Bank Dunia kembali mengeluarkan laporan “Doing Business 2014†yang menyebutkan peringkat Indonesia sekarang berada pada urutan 120. Jika dikomparasikan dengan tahun sebelumnya, ranking itu mengalami perbaikan (dari semula 128). Namun, laporan Bank Dunia tahun lalu “yang telah disesuaikan†menempatkan Indonesia pada peringkat 116, sehingga bila data ini yang dipakai maka tahun ini posisi Indonesia menjadi lebih buruk. Dengan mengabaikan data mana yang lebih benar, pokok bahasan yang penting diulas melihat laporan terkini adalah soal rendahnya posisi Indonesia dalam peta ekonomi internasional. Di Asean, misalnya, Singapura menduduki peringkat pertama dunia, disusul Malaysia (6), Thailand (18), Brunei (59), dan Vietnam (99). Jadi, bisa dilihat betapa jauhnya kemudahan investasi Indonesia ketimbang negara-negara tetangga tersebut. Beberapa masalah yang membuat peringkat Indonesia jeblok adalah: akses listrik (121), pembayaran pajak (137), dan memulai usaha (175).
Peta Persoalan
Jika dibagi dalam dua kelompok besar, maka ada beberapa aspek yang mengalami perbaikan dibandingkan tahun lalu dan juga ada yang memburuk. Aspek yang tahun ini lebik baik ialah pelayanan kredit (naik cukup signifikan), pelayanan listrik, dan mengatasi gagal bayar. Sebaliknya, aspek yang mengalami penurunan adalah perlindungan investor, perlindungan lintas batas, perizinan konstruksi, pendaftaran properti, pembayaran pajak, pemenuhan kontrak, dan memulai bisnis. Mencermati data-data tersebut, tentu wajar apabila sebagian pihak (khususnya para pengusaha) frustrasi melihat keadaan. Serangkain kebijakan sudah dikeluarkan pemerintah, tapi hampir tidak ada jejaknya di lapangan. Sebagian kebijakan itu memang jalan, namun sangat lamban sehingga makin jauh tertinggal ketimbang negara lain. Peringkat di atas secara telanjang menunjukkan posisi Indonesia keteteran mengejar laju perbaikan di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan lain-lain.
Sekadar contoh, dalam soal perizinan konstruksi sampai tahun lalu jumlah hari yang diperlukan sampai keluar izin mencapai 158 hari (pada saat yang sama Singapura 26 hari) di Indonesia. Sementara itu, biaya yang dikeluarkan untuk izin konstruksi sebesar 95% dari PDB (di Singapura 16,7%; Malaysia 17,2%; dan Thailand 9,2%). Lamanya waktu izin konstruksi tersebut sebetulnya kurang terkait dengan jumlah prosedur yang mesti diurus karena di sini jumlahnya 13, sedangkan Singapura dan Thailand tidak terpaut jauh (masing-masing 11 dan 8 prosedur), bahkan di Malaysia sebanyak 37 prosedur (Bank Dunia-IFC, 2013). Itu artinya, masalah lama waktu itu lebih terkait efisiensi pelayanan birokrasi yang memprihatinkan. Sementara itu, mahalnya ongkos perizinan berhubungan dengan biaya legal maupun ilegal. Ini bukan merupakan rahasia lagi karena hal yang lumrah apabila pengusaha mesti menyogok agar izin cepat keluar, di mana uang pelicin itu lebih mahal ketimbang ongkos resmi.
Kasus di Malaysia itu menarik dipelajari bahwa isunya adalah kecepatan, bukan jumlah prosedur. Apabila jumlah prosedur yang menjadi tujuan, maka kerapkali ada yang dikorbankan, yaitu aspek kehatian-hatian. Aspek kehati-hatian ini penting dalam bisnis karena terdapat dimensi di luar ekonomi (misalnya sosial) yang perlu diperhatikan agar tidak menyergap dikemudian hari. Sungguh pun begitu, di Malaysia aspek kehati-hatian itu tidak lantas dikonversi menjadi lambatnya keluar izin usaha. Di sana bisa dibuktikan bahwa jumlah prosedur yang banyak (untuk memastikan segalanya dipertimbangkan secara cermat) tidak membuat keluar izin menjadi lama dan mahal. Sebaliknya, Indonesia melakukan langkah yang berbeda dengan Malaysia sehingga peringkatnya menjadi merosot. Kasus kecil semacam ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk menyususn kebijakan secara lebih detail, bukan keputusan yang serba normatif tanpa ada kejelasan ukuran pencapaian.
Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi isu sentral saat dikerjakan reformasi ekonomi sejak 1998 lalu. Artinya, saat ini telah 15 tahun dilewati tanpa hasil yang menggembirakan. Jika ditanyakan soal reformasi birokrasi sebagian orang dengan sinis akan menjawab: perbaikan remunerasi. Maksudnya, publik hanya melihat pemerintah melakukan peningkatan gaji dan insentif birokrasi untuk memerbaiki kinerjanya. Tentu kita semua paham bahwa pemrintah sebenarnya tidak mengerjakan itu saja, namun juga melaksanakan perbaikan pada aspek-aspek yang lain. Sekadar contoh, pada direktorat pajak peningkatan remunerasi juga diikuti dengan perbaikan teknologi, transparansi, dan pelayanan publik. Demikian pula untuk perizinan usaha telah dilakukan serangkaian pengurangan prosedur dan lama izin usaha. Di berbagai daerah inisiatif-inisiatif otentik muncul, seperti e-government (misalnya di Surabaya), sehingga membantu efisiensi layanan dan menutup celah korupsi.
Sungguh pun begitu, program-program yang dirancang itu belum menjadi pengarusutamaan (mainstreaming) secara nasional sehingga implikasi yang ditimbulkan sangat lemah. Dalam beberapa aspek, seiring berjalannya waktu kadang justru mengalami pemburukan (seperti yang ditulis di muka). Singkatnya, secara umum reformasi birokrasi bermasalah karena dua sebab. Pertama, pemerintah ingin masuk ke dalam banyak persoalan selayaknya organ yang mempunyai kapasitas besar (baik dalam pengertian jumlah maupun kualitas). Problemnya, kapasitas birokrasi amat rendah karena masalah rekruitmen dan penempatan yang tak bertolak dari prinsip kompetensi. Akibatnya, persoalan yang hendak diatasi tadi tak mampu diperbaiki karena defisit kecakapan. Pada konsep reformasi birokrasi, salah satu poin vital yang mesti dimengerti adalah prinsip: strong but limited government. Pemerintah cukup mengulik sebagian kecil urusan tapi dengan kemampuan yang kuat.
Kedua, reformasi birokrasi tidak dapat dicapai secara massif dan bersamaan. Di sini berlaku dalil: part partial progress. Kemajuan diukur dari perbaikan sedikit demi sedikit, namun konsisten. Jika ada kasus tahun ini lebih baik ketimbang waktu sebelumnya, tapi tahun depan kembali buruk lagi, maka konsistensi itu tidak terjadi. Problem inilah yang dialami Indonesia sehingga proyeksi terhadap perbaikan itu tidak dapat dipantulkan di masa depan. Oleh karena itu, kemajuan setahap demi setahap itu mesti didorong secara terus-menerus sehingga tolok ukur pencapaian menjadi jelas. Jika hal ini digabungkan dengan prioritas yang tidak banyak tadi (fokus), maka dalam waktu yang tak terlalu lama akan diperoleh perbaikan yang lebih bermakna. Dengan begitu, saat ini yang dibutuhkan adalah identifikasi fokus masalah yang kira-kira dapat ditangani oleh birokrasi, selanjutnya dibuat program dan ukuran perbaikan dari waktu ke waktu (tentu dengan memertimbangkan percepatan perbaikan di negara lain). Semoga rezim ini bisa mewariskan sedikit warta bahagia disisa kekuasaannya.
 *Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef