Pemilihan presiden (pilpres) merupakan “pasar politik†yang mempertemukan pemasok kebijakan (capres-cawapres/supply of institutions) dan pembeli keputusan (rakyat/demand of constitutents). Jadi, pasar politik merupakan arena transaksi kebijakan. Capres-cawapres berupaya mengidentifikasi persoalan-persoalan kunci negara dan menyerap aspirasi konstituen untuk dirumuskan sebagai “produk kebijakan†yang dijual kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat juga kian jeli membandingkan tiap produk kebijakan yang ditawarkan oleh para kandidat, sehingga nantinya “barang†yang dibeli kualitasnya bagus. Tentu saja, fokus pembeli bukan hanya mutu produk yang dijual, namun juga jejak rekam para penjual tersebut. Gambaran ini menyiratkan satu hal pokok: dalam pasar politik yang sempurna, hanya penjual bermutu yang produknya akan dibeli.
Transaksi Kebijakan
Sungguh pun begitu, ada beda antara pasar politik (pemilu/pilpres) dan pasar ekonomi. Dalam pasar ekonomi, konsumen terfragmentasi dalam banyak preferensi akibat banyaknya produk sejenis maupun tak sejenis yang dijual sehingga mereka tidak terkotak dalam satu kelompok besar. Misalnya, terdapat 10 merek mobil yang dijual di pasar, sedangkan jumlah konsumen 1 juta. Pada kondisi ini, konsumen akan meletakkan diri dalam posisi sebagai pembeli mobil sesuai dengan selera dan daya belinya. Mereka tidak berkehendak bersekutu antara satu dengan yang lain untuk membikin posisi tawar menjadi lebih tinggi agar produsen mobil tertentu memeroleh kerugian atau keuntungan. Konsumen itu juga tak berminat memengaruhi secara masif kepada pembeli lainnya agar mengambil keputusan yang sama dengannya. Inilah deskripsi yang terjadi dalam pasar ekonomi, meski tentu saja di lapangan situasinya tak sesederhana itu.
Sebaliknya, dalam pasar politik, pembeli kebijakan merupakan konstituen aktif. Mereka gesit bukan cuma dalam pengertian ingin mengetahui kualitas produk yang ditransaksikan (kebijakan), tapi aktif memengaruhi konstituen lain untuk mengambil pilihan yang sama dengannya, bahkan dilakukan secara masif. Inilah yang kemudian menciptakan segregasi yang sengit di masyarakat, lebih-lebih apabila jumlah pemasoknya hanya sedikit, misalnya cuma dua pasang capres-cawapres (seperti yang sekarang terjadi). Selebihnya, apakah konstituen politik itu memiliki kekuatan yang setara? Ternyata tidak, sebab terdapat sekawanan pelaku (ekonomi) tertentu yang kekuasaannya sangat besar untuk melegitimasi atau mendelegitimasi kandidat tertentu berdasarkan preferensi mereka. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai “pasar†itu sendiri.
Kerap kita mendengar atau membaca pernyataan begini, “pasar memberikan respons positif (negatif) terhadap kandidat Aâ€. Pasar di situ tidaklah dimaknai seluruh pelaku ekonomi, apalagi rakyat. Pasar dalam pernyataan tersebut hanyalah sekumpulan kecil pelaku ekonomi yang berada di sektor keuangan atau korporasi besar yang menguasai sendi-sendi perekonomian, sehingga setiap gerak-geriknya dapat mengubah aktivitas atau arah ekonomi. Setiap keputusan ekonomi mereka bisa dipantau dari fluktuasi harga di pasar saham atau dinamika nilai tukar (rupiah). Jika situasi politik mereka anggap positif, nilai tukar menguat dan indeks harga saham meningkat, demikian sebaliknya. Preferensi mereka bisa sehaluan dengan aspirasi masyarakat, namun bisa pula sebaliknya: berbeda secara diametral dengan kehendak rakyat.
Â
Kepastian dan Program
Itulah asimetri yang terjadi dalam pasar, yakni terdapat sekumpulan kecil pelaku ekonomi yang memiliki kekuatan dahsyat untuk memengaruhi pasar politik. Lantas, bisakah preferensi mereka itu dirumuskan secara ketat? Tak mudah menjawab ini. Tapi sekurangnya terdapat dua jawaban generik untuk membantu menjawabnya. Pertama, kegiatan ekonomi membutuhkan kepastian, khususnya stabilitas politik. Variabel ini sangat penting karena dari situlah kegiatan investasi (produksi, distribusi, perdagangan, konsumsi, dan lain-lain) dapat diselenggarakan. Jadi, kepastian (certainty) adalah pilar terpenting bagi aktivitas ekonomi. Kedua, tawaran kebijakan dan program yang masuk akal dan menguntungkan kepentingan mereka. Aspirasi izin usaha yang cepat, logistik yang murah, regulasi ketenagakerjaan yang longgar, dan pajak yang sederhana merupakan bagian dari aspirasi tersebut.
Jadi, pada saat pertarungan antarkandidat makin mengeras dan seimbang, kemudian nilai tukar tiba-tiba jatuh (padahal secara umum tidak terdapat perubahan terhadap fundamental ekonomi), tentu hal ini harus dibaca sebagai punahnya “kepastian†yang mereka harapkan. Pasar berimajinasi jika persaingan menjadi ketat, maka potensi konflik meninggi dan berakibat terganggunya stabilitas politik. Implikasinya, iklim usaha menjadi buruk (seperti yang terjadi di Thailand). Berikutnya, pada saat Kadin mengundang kandidat untuk memaparkan visi dan kebijakan ekonomi, harapannya agar tergali hal-hal yang lebih rinci tentang program-program ekonomi yang akan dijalankan ketika terpilih. Jika dilihat dari pernyataan beberapa petinggi Kadin seusai acara tersebut, nampaknya mereka belum puas sepenuhnya atas paparan yang dilakukan kandidat.
Realitas ini tentu mencemaskan, karena dinamika ekonomi gampang didikte oleh segelintir orang padahal dampak tersebut dirasakan oleh semua konstituen. Penurunan nilai tukar, misalnya, bukan hanya mengacaukan rencana usaha dan kegiatan lain, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi negara (neraca perdagangan, APBN, dan lain sebagainya). Di masa depan, pemerintah perlu mencari format baru untuk mengendalikan perekonomian dari pengaruh “pasar†yang tak elok tersebut, sambil memberikan pencerahan kepada mereka bahwa hidup harus berbagi kepada kepentingan/aspirasi yang lebih luas. Selebihnya, kita laik berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan pilpres hanya satu putaran. Keputusan ini bukan hanya menjadi sumber efisiensi uang negara, tapi juga mendonorkan kepastian. Akhirnya, semoga pilpres 9 Juli nanti menjadi instrumen politik untuk menegakkan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi, siapapun pemenangnya.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Â