KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah menetapkan 10 partai politik (parpol) sebagai peserta Pemilihan Umum (pemilu) 2014 (meskipun sampai saat ini masih ada sengketa dari parpol yang tidak lolos pemilu). Bagi sebagian orang, 10 parpol tersebut dianggap ideal untuk mewakili aspirasi politik rakyat, meskipun sebagian khalayak masih menganggap jumlah itu terlalu banyak dan sebagian lain berpendapat sebaliknya. Dalam kontestasi demokrasi, ujung dari proses politik pemilu itu adalah kemenangan suara yang diperoleh dari akumulasi produksi gagasan, soliditas organisasi, dan kapasitas modal (untuk kepentingan kampanye, iklan, dan seterusnya). Bagi orang awam, yang terlihat dari aktivitas parpol hingga hari ini hanya sekadar upaya memerkuat soliditas organisasi dan pengumpulan pundi-pundi uang untuk kepentingan pemilu lewat beragam cara. Sebaliknya, publik hampir tak pernah mendengar gagasan yang hendak dijual oleh parpol tersebut, khususnya ide terkait pengelolaan ekonomi nasional.
Aspirasi Ekonomi
Gagasan ekonomi parpol sangat penting disampaikan secara gamblang karena dua hal pokok. Pertama, meskipun bukan segala-galanya, kehidupan ekonomi merupakan indikator yang paling mudah dirasakan dan diukur karena menyangkut hajat hidup rakyat. Bahkan, bagi sebagian kelompok masyarakat (khususnya yang tinggal di pedesaan dan berpendidikan rendah), pembangunan dianggap sebangun dengan capaian ekonomi, khususnya kecukupan pangan dan sandang. Mereka tak terlalu peduli dengan demokrasi, hak asasi manusia, kepastian hukum, dan isu elitis lainnya. Kedua, pasca-reformasi ekonomi banyak kalangan melihat adanya ketidakjelasan arah pembangunan ekonomi (bahkan sebagian ekonom menganggap kompas ekonomi kian menyimpang dari cita-cita konstitusi) dan terjadi pemburukan sistematis atas indikator-indikator ekonomi yang berhubungan dengan kesinambungan kesejahteraan masyarakat, misalnya hancurnya kepemilikan aset produktif dan meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Parpol hingga kini tak pernah menganggap platform ekonomi sebagai hal serius yang mesti diperjuangkan karena berasumsi itu tak terlalu memengaruhi pemilih (voters). Menurut para pengurus parpol, pemilih di Indonesia lebih banyak menentukan preferensi politik atas dasar figur, uang, dan ikatan primordial. Namun, dengan melihat perkembangan ekonomi yang makin mencemaskan dan kesadaran pemilih yang kian melek informasi, dugaan itu tak selamanya benar. Kesadaran publik atas kenestapaan ekonomi bangsa kian membuncah, sehingga parpol yang memiliki gagasan orisinil untuk menciptakan kejayaan ekonomi bangsa berpotensi dibeli oleh pemilih. Parpol mesti jeli melihat pergeseran ini jika tidak ingin tertinggal dari kereta perubahan, apalagi disaat sebagian warga makin apatis melihat perkembangan parpol sekarang. Pada titik ini, gagasan ekonomi parpol menjadi medium transaksi untuk mengikat pemilih dan sekaligus memulihkan kepercayaan terhadap parpol.
Jika melihat sekilas aspirasi ekonomi yang berkembang dari parpol dan pernah menjadi catatan sejarah perjalanan bangsa, sekurangnya terdapat tiga gagasan yang hidup sampai saat ini. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa spirit ekonomi Indonesia itu adalah sosialisme, seperti yang tersirat dalam pasal-pasal ekonomi konstitusi. Implikasinya, di sini diperlukan peran negara yang kuat untuk memanggul mandat konstitusi, seperti menciptakan kesejahteraan umum, pembukaan lapangan kerja yang layak, dan menyantuni golongan ekonomi lemah (fakir dan miskin). Kedua, kaum developmentalisme yang berorientasi kepada pencapaian target-target ekonomi yang pragmatis, seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan modernisasi ekonomi; tanpa terlalu dibebani dengan ideologi yang ketat. Ketiga, golongan yang hendak menyatukan ekonomi nasional dengan langgam ekonomi internasional agar tujuan ekspansi ekonomi terwujud. Aliran modal, barang/jasa, manusia, dan yang lain harus dibuka sehingga kegiatan ekonomi menjadi tidak punya bendera.
Medium Koalisi
Meskipun agak samar dan masih cenderung sloganistik, sebetulnya sebagian (kecil) partai sudah menyampaikan platform ekonominya, khususnya terkait isu kemandirian/ kedaulatan ekonomi dan pengelolaan SDA. Bahkan, juga ada parpol yang memproklamasikan diri sebagai “Green Partyâ€. Namun, belum ada satupun parpol yang hingga kini membuat naskah ekonomi secara utuh dan disampaikan kepada publik. Sebagian besar parpol malah terkesan tidak memiliki gagasan ekonomi sama sekali, sehingga yang diketahui warga sebatas persaingan perebutan ketua umum, penentuan calon anggota legislatif, dan kemeriahan kampanye pilkada. Oleh karena itu, sangat mendesak bagi parpol segera membuat dan menyampaikan gagasan ekonominya sebagai instrumen transaksi kepada pemilih. Secara lebih substantif, platform ekonomi seharusnya menjadi salah satu tiang penyangga koalisi, sehingga ketika berkuasa tidak terjadi friksi formulasi kebijakan ekonomi seperti yang dipraktikkan sekarang.
Sebagai langkah awal, beberapa isu strategis ekonomi yang perlu dieksplorasi dan menjadi pembeda “jenis kelamin†antarparpol adalah: (i) distribusi aset produktif (modal dan lahan/reforma agraria); (ii) kebijakan pajak dan pengelolaan APBN; (iii) kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam/SDA; (iv) pembagian peran antarpelaku ekonomi, khususnya BUMN dan koperasi; dan (v) liberalisasi ekonomi (di sektor perdagangan, investasi, keuangan, dan lain-lain). Terhadap isu-isu strategis itu tiap parpol wajib menunjukkan jati dirinya secara tegas, jelas, dan detail sehingga masing-masing warga mempunyai pemahaman yang sama ketika membacanya. Dengan jalan ini, parpol memiliki intrumen untuk menemui konstituen, warga punya pilihan untuk menentukan preferensi politiknya, dan parlemen memiliki instrumen untuk mengawasi (koalisi) parpol yang merebut kekuasaan (eksekutif). Mekanisme ini memungkinkan kehidupan politik menjadi sehat karena setiap dusta bisa dilihat dengan terang-benderang.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef