomi nasional larut dalam kegiatan di sektor finansial, sambil melupakan perluasan kapasitas ekonomi di sektor riil. Pertumbuhan sektor non-tradeable makin kencang, namun pertumbuhan sektor tradeable cenderung merosot. Inilah sumbu pemantik api masalah tersebut.
Berdasarkan deskripsi tersebut, Indef (Institute for Development of Economics and Finance) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6,1-6,3%. Proyeksi ini memang lebih pesimis ketimbang pemerintah karena pintu untuk mencapai pertumbuhan 6,7% memang nyaris tertutup. Secara eksternal, pasar luar negeri tidak memungkinkan diperluas karena sekitar 50% ekspor nasional lari ke China, AS, Eropa, dan Jepang. Celakanya, negara-negara itu eksposur ekonominya akan melemah pada tahun depan. Membuka pasar non-tradisional merupakan jalan keluar yang paling mungkin, tapi seperti biasa birokrasi menjadi simpul mati bagi munculnya upaya terobosan seperti ini. Secara internal, peningkatan investasi juga diganjal dengan praktik korupsi dan inefisiensi birokrasi sehingga perbaikan infrastruktur, perizinan, dan pembebasan lahan menjadi persoalan abadi yang tidak terpecahkan hingga kini.
Batu Bata Ekonomi
Lepas dari itu semua, “ideologi†pertumbuhan ekonomi bukanlah segala-galanya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah garansi kemajuan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang rendah tidaklah representasi buramnya perekonomian. Di balik pertumbuhan ekonomi disusun banyak batu bata variabel ekonomi yang penting ditelisik satu per satu. Di sinilah saya kira problem perekonomian nasional bermula dan -pada saat yang sama- inspirasi jalan keluar dapat disusun secara sistematis. Dari sisi sektoral, penurunan kontribusi sektor pertanian dan industri harus segera diakhiri. Kedua sektor ini menampung sekitar 55% tenaga kerja, sehingga penurunan pertumbuhan ekonomi maupun kontribusi terhadap PDB pasti menimbulkan problem ketenagakerjaan. Saat peran kedua sektor tersebut menurun terhadap perekonomian, pada saat yang sama hampir pasti sumbangan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja meningkat.
Berikutnya, investasi domestik kian terpinggirkan dalam konfigurasi gemuruh kegiatan ekonomi nasional. Pada 2005, investasi sumbangan investasi asing masih sekitar 64% dari total investasi di Indonesia. Pada pada 2009 kontribusi investasi asing mencapai 82% dan 2010 lalu sudah relatif turun menjadi 71%. Data itu menunjukkan peran pelaku ekonomi domestik yang sangat terbatas dan cenderung menurun tiap tahunnya, meski ada perbaikan pada 2010. Implikasinya, apabila pertumbuhan ekonomi meningkat, yang sebagian disumbang oleh investasi, pemilik dan penikmatnya adalah pelaku ekonomi asing, bukan investor domestik. Lebih memilukan lagi, jika ditarik garis pembatas antara sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997/1998, maka proporsi investasi sebelum 1997/1998 lebih banyak di sektor riil, sementara pasca-1997/1998 lebih banyak menuju ke investasi portofolio (sektor keuangan).
Terakhir, meskipun pemerintah mengklaim ekonomi sudah menuju modernisasi, tapi sebetulnya dalam banyak hal ekonomi nasional masih primitif. Kegiatan ekonomi (juga ekspor) banyak bertumpu kepada komoditas bahan mentah, sehingga bukan hanya kehilangan kesempatan menciptaan nilai tambah, tapi juga kesulitan menciptakan lapangan kerja. Kasus kelapa sawit, misalnya, kurang lebih hanya diolah untuk membuat 40 jenis komoditas olahan, padahal Malaysia sudah mencapai 100 jenis. Ini juga terjadi pada kasus di sub-sektor perikanan, pertanian, kehutanan, pertambangan, dan lain sebagainya. Seandainya strategi hilirisasi komoditas bahan mentah tadi dilakukan secara eksesif melalui pembentukan “pohon industriâ€, maka sebagian besar masalah ekonomi akan terselesaikan. Jika tiga hal ini saja mulai dicicil tahun depan, maka yakinlah pertumbuhan ekonomi bukanlah isu yang penting lagi untuk diperdebatkan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef