Oleh para penggagasnya, globalisasi dan liberalisasi ekonomi diterima sebagai instrumen untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara efisien. Alokasi tersebut bukan saja terjadi di dalam suatu negara, tetapi melintasi sekat-sekat negara (internasional). Sehingga, dengan pola pikir itu kesejahteraan ekonomi tidak hanya terjadi di negara maju, namun juga bersemayam di negara-negara berkembang. Setelah hampir tiga dekade proses liberalisasi itu berjalan (secara formal sejak 1994), sebagian jejak dari liberalisasi itu dapat dilacak sekarang. Indonesia, yang sejak awal masuk dalam gerbong negara yang sepakat dengan liberalisasi, merupakan tempat analisis yang cukup baik untuk melihat bagaimana kemanfaatan liberalisasi. Celakanya, data-data yang tersedia mengikhtisarkan betapa gurita asing dalam perekonomian nasional semakin besar sehingga benefit dari liberalisasi lebih banyak hanya di atas kertas. Bagaimanakah hal ini mesti disikapi?
Gurita di Sektor Keuangan
Sektor keuangan merupakan pilar terpenting perekonomian suatu negara karena berfungsi seperti jantung yang mengalirkan dana ke investor (sektor riil). Salah satu sektor keuangan terpenting di Indonesia adalah perbankan karena sebagian besar investasi bersumber dari situ (perbankan). Hingga kini perbankan masih menjadi sumber utama penopang sistem keuangan negara, di mana 80% struktur pasar keuangan di Indonesia masih didominasi oleh perbankan (Bank Indonesia, 2007). Oleh karena itu, struktur pasar dari sistem keuangan lainnya, baik yang dalam bentuk bank perkreditan rakyat maupun lembaga keuangan non bank (seperti pegadaian, lembaga pembiyaan, dana pensiun, sekuritas, dan asuransi), sangat terbatas. Sayangnya, dalam satu windu terakhir, struktur pasar perbankan nasional mulai dimasuki oleh asing. Bahkan dari waktu ke waktu penetrasi asing dalam sektor perbankan tersebut semakin agresif sehingga perlu diwaspadai.
Sampai dengan 2005, jumlah bank asing yang menjalankan aktivitas usahanya di Indonesia, baik melalui kepemilikan langsung maupun tidak langsung, sebanyak 20 bank atau mencapai 40% dari total bank yang ada di Indonesia. Jumlah bank asing di Indonesia ini jauh di atas rata-rata jumlah bank asing di negara berkembang yang hanya sekitar 8 bank di setiap negara. Brazil merupakan negara berkembang dengan jumlah bank asing terbanyak di dunia, yakni sejumlah 56 bank. Kemudian secara berturut-turut disusul oleh Panama, Polandia, Rusia, Uruguay, Mexico, Argentina, dan Hungaria, di mana jumlah bank asing yang ada di negara tersebut masing-masing adalah 43, 34, 28, 25, 24, 23, dan 21 bank. Deskripsi ini memastikan bahwa Indonesia merupakan negara berkembang di kawasan regional Asia Tenggara dengan jumlah bank asing terbanyak. Sebagai gambaran, di Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand jumlah bank asingnya secara berurut-turut hanya sejumlah 13, 8, 4, dan 3 bank (Van Horen, 2007).
Di luar perbankan, sektor keuangan lain yang juga bertendensi adanya lonjakan penetrasi asing adalah pada SBI (Sertifikat bank Indonesia), SUN (Surat Utang Negara), dan saham. Sampai dengan 2007, tidak kurang dari Rp 45 triliun dana asing yang diparkir dalam SBI. Jumlah itu sekitar 20% dari total dana SBI. Sedangkan dana asing dalam bentuk SUN lebih besar lagi, mencapai Rp 77 triliun. Sementara itu, perdagangan saham yang dikuasai asing berjumlah sekitar Rp 5,67 triliun. Dengan protofolio seperti itu, maka bisa dikatakan seluruh sektor keuangan di Indonesia sudah dimasuki oleh pihak asing dengan derajat yang cukup besar. Apabila ini ditambah dengan gurita asing dalam sektor bisnis (perdagangan), maka kondisinya kian mencengangkan. Sekadar contoh, empat perusahaan telekomunikasi nasional yang sangat besar sebagian sahamnya sudah dimiliki asing, seperti Indosat (42%), Telkomsel (35%), Exelcomindo Pratama (27,3%), dan Lippo Telecom (51%).
Sektor Migas dan Pertambangan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) terpenting di dunia. Sektor migas dan pertambangan merupakan sebagian dari kekayaan SDA yang dipunyai Indonesia. Namun, seperti halnya di sektor keuangan dan bisnis, hampir semua pertambangan besar yang beroperasi di Indonesia dimiliki oleh asing, seperti PT Freeport yang mengeksplorasi emas dan tembaga di Papua. Pola di sektor pertambangan ini juga terjadi dalam eksplorasi migas di Indonesia, di mana pemerintah lebih memilih posisi sebagai pemilik, sedangkan pelaksananya (operatorship) dipegang oleh perusahaan asing. Konkretnya, pada 2005 dari 1,09 juta barel/hari tersebut, cuma sekitar 13% (130 ribu barel/hari) yang diproduksi oleh Pertamina. Produksi minyak tersebut sebagian besar dieksplorasi oleh korporasi lain yang dimiliki oleh asing. Hal yang sama juga terjadi pada produksi gas di Indonesia, di mana asing merupakan eksplorator besar gas di Indonesia. Pertamina sendiri hanya memproduksi 830 juta kaki kubik/hari, atau setara dengan 11,7%.
Data-data di atas mencerminkan betapa rapuhnya kemandirian ekonomi nasional karena eksistensi pihak asing yang kian besar dalam perekonomian domestik. Sulit untuk meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor sebagai wujud dari peningkatan kesejahteraaan ekonomi masyarakat, karena sebagian dari pendapatan itu sebetulnya adalah milik asing. Oleh karena itu, telah tiba waktunya untuk memikirkan desain pembangunan yang lebih mementingkan pelaku ekonomi domestik dan prakarsa lokal sebagai pengungkit kegiatan ekonomi. Hasil dari proses pembangunan ekonomi itu mungkin saja tidak setinggi dan secepat apabila mengandalkan pelaku asing, tetapi manfaatnya pasti jauh lebih dirasakan oleh masyarakat. Bahkan untuk sumber daya ekonomi yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat, konstitusi kita secara jelas mengamanatkan SDA tersebut bagi kesejahteraan rakyat dan bukan menjualnya secara murah kepada asing.
Seputar Indonesia, 17 Maret 2008
*Ahmad Erani Yustika, PhD Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi FE Unibraw