Akhir pekan lalu, IMF (International Monetary Fund) telah memilih “jenderal” baru untuk memimpin lembaga tersebut, yakni Dominique Strauss-Kahn. Mantan Menteri Keuangan Perancis tersebut dikenal sebagai salah satu tiang pemikir ekonomi sosialis di Eropa, khususnya di Perancis. Inilah yang membuat terpilihnya Strauss-Kahn menjadi berita besar, mengingat IMF merupakan lembaga multilateral yang menjadi sponsor utama (selain Bank Dunia) ekonomi liberal/pasar. Di luar negara-negara Eropa, terpilihnya Strauss-Kahn juga berkat dukungan dari negara berkembang yang selama ini menjadi korban dari kebijakan IMF, seperti Brazil, Mozambik, dan Afrika Selatan. Dukungan negara-negara tersebut secara eksplisit menunjukkan keinginan negara berkembang untuk mengubah haluan IMF, yang selama ini secara telanjang menjadi pemasok ide pasar bebas. Soalnya, mampukah Strauss-Kahn mewujudkan harapan itu di tengah hegemoni negara maju yang begitu eksesif di IMF?
Empat Tonggak IMF
Sejarah IMF yang kini telah berumur 63 tahun sebetulnya bisa dicatat dengan banyak peristiwa penting. Namun, dari sekian banyak kejadian penting itu sekurangnya terdapat empat tonggak yang laik diungkap (The IMF Story, 2004). Pertama, pada tahun 1967 IMF menyetujui rencana penciptaan SDRs (special drawing rights), yakni sebuah bentuk baru aset cadangan international, untuk mendukung kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Rencana ini diimplementasikan pada 1969 dan menjadi kebijakan umum penerapan nilai tukar di negara-negara anggota IMF. Kedua, pada 1974 dilakukan upaya pembalikan kebijakan nilai tukar ketika kelompok 20 negara maju (yang dikenal dengan nama Committee on Twenty) menyepakati untuk memberlakukan kebijakan nilai tukar mata uang mengambang (floating exchange rate). Selanjutnya, kebijakan inilah yang menjadi desain utama kebijakan IMF saat menjadi penasihat negara-negara yang mengalami krisis ekonomi.
Ketiga, tahun 1986 IMF mendesain fasilitas penyesuaian struktural (structural adjustment facility) yang bertujuan memerbaiki neraca pembayaran (balance of payments) negara-negara berkembang/miskin. Kebijakan ini, di bawah penguatan Perjanjian Plaza (Plaza Agreement) 1985 dengan prakarsa negara-negara kaya yang tergabung dalam G-7, merekomendasikan penggunaan kebijakan nilai mata uang mengambang sebagai pilar stabilisasi perekonomian domestik. Keempat, tahun 1997/1998 IMF memasuki wilayah permainan baru perekonomian dunia setelah terjadi krisis ekonomi, terutama di kawasan Asia. Secara intensif IMF memberikan transfer dana ke negara-negara yang terkena krisis, sambil saat yang bersamaan menyodorkan sekian banyak resep pemulihan ekonomi. Domain resep ekonomi IMF itu tidak lain adalah perlunya penggunaan nilai tukar mengambang, privatisasi, likuidiasi perbankan, peningkatan suku bunga, dan pembukaan akses pasar.
Empat peristiwa di atas dapat menjadi rujukan tentang perubahan kebijakan IMF yang cenderung menafkahi ide liberalisasi. Awalnya, IMF masih percaya dengan peran negara untuk menata perekonomian, di antaranya ditunjukkan oleh persetujuannya untuk memakai kebijakan nilai tukar mata uang tetap pada 1967. Namun, akibat desakan negara-negara maju, tidak lama kemudian keyakinan itu pudar dan digantikan oleh kepercayaan terhadap ide pasar bebas. Meskipun ide pasar bebas sendiri cukup solid secara akademik (tetapi secara empiris sangat sumir), namun harus dipahami bahwa operasionalisasi pasar butuh beberapa prasyarat sehingga bisa bekerja dengan baik. Inilah yang tidak disadari oleh IMF, sehingga begitu rekomendasi kebijakan diamalkan justru terjadi kerusakan yang kian parah di negara-negara berkembang. Inilah yang terjadi di Meksiko (1982), Indonesia (1997/1998), dan Argentina (2001). Negara-negara itu sekarat karena dipaksa menelan obat IMF secara bulat-bulat.
Agenda di Bawah Strauss-Kahn
Secara paradigmatik kita boleh optimis dengan IMF di bawah Strauss-Kahn karena pemikirannya yang tidak membabi buta terhadap pasar bebas. Strauss-Kahn boleh dibilang sukses menangani perekonomian Perancis ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan, walaupun hanya dalam kurun waktu dua tahun (1997-1999). Periode itu merupakan saat yang genting dalam ekonomi Eropa ketika ada upaya penyatuan mata uang baru (Euro). Di situlah Strauss-Kahn menunjukkan kapabilitasnya untuk melakuan diplomasi di kawasan Eropa sehingga negara-negara lain, termasuk Perancis sendiri, mau menyatukan mata uangnya. Di dalam negerinya, Strauss-Kahn sukses menangani anggaran negara yang sempat jeblok (deficit budget) di tengah situasi pengangguran yang mencekam. Itu semua dilakukan Strauss-Kahn tidak dengan memotong subsidi atau menjual BUMN (seperti yang biasa direkomendasikan IMF), namun memerbaiki tata kelola (kelembagaan) keuangan negara.
Tetapi, mengandalkan semata kepada daya dobrak pemikiran Strauss-Kahn tentu saja tidak cukup untuk mengubah IMF karena aransemen kelembagaan internal yang tidak adil. Saat ini AS menguasai hak suara sekitar 16% dan Uni Eropa memiliki hak suara 32%, padahal anggata IMF sebanyak 184 negara. Porsi itu bisa dimengerti karena dulu saat awal berdiri AS memiliki sumbangan sekitar 22% ekspor dunia dan menggenggam 54% cadangan aset internasional (Boughton, 2004). Sekarang, postur ekonomi itu sudah berubah karena Jepang, China, dan India (di luar Eropa) menjadi kekuatan ekonomi riil dunia, baik dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor maupun aset yang dimiliki. Jadi, selama struktur hak suara itu tidak berubah, sangat gampang bagi negara maju (seperti AS dan Eropa) untuk memveto kebijakan Strauss-Kahn yang dianggap merugikan kepentingan negara maju. Tentunya, kita berharap Strauss-Kahn bisa menjadi kuda troya yang sanggup mendobrak ketidakdilan di tubuh IMF, meskipun tugas itu sungguh sulit dan rumit.
Jawa Pos, 4 Oktober 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw