Pertengahan tahun ini situasi ekonomi global maupun nasional menarik untuk dicermati. Perekonomian global yang semula diperkirakan akan menuju pemulihan yang lebih baik ketimbang 2010, tiba-tiba harus disikapi secara hati-hati akibat situasi terkini di AS. Gara-gara rating utang AS diturunkan ke AA+ (dari semula AAA) membuat terjadinya kepanikan pelaku ekonomi, khususnya di pasar saham. Dampak itu juga dirasakan oleh Indonesia, di mana pasar saham melorot beberapa hari lalu dan kini IHSG bertengger pada kisaran 3500, setelah sebelumnya indeks sempat menembus 4000. Negara-negara berkembang sendiri saat ini tengah berjuang mengatasi tiga problem utama, yakni inflasi, neraca fiskal, dan arus modal masuk (capital inflow). Masalah ini juga dialami Indonesia pada semester pertama 2011 ini, sehingga sebagian kebijakan pemerintah dan bank sentral diupayakan untuk meredam tiga soal serius tersebut.
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2011 lumayan baik, yang mencapai 6,5%. Tingkat pertumbuhan ini boleh dibilang bagus karena pada saat yang bersamaan negara-negara tetangga justru mengalami pertumbuhan yang menurun, khususnya Singapura. Karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia dari segi permintaan masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, dari sisi penawaran disumbang terbesar oleh non-tradeable sector, dan dari sisi wilayah masih terpusat di Jawa dan Sumatera. Dengan karakteristik seperti itu boleh dikatakan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional belum mengalami perubahan berarti dalam beberapa tahun belakangan. Konsumsi rumah tangga yang masih besar dalam beberapa hal bisa dimengerti, tapi dengan integrasi ekonomi yang kian cepat mestinya peran ekspor-impor dan investasi harus makin membesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berikutnya, pertumbuhan ekonomi yang banyak didonasi oleh non-tradeable sector membuat proses pengurangan pengangguran dan kemiskinan menjadi sulit dilakukan secara cepat, meskipun alokasi yang dianggarkan sudah sedemikian besar. Pada 2010 saja, anggaran kemiskinan mencapai Rp 94 triliun, tapi penduduk miskin hanya turun kurang dari 1 juta. Pada Maret 2011, angka kemiskinan masih bertengger pada level 12,49% (30,02 juta penduduk), turun dari semula 13,3% pada 2010. Angka kemiskinan tersebut diperoleh dengan cara mengukur penduduk yang memiliki pendapatan di bawah Rp 233.740. Penurunan inipun masih dapat dipersoalkan karena jumlah penduduk miskin yang paling banyak turun berada di wilayah pedesaan, padahal pada 2010 sektor pertanian (tempat terbanyak orang miskin bekerja) hanya tumbuh 2,9% dan upah buruh tani secara riil merosot sekitar 4%.
Kinerja pengangguran terbuka sendiri memang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Pada Februari 2011 tingkat pengangguran terbuka (TPT) telah berada pada level 6,8%, turun dari semula 7,41% pada Februari 2010. Penurunan angka pengangguran ini banyak disumbang oleh sektor pertanian, karena dalam enam bulan (Agustus 2010-Februari 2011) sektor pertanian menyerap sekitar 2 juta tenaga kerja. Data yang dilansir BPS (2011) ini lagi-lagi harus dikritisi karena, seperti yang disampaikan di muka, sektor pertanian tumbuh sangat rendah (2,9%). Lainnya, kualitas ketenagakerjaan nasional amat buruk karena 65% penduduk bekerja di sektor informal, dan cuma kurang dari 35% yang bekerja di sektor formal. Ini semua bisa terjadi karena pertumbuhan ekonomi tidak disokog oleh sektor riil, khususnya pertanian dan industri, yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja tinggi.
Inflasi menunjukkan kondisi yang relatif terkendali, meskipun di tengah serangan harga minyak dan pangan. Sampai Juni 2011, inflasi berada pada level 5,54% (yoy) dan penyumbang terbesar masih berasal dari bahan makanan dan makanan jadi (minuman, rokok, dan tembakau). Karakter inflasi ini tidak mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Jika dibuat rata-rata, inflasi dari bahan makanan pada periode 2004-2010 menyumbang sekitar 34,7%. Dengan begitu, jika ingin menjaga inflasi secara meyakinkan sebetulnya pemerintah cukup mengendalikan harga pangan. Sayangnya, rekam jejak pemerintah dalam mengendalikan harga pangan ini tidak pernah bagus, baik karena produksi dan distribusi domestik yang bermasalah, maupun harga pangan internasional yang terus meningkat. Sehingga, tidak heran bila pada periode 2000-2010 rata-rata tingkat inflasi mencapai 8,6% (Indef, 2011).