Publikasi terbaru yang dilansir oleh IFC (International Finance Corporation) menyebutkan peringkat kemudahan bisnis (doing business) Indonesia merosot dari urutan 127 (2007) menjadi 129 pada tahun ini (dari 181 negara yang disurvei). Seperti biasa, laporan itu akan menjadi panduan bagi para investor (khususnya asing) untuk menentukan investasi pada tahun depan (2009). Hal ini bisa terjadi karena pada dasarnya seluruh investor (asing) memiliki informasi yang tidak lengkap (incomplete information) terhadap potensi investasi di suatu wilayah, meskipun sebenarnya informasi pada era sekarang sudah dipasok dengan sangat lengkap. Dalam situasi seperti itulah, mereka membutuhkan informasi yang akurat dari lembaga yang memiliki kredibilitas, semacam IFC. Jadi, publikasi IFC tersebut dalam derajat tertentu merupakan berita buruk bagi masa depan kegiatan investasi Indonesia, khususnya pada 2009.
Klarifikasi Investasi
Secara metodologis, kritik terhadap laporan yang dibuat oleh IFC sebenarnya juga sangat banyak, salah satunya karena variabel yang digunakan kerap berubah-ubah. Namun, jika diambil dari sisi positif, publikasi tersebut setidaknya bermanfaat untuk melihat posisi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Artinya, dengan mempertimbangkan variabel yang sama, posisi Indonesia secara kompatibel dapat dikomparasikan dengan negara lain, utamanya negara-negara tetangga. Pada poin inilah kita bisa melihat secara jernih betapa ketertinggalan kemudahan bisnis Indonesia sangat jauh dari Thailand dan Malaysia yang masing-masing mendapatkan nomor urut 13 dan 20. Dengan begitu, dibandingkan dengan dua negara tetangga tersebut, yang sebetulnya relatif mempunyai problem dan sumber daya (ekonomi dan manusia) yang sama, posisi Indonesia sudah jauh kedodoran. Implikasinya, kegiatan investasi nasional-yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi-akan kian tertinggal.
Potret masalah kemudahan bisnis di Indonesia tersebut sebenarnya sudah diketahui dengan baik, yakni soal infrastruktur, birokrasi, kepastian usaha, dan ketenagakerjaan. Namun, jika ingin lebih diperas lagi, soal yang paling krusial adalah ketersediaan infrastruktur ekonomi dan dukungan birokrasi (di antaranya lewat prosedur perizinan yang sederhana dan pasti). Sayangnya, pada dua aspek itu kemajuan yang diperoleh Indonesia sangat lambat, kalau tidak bisa dikatakan tinggal di tempat. Dua kali diselenggarakan infrastructure summit dengan hasil begitu banyak persetujuan investasi yang akan dilakukan, tetapi eksekusinya nyaris nol persen hingga kini. Dalam kasus infrastruktur ini (misalnya jalan, pelabuhan, dan listrik), persoalannya bukan sekadar keterbatasan anggaran pemerintah, tetapi juga kelangkaan kemampuan pemerintah untuk mengawal persetujuan menjadi realisasi investasi. Pola yang sama juga terjadi dalam keterlambatan penyederhanaan perizinan penanaman modal.
Masalahnya, apakah situasi yang sedemikian muram itu lantas menjadi warta kematian bagi ekonomi nasional? Di sini ada hal yang perlu diperjelas dan diklarifikasi terhadap persoalan investasi itu sendiri. Jika yang dimaksud investasi selalu berkonotasi dengan kegiatan penanaman modal berskala besar (dari segi modal/teknologi) dan berasal dari asing, maka laporan IFC tersebut memang menjadi horor bagi perekonomian nasional.
Namun, apabila makna investasi juga dilihat sebagai kegiatan penanaman modal yang bisa dilakukan dalam skala kecil, menggunakan sumber daya ekonomi domestik, dan pelaku ekonomi lokal, maka tidak lantas survei IFC itu menjadi masalah besar bagi ekonomi nasional. Jika investasi dimengerti lewat model yang terakhir itu, maka kegiatan penanaman modal tetap bisa berkembang walaupun tanpa dukungan dari kegiatan ekonomi skala besar/global. Tentu saja, bukan berarti pemerintah tidak memiliki amanat lagi untuk memperbaiki iklim bisnis tersebut.
Investasi Lokal
Kegiatan investasi di sektor perkebunan barangkali dapat menjadi ilustrasi yang baik untuk menggambarkan struktur penanaman modal di Indonesia. Investasi komoditas minyak kelapa sawit (CPO), karet, atau kakao menjadi cermin yang baik bahwa yang dikembangkan oleh pemerintah adalah investasi kakap dengan modal yang besar (estate). Penguasaan lahan yang dimiliki oleh korporasi besar itu mencakup ratusan ribu (bahkan jutaan) hektar. Implikasinya, hanya pemodal besar domestik dan asing yang sanggup untuk masuk dalam kegiatan tersebut. Tepat pada tujuan tersebut pemerintah memberikan fasilitas yang begitu besar agar investor kakap mau masuk ke Indonesia. Dampaknya, pelaku ekonomi skala kecil (lokal/domestik) tidak memiliki ruang untuk berinvestasi karena penetrasi perusahaan besar yang begitu dominan. Tidak mengherankan apabila kini ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan di Indonesia sudah mencapai 0,7 (gini rasio).
Investor besar itulah yang selama ini sangat sensitif terhadap laporan semacam IFC dan sangat manja dengan fasilitas pemerintah, sehingga mungkin saja publikasi IFC akan mengurangi minat investor besar/asing untuk masuk ke pasar investasi Indonesia. Namun, tepat pada titik inilah potensi itu meruap, yakni saatnya pemerintah memberi jalan kepada pelaku ekonomi dan sumber daya lokal untuk berkiprah dalam kegiatan investasi. Jika kegiatan investasi di sektor perkebunan, misalnya, dilakukan oleh para petani dengan rata-rata kepemilikan lahan sekitar 5 hektare, maka dipastikan akan menimbulkan efek multiplikasi yang sangat besar, baik terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan masyarakat (petani). Pola seperti ini bisa ditransfer ke sektor (subsektor) lainnya sehingga menjadi desain umum investasi di Indonesia, walaupun tentu ada perkecualian pada sektor-sektor tertentu. Jadi, sudah saatnya kita berdiri di atas pelaku dan sumber daya ekonomi lokal.
Bisnis Indonesia, 24 September 2008
Direktur Eksekutif Indef,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya