Kinerja investasi Indonesia tahun lalu merupakan berkah yang patut disyukuri. Sebab, pada saat hampir seluruh kinerja ekonomi nasional mengalami penurunan dibandingkan 2011 di tengah krisis ekonomi global, investasi justru menunjukkan pertumbuhan yang tinggi, bahkan melebihi target BKPM. Singkatnya, sepanjang 2012 investasi tumbuh luar biasa. Bisa dikatakan, investasi (dan konsumsi rumah tangga) menjadi penyelamat ekonomi nasional tahun lalu, karena pengeluaran pemerintah dan perdagangan internasional kinerjanya tidak menggembirakan. Anomali lainnya, pertumbuhan investasi tersebut terjadi pada saat daya saing nasional dan iklim investasi menurun dibanding 2011. Lantas faktor apa yang menjadi penyebabnya? Pasar yang besar, daya beli yang lumayan kuat (golongan menengah ke atas), kelimpahan sumber daya ekonomi, dan stabilitas politik yang terjaga boleh disebut sebagai penyumbang besar dari kinerja investasi tersebut.
Stabilitas Makroekonomi
Pasar yang besar masih merupakan daya tarik investasi di Indonesia, khususnya investasi asing. Dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa dan diperkirakan sebesar 60 juta di antaranya memiliki pendapatan per kapita sekitar US$ 7500, maka daya sedot ekonomi nasional sangat besar. Mereka yang memiliki pendapatan per kapita sebesar US$ 7500 itu berarti jumlahnya dua kali dari penduduk Malaysia, sehingga tidak mengherankan bila sektor industri (otomotif, elektronika, dan lain-lain) dan jasa masih menjadi incaran para investor. Di sisi lain, pasar yang besar ini juga diikuti dengan pendapatan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan PDB (produk domestik bruto). Tahun lalu pertumbuhan ekonomi sebesar 6,24%, meski agak turun dibanding 2011 yang sebesar 6,5%. Demikian pula, PDB 2012 mencapai Rp 8.242 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 7.423 triliun (Investor Daily, 6 Februari 2013).
Sumber daya ekonomi yang melimpah bisa ditelusuri dari persediaan sumber daya alam (pertanian, pertambangan, perkebunan, kelautan, dan lain-lain) yang sampai kini masih menjadi mesin penggerak ekonomi. Sektor ini masih menyumbang sekitar 17% PDB, sehingga menjadi salah satu ceruk investasi yang besar. Dalam beberapa komoditas, sumber daya alam itu juga menjadi pendorong sektor industri dan jasa yang lumayan besar, seperti industri makanan dan minuman. Beberapa pemain asing meminati subsektor industri ini karena bahan baku tersedia dan pasar juga terbuka, di samping sebagian dijual ke pasar internasional. Di sektor industri, investasi pada 2012 mencapai Rp 147,2 triliun, naik dari sebelumnya yang hanya Rp 124,6 triliun (2011). Sementara itu, di sektor pertanian investasi domestik pada 2012 turun menjadi Rp 6,31 triliun (sebelumnya Rp 9,61 triliun). Tapi, investasi asing di sektor ini naik tipis US$ 1,29 miliar (2012) dari tahun sebelumnya US$ 1,24 miliar [Investor Daily, 21/1/2013].
Stabilitas makroekonomi juga menjadi salah satu kunci dari pertumbuhan investasi. Akhir 2011 dan awal 2012 Indonesia diganjar dengan kenaikan rating investasi oleh lembaga pemeringkat internasional (Fitch dan Standard & Poor’s), yang menandakan stabilitas makroekonomi cukup kokoh. Pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, dan rasio utang (juga defisit anggaran) merupakan bagian dari faktor penopang stabilitas makroekonomi yang selama ini kinerjanya dinilai bagus. Namun, banyak pihak yang lupa bahwa kinerja stabilitas makroekonomi itu tidak bisa dilepaskan dari stabilitas politik yang relatif terjaga. Hiruk pikuk politik memang terus terjadi, tapi dalam koridor yang tak mengganggu stabilitas politik secara keseluruhan. Pemerintah dapat bekerja dengan relatif aman, meskipun tingkat efektivitas implementasi kebijakan tidak memuaskan. Jadi, stabilitas politik ini merupakan bagian vital yang sebetulnya menjadi penyangga pertumbuhan investasi juga.
Penalti Politik
Persoalannya, apakah pada 2013 ini (juga 2014 nanti) stabilitas politik bisa dipertahankan seperti tahun-tahun sebelumnya? Ini perkara yang sulit ditebak, meskipun sebetulnya kita berharap hal itu dapat dicapai. Saat ini eskalasi politik sudah mulai meluas saat pertarungan politik kian memanas. Sebagian kelompok masyarakat merasa pemerintah sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk menghela kereta republik karena indikasi korupsi yang makin membesar dan dasar-dasar ekonomi yang memburuk (misalnya ketimpangan pendapatan yang tinggi dan harga pangan yang melonjak). Isu kudeta telah muncul dalam perbincangan sehari-hari, sehingga tekanan politik menjadi lebih terasa. Apabila kudeta itu tidak terjadi, sekurangnya pemerintah tetap terganggu efektivitasnya karena pasti dihantui oleh isu tersebut. Sebaliknya, investor secara psikologis merasa ketidakpastian ada di depan mata sehingga eksekusi investasi lebih baik ditunda sambil melihat keadaan.
Sampai saat ini pandangan itu memang baru pada tahap perkiraan, belum menjelma menjadi kenyataan. Investasi tetap tumbuh dan kelihatannya belum terpengaruh terhadap isu tersebut. Sungguh pun begitu, kemungkinan itu tetap harus diwaspadai karena dua hal pokok. Pertama, koalisi pemerintah sangat tidak efektif menjaga pemerintahan ini terus bekerja sampai mandat selesai pada 2014. Partai penyokong utama pemerintah, Parta Demokrat, diguncang dengan berbagai prahara yang membuat faksi di dalamnya menjadi menguat. Sedikit “kekeliruan†dalam mengambil kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekacauan di masayarakat, misalnya kenaikan harga minyak, mudah dikapitalisasi menjadi bom politik. Kedua, krisis ekonomi global tidak kunjung membaik dan ditambah dengan prahara kenaikan harga-harga komoditas pangan membuat ketidakpuasan masyarakat terus bertambah. Sentimen ini bisa berujung kepada penalti politik yang menyakitkan.
Salah satu penyelamat penting hari ini adalah sebagian besar elite politik merasa pilihan menjatuhkan pemerintah bukan opsi yang rasional, sehingga memberi waktu pemerintah sampai 2014 merupakan pilihan yang diambil. Tapi, dalam politik tidak ada keyakinan dan keputusan yang permanen. Segalanya dapat berubah dalam hitungan hari, tak terkecuali keyakinan di atas. Oleh karena itu, jika pemerintah berharap investasi tetap berjalan dengan baik seperti yang diharapkan, maka stabilitas politik merupakan harga mati. Melihat konfigurasi di atas, hal yang laik diupayakan pemerintah agar stabilitas politik tetap terjaga adalah: Pertama, mengkonsolidasikan kekuatan politik (terutama parpol koalisi) untuk kembali kepada ikatan awal, tentu dengan pemberian “insentif†yang lebih besar ketimbang sebelumnya. Kedua, segenap daya mesti dikerahkan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan. Jika dua hal ini berhasil dilakukan, maka investasi akan aman. Sebaliknya, bila gagal bukan saja investasi akan jeblok, namun pemerintah juga akan rontok.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef