Gustav Papanek kembali ke Indonesia dan menyiarkan kabar penting soal ekonomi nasional. Ekonom senior ini mengingatkan lagi isu lama yang relevan bagi Indonesia: kegentingan menciptakan lapangan kerja. Kita dengan mudah menyepakati gagasan ini karena sederet data bisa dibuka demi memerkuat argumen tersebut. Namun, Gustav –Presiden Boston Institute for Developing Economies- menambahkan prasyarat agar penciptaan lapangan kerja itu bisa dibuka seluas-luasnya: pertumbuhan ekonomi tinggi, bila perlu dua digit (Kompas, 13/3/2014). Pada titik inilah debat akademik bisa dibuka dan tiap argumen dapat diuji. Realitas ganjil yang berlangsung, “berhala†pertumbuhan ekonomi telah berkuasa 60 tahun, namun memberi bukti yang rapuh untuk memastikan urusan penciptaan lapangan kerja (apalagi kesejahteraan semesta) bisa tercapai. Alih-alih pertumbuhan ekonomi menjadi eskalator kemakmuran, yang terjadi belakangan malah memuntahkan penyakit sosial-ekonomi yang kronis.
Perangkap Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi bekerja dengan logika berikut: ekonomi berkembang apabila ada peningkatan output (barang dan jasa). Peningkatan output hanya terjadi bila terdapat investasi yang terus-menerus, baik lewat ekspansi maupun investasi baru. Investasi memerlukan modal, sehingga tabungan di sektor keuangan (misalnya bank) mesti dipupuk sebagai alas investasi. Rostow, ekonom yang berkibar pada dekade 1960-an, bahkan memberi target yang jelas: ekonomi bisa tinggal landas bila tingkat investasi minimal terpenuhi. Jika tabungan domestik tak cukup memenuhi kebutuhan investasi, maka diperlukan dua hal berikut: mendatangkan PMA (penanaman modal asing) dan utang luar negeri. Investasi inilah yang memiliki dua sisi mata uang. Pada sisi pasokan menciptakan output dan pada sisi permintaan membuka lapangan kerja. Jadi, investasi merupakan tulang punggung pencapaian pertumbuhan ekonomi. Hampir semua negara berkembang mengikuti fatwa ini tanpa perkecualian, termasuk Indonesia.
Tentu saja sumber pertumbuhan ekonomi bukan hanya investasi. Dalam konsep ekonomi standar, pendapatan nasional ditopang (selain investasi) oleh belanja pemerintah, konsumsi rumah tangga, dan perdagangan (ekspor-impor). Tapi, jika dikuliti lebih dalam, ketiga variabel itu tak bisa lepas dari investasi. Belanja pemerintah umumnya bersumber dari pajak dan pendapatan bukan pajak. Penerimaan pajak dan non-pajak hanya bisa dikoleksi bila dunia usaha eksis dan tenaga kerja (TK) memiliki pendapatan. Demikian pula, perdagangan tak akan pernah ada bila barang dan jasa tidak diproduksi. Seluruh sirkulasi ini, sekali lagi, hulunya adalah investasi. Dengan begitu, nalar sederhana pasti menyepakati bahwa pertumbuhan ekonomi bersandar kepada investasi. Jika pertumbuhan ekonomi ingin digenjot, maka investasi harus diperbesar; demikian sebaliknya. Pertanyaannya, apabila pertumbuhan ekonomi meningkat apakah selalu akan memperbesar lapangan kerja?
Fakta global menunjukkan bukti-bukti berikut ini. Pertama, seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi elastisitas penciptaan lapangan kerja makin menurun. Investasi digeber dengan pertumbuhan yang tinggi tiap tahun, tapi pengangguran tidak bisa dikurangi, bahkan bertambah. Di Indonesia kualitas lapangan kerja malah kian memburuk. Kedua, pertumbuhan ekonomi makin menegaskan dualisme ekonomi antara sektor modern (formal) dan tradisional (informal) sehingga teori yang digagas oleh Boeke pada awal 1900-an seakan menjadi frasa abadi. Ketiga, liberalisasi ekonomi yang diharapkan meningkatkan intensitas investasi agar pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi justru melemparkan manusia dari akses ekonomi, termasuk terhadap lapangan kerja. Keempat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi makin akrab dengan disparitas pendapatan (kemakmuran). Hari ini nyaris tak ada negara yang bisa keluar dari perangkap pertumbuhan itu dan Indonesia adalah sampel yang sempurna.
Penumpukan Sektor Informal
Pada kasus Indonesia, empat fakta di atas dapat dijabarkan berikut. Berturut-turut pertumbuhan ekonomi pada 2008 (6%), 2009 (4,6%), 2010 (6,1%), 2011 (6,5%), dan 2012 (6,7%). Pada 2008 tercipta lapangan kerja baru sebanyak 2,6 juta; 2009 (2,3 juta); 2010 (3,3 juta); 2011 (1,4 juta); dan 2012 (1,1 juta). Dengan data tersebut, berarti pada 2008 tiap 1% pertumbuhan ekonomi membuka lapangan kerja sebanyak 433 ribu. Seterusnya, dengan kalkulasi yang sama pada 2009 tercipta 500 ribu lapangan kerja, 2010 (540 ribu), 2011 (215 ribu), dan 2012 (164 ribu). Jadi elastisitas penciptaan lapangan kerja memburuk padahal nilai rasio investasi terhadap PDB terus meningkat, yakni 2008 (27,1%); 2009 (31,1%); 2010 (32,1%); 2011 (32,0%); dan 2012 (32,6%) [BI, diolah]. Dari data ini tak dapat diambil kesimpulan yang meyakinkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pasti menciptakan lapangan kerja yang besar. Bahkan, rasio investasi terhadap PDB berbanding terbalik dengan produksi lapangan kerja baru.
Berikutnya, pemisahan antara sektor pertanian (tradisional) dan industri/jasa (modern) makin kasat mata. Pada saat pertumbuhan ekonomi berjalan kencang, pertumbuhan sektor pertanian kian tertinggal. Selama lima tahun terakhir, paling tinggi pertumbuhan sektor pertanian hanya di kisaran 3%, padahal pertumbuhan ekonomi sempat mencapai level 6,7% (2012). Sektor jasa dan industri padat modal tumbuh menjulang tapi tak tersambung dengan sektor pertanian. Sektor industri dan jasa itu tumbuh ditopang oleh input impor sehingga tidak dapat menyeret kemajuan di sektor tradisional. Kedalaman intensitas involusi di sektor pertanian tidak bisa dihentikan sehingga para pelakunya hijrah ke kota sebelum waktunya (urbanisasi prematur). Di perkotaan mereka tidak bisa masuk ke sektor formal (industri/jasa) karena keterampilannya tidak selaras dengan kebutuhan. Hasilnya, TK menumpuk di sektor informal, yang pada Februari 2013 jumlahnya 60% dari total pekerja (BPS, 2013).
Liberalisasi ekonomi merupakan ikhtiar lama, yang baru bergeliat pada dekade 1980-an. Indonesia sendiri mengadopsi secara kaffah sejak 1998 setelah ditampar krisis ekonomi. Investasi asing kian membanjiri pasar domestik karena jaring penahan dibuka satu demi satu. Saat ini nyaris semua sektor boleh dimasuki oleh investasi asing, bahkan untuk investasi skala kecil. Pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8% tiap tahun, berbanding pertumbuhan 31% untuk pasar modern (AC Nielson, 2007). Ini contoh pelaku ekonomi yang tercampakkan dari akses lapangan kerja akibat liberalisasi ekonomi. Pada level global, survei yang dilakukan oleh lembaga Komisi Dunia tentang Dimensi Sosial Globalisasi (yang merupakan organisasi di bawah ILO) terhadap 73 negara menyatakan selama kurun waktu 1990 – 2002 justru terjadi peningkatan pengangguran yang sangat signifikan (pengecualian untuk hal ini adalah Asia Selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa) [Stiglitz, 2006].
Terakhir, disparitas pendapatan adalah rasa perih yang paling berat ditanggung rakyat setelah dihajar perkara penciutan lapangan kerja. Kombinasi investasi yang bersumber dari utang luar negeri dan PMA membuat pertumbuhan tinggi nisbahnya tidak jatuh ke pelaku ekonomi yang seharusnya dibela. Kenaikan pendapatan nasional sebagian (besar) milik negara lain karena mereka pemilik investasi. Pada 2012, misalnya, sumbangan PMA 72,95% dari total investasi (BKPM, 2012). Selanjutnya, nilai investasi di sektor primer hanya 21,4% (PMA) dan 13,1% (PMDN) dari total investasi. Sebaliknya, di sektor sekunder 49,8% (PMA) dan 69,4% (PMDN), serta di sektor tersier 28,6% (PMA) dan 17,3% (PMDN). Investasi di sektor sekunder dan tersier umumnya dipasok oleh sumber pertumbuhan baru, yaitu inovasi dan pengembangan teknologi. Tentu ini tak selamanya salah, karena ekonomi juga butuh nilai tambah. Namun, jika tak dilakukan secara hati-hati, maka korbannya adalah penciutan lapangan kerja dan ketimpangan.
Melumpuhkan Paradoks
Kembali kepada ide Gustav Papanek, sepenuhnya ikhtiar pembukaan lapangan kerja mesti didukung, tapi tak seharusnya persyaratan pertumbuhan ekonomi tinggi diperlukan. Data spesifikasi TK, karakteristik sektor ekonomi, dan potensi sumber daya harus dikenali sehingga dapat dilakukan perencanaan investasi yang masuk akal. Selama ini kalkulasi yang solid tak pernah dihitung, misalnya jika investasi dilakukan di sektor pertanian yang berbasis komunitas dengan tambahan luas lahan 1 juta hektar, maka berapa banyak lapangan kerja baru dibuka dan kapital yang dibutuhkan. Saat ini kita butuh sekurangnya 70 juta lapangan kerja yang bermutu (untuk memindahkan pekerja sektor informal, penganggur, dan kelompok miskin). Dengan model pertumbuhan seperti sekarang, tugas maha berat ini tak akan selesai selama 25 tahun. Oleh karena itu, penguasaan data secara detail mesti dipunyai dan keberanian keluar dari dogma lama harus diikrarkan. Jika tidak, usia siksaan akan bertambah panjang.
Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi tinggi? Jika hakikat pembangunan adalah partisipasi, pemberdayaan, dan keberlanjutan, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi kerap kali justru memunggungi tujuan dimaksud. Jika investasi besar-besaran perkebunan diserahkan hanya kepada korporasi kakap, maka pertumbuhan ekonomi mungkin tergapai, namun tujuan fundamental bagi hajat hidup orang banyak tidak bisa diselenggarakan, bahkan sebagian akan terhempas dari nafkahnya. Jika jutaan hektar lahan itu dikerjakan oleh komunitas, yang terdiri dari para petani kecil, maka mereka akan masuk ke sistem ekonomi secara utuh. Jadi, di sini isunya bukan sekadar penciptaan lapangan kerja, tapi aset dan sarana produksi juga harus jatuh kepada warga. Model ini tentu tak menjanjikan kemewahan pertumbuhan (yang ilusif), tapi memastikan setiap orang berjalan dengan kepala tegak sebab investasi tidak memproduksi paradoks: penciutan lapangan kerja, dualisme ekonomi, tercerabut dari arena ekonomi, dan disparitas antargolongan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef