Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru saja mengikuti pertemuan puncak G-20 pada 17-19 Juni 2012 di Los Cabos, Meksiko. Pertemuan ini merupakan agenda rutin tahunan yang dilakukan oleh 20 negara paling besar PDB-nya di dunia, meskipun negara yang tergabung di dalamnya tidak selalu menunjukkan tingginya pendapatan per kapita (kesejahteraan individu). Kali ini pemerintah mengusung empat agenda utama dalam forum G-20 tersebut, yakni: (i) menjaga pertumbuhan ekonomi global yang sehat; (ii) mendorong konsep perekonomian yang inklusif dalam arsitektur perekonomian dunia; (iii) pembangunan ekonomi; dan (iv) perdagangan global. Presiden sangat percaya diri menyuarakan empat agenda tersebut karena merasa Indonesia telah mengamalkan keempatnya secara serius dengan hasil yang menggembirakan. Tentu saja klaim itu perlu didalami secara saksama agar inisiatif pemerintah memiliki bobot kredibilitas yang tinggi. Jika sebaliknya yang terjadi, maka malah akan menjadi bumerang buat Indonesia.
Noda Ekonomi Indonesia
Agenda yang dibahas dalam forum G-20 dan disuarakan juga oleh Indonesia itu memang merupakan poin penting yang perlu mendapatkan penekanan saat ini. Poin itu telah menjadi keprihatinan utama sejak dekade 1980-an. Persoalannya, apakah Indonesia dalam posisi yang tepat untuk mendesakkan agenda itu pada momen kali ini. Pertama, agenda menjaga pertumbuhan ekonomi yang sehat. Indonesia harus diakui merupakan salah satu negara yang sampai sekarang bisa mencapai pertumbuhan tinggi dalam beberapa tahun terakhir, di samping China dan India. Oleh karena itu, Indonesia tentu juga otoritatif untuk berbicara pentingnya pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari makna “sehat†akibat berjalan seiring dengan makin naiknya ketimpangan pendapatan. Gini rasio (alat ukur ketimpangan pendapatan) kian besar, bahkan pada 2011 lalu mencapai rekor baru, yaitu 0,41 (BPS, 2012). Belum pernah dalam sejarah ekonomi Indonesia modern ketimpangan pendapatan setinggi itu.
Kedua, mendorong perekonomian yang inklusif dalam arsitektur ekonomi dunia. Substansi dari agenda ini tidak lain adalah pemerataan perekonomian dalam level global, di mana saat ini ketimpangan pembangunan antarnegara juga semakin menganga. Melalui instrumen sektor keuangan dan pergerakan investasi yang kian cepat akumulasi kesejahteraan ekonomi semakin terkonsentrasi oleh negara-negara kaya, misalnya AS, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Tidak banyak negara lain di luar itu yang dapat menikmati kue pergerakan ekonomi dunia, misalnya hanya Korea Selatan, China, Singapura, Brazil, Rusia, dan India. Asia Timur merupakan kawasan yang relatif bisa menjemput kemajuan ekonomi dunia, tetapi secara umum kawasan Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Eropa Timur belum sepenuhnya meningkat kesejahteraan ekonominya pasca-globalisasi ekonomi. Pada titik ini dapat dikatakan arsitektur ekonomi dunia bermasalah karena mengakibatkan disparitas ekonomi yang makin menguat antarnegara.
Ketiga, pembangunan ekonomi dan perdagangan global merupakan dua agenda lain yang menjadi fokus pertemuan G-20. Poin pentingnya adalah pembangunan ekonomi dipacu lewat liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga percepatan kegiatan ekonomi mudah dicapai. Pemikiran itu tidak meleset, sebab sejak liberalisasi dijalankan secara massif pada dekade 1980-an perekonomian berjalan dengan cepat. Tetapi liberalisasi perdagangan maupun sektor keuangan itu kembali hanya menjadi stimulus negara maju untuk mengeruk keuntungan ekonomi ketimbang memberi manfaat bagi negara berkembang maupun terbelakang. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling mengadopsi liberalisasi itu, bahkan dibandingkan dengan negara maju sendiri. Di sektor perbankan, misalnya, Indonesia membolehkan kepemilikan asing hingga 99%, padahal di negara-negara Asean rata-rata hanya di bawah 40% (Indef, 2011). Stiglitz (The Price of Inequality, 2012) secara eksplisit menyebut liberalisasi perdagangan dan keuangan sebagai penyebab ketimpangan, baik pada tingkat global maupun nasional.
Misi Domestik dan Internasional
Ketimpangan pembangunan di Indonesia sebetulnya bukan melulu dapat diperiksa dari sisi pendapatan, namun juga ketimpangan sektoral dan regional. Sektor ekonomi yang berjaya pascakrisis ekonomi 1997/1998 adalah nontradeable (telekomunikasi, perhotelan, keuangan, jasa, perdagangan, dan lain-lain), sementara sektor tradeable (khususnya pertanian dan industri) masuk dalam perangkap pertumbuhan rendah (low growth trap). Sementara itu, wilayah yang tumbuh subur perekonomiannya hanya Jawa dan Sumatera, di mana kedua kawasan itu menyumbang sekitar 82% dari total PDB. Dengan kata lain, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali cuma punya donasi kurang dari 18%. Dari sini ini agak ganjil apabila Indonesia turut meneriakkan keberhasilan soal pertumbuhan ekonomi yang sehat di forum G-20, sebab fakta di lapangan problem itu justru sedang tampil dengan kasat mata di Indonesia. Alih-alih memberi contoh keberhasilan, posisi Indonesia dalam soal ini seharusnya belajar dari negara lain.
Berikutnya, agenda mendorong perubahan tata kelola perekonomian dunia merupakan hal yang memang wajib disuarakan oleh Indonesia. Tapi di sini juga ada satu faktor yang luput diperhatikan. Penyebab tunggal dari ketimpangan ekonomi dunia adalah promosi liberalisasi ekonomi yang disuarakan oleh negara maju sejak lama, tapi celakanya Indonesia merupakan bagian dari jamaah yang takzim menerima tanpa reserve apapun. Pada titik ini, suara perubahan arsitektur ekonomi dunia yang didengungkan Indonesia kehilangan ruhnya akibat inkonsistensi antara konsep yang diinginkan dengan kebijakan yang diimplementasikan di dalam negeri. Sekadar contoh, tarif bea masuk Indonesia untuk komoditas produk hewan, buah-buahan, gula, katun, minuman, petroleum, tekstil, mineral, dan masih banyak lagi paling rendah ketimbang India, Vietnam, Jepang, Thailand, dan China (The Economist, 2011). Ajaibnya, kebijakan itu diambil ketika daya saing beberapa komoditas itu tak lebih baik ketimbang negara lain. Hasilnya, impor meluap tak terkendali.
Catatan di atas membuka kenyataan pahit yang memang harus diterima dengan lapang dada. Tidak seluruh kondisi perekonomian memburuk, semisal pertumbuhan ekonomi, manajemen fiskal, dan stabilitas makroekonomi. Tetapi, seluruh kinerja itu kurang makna memiliki sebab tidak menyentuh kebutuhan paling dasar sebagian besar masyarakat. Publikasi yang dilansir oleh Fund for Peace yang menempatkan Indonesia pada peringkat 64 (turun satu tingkat daripada tahun sebelumnya) sebagai ‘Negara Gagal†tidak perlu dirapati dan direspons secara agresif. Lebih baik penilaian itu dilihat secara jernih dan menjadi perbaikan dalam program-program keseharian. Keberadaan Indonesia pada forum G-20 merupakan hal strategis manakala itu dimanfaatkan untuk belajar memerbaiki kondisi perekonomian domestik, sambil pada saat yang bersamaan meneriakkan ketidakadilan tata ekonomi pada level internasional. Kebesaran Indonesia akan ditentukan dari keberhasilan menjalankan dua misi mulia tersebut.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef