Kinerja ekonomi Indonesia agak muram pada 2012, yang setidaknya digambarkan oleh tiga hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi masih lumayan tinggi, antara 6,2-6,3%, tapi angka ini jauh lebih rendah dari target pemerintah sebesar 6,7%. Bahkan jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi 2011 yang sebesar 6,5%, kinerja 2012 juga masih lebih rendah. Kedua, penyerapan anggaraan (APBN) menjadi kartu mati untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. APBN 2012 sudah didesain defisit cukup besar (di atas 2%), tapi pemerintah nyaris tak punya energi dan kapasitas untuk menyerap anggaran tersebut, sehingga sampai akhir tahun penyerapannya hanya sekitar 90% (data resmi belum diumumkan). Bahkan, belanja modal penyerapannya ditengarai kurang dari 80%. Ketiga, setelah sekian lama, untuk pertama kalinya neraca perdagangan defisit. Sampai November 2012 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 1,3 miliar.
Defisit Perdagangan
Jika dilihat data neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang menunjukkan fluktuasi dari tahun ke tahun. Sungguh pun begitu, fluktuasi itu tidak pernah sampai membuat neraca perdagangan defisit (impor lebih besar daripada ekspor). Pada 2007 neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar S$ 39,63 miliar. Ini termasuk salah satu rekor surplus terbesar yang pernah dicapai ekonomi nasional. Pada 2008, ketika ekonomi nasional agak limbung akibat kenaikan harga minyak, pangan, dan subprime mortgage, surplus neraca perdagangan turun drastis menjadi US$ 7,82 miliar. Ajaibnya, pada 2009 ketika puncak krisis subprime mortgage terjadi dan pertumbuhan ekonomi hanya 4,5% surplus neraca perdagangan malah naik menjadi US$ 22,10 miliar. Akhirnya, pada 2011, surplus neraca perdagangan meningkat lagi menjadi US$ 26,07 miliar (BPS, beberapa tahun).
Bagaimana perjalanan neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2012? Data menunjukkan sampai November 2012 neraca perdagangan defisit sebanyak 6 kali, yakni April – Juli, Oktober, dan November. Jika neraca perdagangan 2012 diharapkan surplus, maka sekurangnya pada Desember 2012 surplus perdagangan setidaknya harus lebih besar dari US$ 1,3 miliar. Jelas syarat itu sangat berat dipenuhi sehingga kemungkinan besar neraca perdagangan Indonesia akan mengalami defisit sepanjang 2012. Bahkan, jika Desember 2012 nanti neraca perdagangan defisit kembali, maka pasti defisit neraca perdagangan 2012 menjadi lebih besar dan mendekati US$ 2 miliar. Dari sisi nilai, komoditas yang pertumbuhan ekspornya memburuk antara lain karet (-28,4%), kakao (-19,8%), produk tekstil (-6,3%), dan produk hasil hutan (-1,1%). Sementara itu, yang pertumbuhannya positif otomotif (53,8%), udang (8,2%), alas kaki (6,8%), kopi (6,7%), sawit %,5%), dan elektronik (2,1%) [BPS, 2012].
Lebih rinci lagi, jika dilihat dari kinerja ekspor berdasarkan migas dan nonmigas akan didapat data sebagai berikut. Dengan menggunakan data Januari – September 2012 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, maka ekspor migas tumbuh -8,8%; minyak mentah -7,8%; hasil minyak -15,3%; gas -7,9%; nonmigas -5,3%. Sebaliknya di sisi impornya, pada periode yang sama migas tumbuh 2,0%; minyak mentah -1,1%; hasil minyak -2,1%; gas 110,4%; dan nonmigas 11,3%; Secara keseluruhan ekspor tumbuh -6,06% dan impor tumbuh 9,18% (BPS, 2012). Dari sisi tujuan negara, tercatat Indonesia mengalami desifit perdagangan dengan Jerman, China, Vietnam, Singapura, Korsel, Jepang, Thailand, dan lain-lain. Sementara itu, Indonesia masih mencatat surplus perdagangan ke India, AS, dan Malaysia. Inilah sebagian data yang menjadi penjelas terjadinya defisit perdagangan 2012.
Kaji Ulang Liberalisasi
Apakah terjadinya defisit neraca peedagangan itu disebabkan keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement/FTA)? Sebelum sampai di sana terlebih dulu sebaiknya dilihat hubungan antara krisis ekonomi global dan kinerja ekspor nasional. Setelah krisis ekonomi 1997/1997, krisis besar yang terjadi usai priode itu tercatat pada 2005, 2008/2009, dan 2012. Pada periode itu ternyata tidak terdapat korelasi yang cukup kuat antara krisis ekonomi dan penurunan ekspor. Bahkan, seperti disampaikan di muka, ketika terjadi krisis ekonomi cukup dalam pada 2009, saat pertumbuhan ekonomi hanya 4,5%, surplus neraca perdagangan Indonesia masih sebesar US$ 22,1 miliar (justru tumbuh dibandingkan tahun sebelumnya). Dengan begitu, tidak tepat jika krisis ekonomi dianggap sebagai penyebab utama atau tunggal terjadinya penurunan ekspor. Pada titik ini, krisis ekonomi global hanya bisa dianggap sebagai faktor komplemen penurunan kinerja ekspor.
Studi yang dilakukan oleh Oktaviani (Indef, 2012) menunjukkan memburuknya kinerja perdagangan disebabkan oleh rendahnya daya saing ekonomi dalam percaturan liberalisasi. Indonesia dianggap tidak cukup mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai kesepakatan kerjasama perdagangan bebas dalam berbagai skema. Kata kunci di sini adalah urutan yang salah dalam mendesain kebijakan: menyepakati terlebih dulu liberalisasi sebelum daya saing perekonomian kuat. Celakanya, Indonesia sudah telanjur meratifikasi banyak sekali FTA, bahkan sebagian sudah berjalan, seperti AFTA, CAFTA, Asean-Korea, Asean-India, Asean-Australia-New Zealand, dan Asean-Japan Comprehensive Economic Partnership. Di samping itu, dibandingkan rata-rata tarif bea masuk negara-negara Asia lainnya, rata-rata tarif Indonesia yang paling rendah, sekitar 4,3% saja, padahal India rata-rata 35,2%; Vietnam 24,9%; Jepang 34,0%; Thailand 24,2%; dan China 17,4% (The Economist, 2012). Inilah yang membuat impor makin deras dan ekspor kian seret.
Olah karena itu, hanya ada dua hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia menghadapi kenyataan pahit ini. Pertama, melakukan kaji ulang terhadap FTA yang sudah disepakati. Indonesia harus menginisiasi perubahan perjanjian terhadap produk-produk yang memang tidak bisa bersaing. Liberalisasi hanya pantas dilakukan bagi komoditas yang daya saingnya kuat sehingga ekonomi nasional bisa memetik keuntungan. Dalam hal ini Indonesia dapat mengajak negara lain, yang posisinya tidak cukup diuntungkan dari liberalisasi perdagangan tersebut. Kedua, daya saing ekonomi nasional mesti dipercepat perbaikannya jika tidak ingin perekonomian nasional kian terpuruk. Serangkaian agenda mendesak sudah menunggu, seperti hilirisasi komoditas, penguatan keterkaitan ke depan dan ke belakang (foward and backward linkages), insentif fiskal dan nonfiskal yang lebih efektif, infrastruktur yang lebih mapan, dan rantai logistik yang efisien.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef