Dewan Eksekutif IMF telah memilih Christine Madeleine Odette Lagarde (Menteri Keuangan Perancis) untuk memimpin lembaga moneter internasional tersebut menggantikan Dominique Strauss-Kahn. Meskipun sebelum menjabat Direktur Pelaksana (Managing Director) IMF keduanya pernah menjabat Menteri Keuangan Perancis, namun latar belakang mereka sangat berbeda. Lagarde menghabiskan sebagian besar karirnya sebagai pengacara di firma kesohor (Baker & McKenzie) di AS. Sementara itu, Strauss-Kahn merupakan ekonom kiri kelas satu di Eropa, yang gagasan-gagasan strukturalnya sangat berpengaruh, khususnya di Perancis. Dengan latar belakang yang berbeda tersebut, tentu visi yang akan dipakai memimpin pasti juga berlainan. Lagarde sendiri menjadi nahkoda baru IMF setelah sukses menekuk Agustin Carstens, kandidat kuat dari Meksiko, yang sebelumnya justru memiliki pengalaman karir di IMF.
Sumbangan Strauss-Kahn
Sejak Strauss-Kahn memimpin IMF akhir 2007 lalu, sebetulnya sudah banyak perubahan pemikiran yang berkembang di IMF untuk mereformasi cara pandang lembaga itu terhadap persoalan ekonomi global. Selama ini IMF dikenal sebagai lembaga multilateral berpengaruh (bersama Bank Dunia) yang menjadi sponsor liberalisasi ekonomi. Oleh karena itu, setiap terjadi krisis ekonomi, resep yang ditawarkan IMF kepada negara pasien tidak jauh dari program pengetatan anggaran, liberalisasi sektor keuangan, dan privatisasi. Persyaratan-persyaratan itu harus dijalankan secara ketat oleh negara bersangkutan jika kucuran dana ingin cepat didapat. Indonesia juga mengalami itu pada krisis hebat 1997/1998, di mana sekian banyak klausul letter of intent (LoI) harus ditandatangani pemerintah demi mendapatkan dana bantuan dari IMF. Implikasinya, perekonomian Indonesia menjadi sangat terbuka dan bebas, persis seperti yang dikehendaki IMF dan Bank Dunia.
Di bawah kepemimpinan Strauss-Kahn, sedikit demi sedikit stereotip kebijakan ekonomi itu diganti dengan ide yang lebih “strukturalisâ€. Salah satu contoh yang amat nyata adalah dukungan IMF kepada negara-negara berkembang memberlakukan kebijakan kontrol modal (capital control) agar negara tersebut tidak terombang-ambing dalam pusaran krisis ekonomi (yang bersumber dari eksternal). Saat saya melakukan pertemuan dengan pejabat IMF di markas mereka (Washington D.C) pada awal Desember 2010 lalu, mereka menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan kontrol aliran modal asing untuk menghindari jebakan krisis ekonomi yang bersumber dari problem nilai tukar. Sulit dibayangkan ide seperti itu muncul dari IMF sebelum kepemimpinan Strauss-Kahn, karena IMF justru menjadi sponsor gagasan kebebasan aliran modal. Sayangnya, hingga kini pemerintah masih mengamalkan ramuan kuno IMF tersebut.
Tentu saja, mengandalkan semata kepada daya dobrak pemikiran Strauss-Kahn tidak cukup untuk mengubah IMF karena aransemen kelembagaan internal yang tidak adil. Saat ini AS masih menguasai hak suara sekitar 16% dan Uni Eropa memiliki 32%, padahal anggata IMF sebanyak 187 negara. Tanpa ada perubahan terhadap komposisi hak suara tersebut, reformasi di tubuh IMF pasti berjalan sangat lambat. Oleh karena itu, ujian Lagarde saat ini adalah kemampuannya meneruskan reformasi pemikiran yang telah diinisiasi oleh Strauss-Kahn tersebut. Ujian tersebut langsung harus dipraktikkan ketika Yunani saat ini tengah menghadapi kemelut ekonomi yang rumit. Yunani sudah lebih setahun ini berada dalam pusaran krisis, yang celakanya hingga kini belum menerbitkan asa bagi perbaikan ekonomi. IMF oleh sebagian kalangan dituduh sebagai salah satu biangnya, karena dianggap isinya copy-paste dari formula yang mereka terapkan selama ini.