BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) telah mengumumkan kinerja investasi pada Kuartal I 2013 dengan hasil yang lumayan menggembirakan. Nilai investasi selama periode tersebut total sebesar Rp 93 triliun, dengan komposisi PMDN Rp Rp 27,5 triliun dan PMA Rp 65,5 triliun. Jika dilihat dari pertumbuhannya, maka nilai investasi itu naik 30,6% dibanding periode yang sama tahun lalu (yoy), di mana PMDN tumbuh 39,6% dan PMA 27,2%. Pada 2013 ini BKPM menargetkan nilai investasi secara keseluruhan sebanyak Rp 390,3 triliun (PMDN 117,7 triliun dan PMA Rp 272,6 triliun). Dengan begitu, capaian pada Kuartal I 2013 telah menyumbang 23,8% dari total target investasi (PDMN 23,4% dan PMA 24%). Jepang (16,3%), AS (12,6%), Korsel (11%), Singapura (8,7%), dan Inggris (7,7%) merupakan lima negara terbesar penyumbang PMA (Investor Daily, 23 April 2013). Di tengah situasi ekonomi dunia yang masih muram, pertumbuhan investasi di Indonesia yang kuat tersebut layak untuk disyukuri.
Seleksi Investasi
Melihat data di atas, terlihat Jepang kembali mengambil alih kontributor PMA di Indonesia, setelah pada bebarapa tahun terakhir posisinya digeser oleh Singapura dan China. Demikian pula, AS meningkat peringkatnya di tengah situasi krisis ekonomi yang masih melanda negaranya. Jika dirinci lebih detail lagi terdapat data sebagai berikut. Pulau Jawa masih menjadi daerah tujuan investasi yang terbesar, yakni 52,3% (sedangkan luar Jawa 47,7%). Lokasi yang paling diminati oleh PMA adalah Jawa Barat dengan total investasi sebanyak US$ 1,3 miliar, disusul Banten US$ 1,1 miliar dan Papua US$ 0,8 miliar. Dilihat dari sektornya, maka investasi asing terbesar masuk ke sektor pertambangan (US$ 1,4 miliar); industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (US$ 1,2 miliar); industri logam, mesin dan elektronika (US$ 1,0 miliar); industri alat angkutan (US$ 0,9 miliar); dan industri kertas dan percetakan (US$ 0,6 miliar). Jadi, sektor industri masih menjadi primadona PMA di Indonesia.
Kinerja investasi tersebut dalam beberapa aspek memantulkan catatan yang wajib diperhatikan pemerintah, khususnya BKPM. Pertama, peranan PMDN tergolong tidak ada peningkatan yang berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu kontribusinya hanya pada kisaran 30% dari total investasi. Disaat negara lain mencoba menambah bobot investasi domestik, bahkan juga di negara maju, maka realitas yang terjadi di Indonesia mesti disikapi dengan serius oleh pemerintah. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan harus ada penargetan yang terukur agar sumbangan PMDN mencapai 50% dari total investasi. Kedua, dominasi Jawa masih belum bisa digeser dari lokasi favorit investasi sehingga makin menyulitkan upaya pemerataan pembangunan antarwilayah. Di samping itu, beban sosial-ekonomi-lingkungan Pulau Jawa juga kian berat sehingga mengganggu upaya penciptaan kualitas hidup yang lebih berkualitas. Pekerjaan rumah ini mesti diprioritaskan pemerintah.
Menyangkut lokasi investasi yang terkonsentrasi di Jawa, sebagian tentu bersumber dari sarana infrastruktur dan kawasan industri yang terkumpul di Jawa. Lima kawasan industri yang paling luas di Indonesia adalah Jawa Barat (29,6 ribu ha), Kepulauan Riau (16,9 ribu ha), Banten (10,3 ribu ha), Jawa Timur (7,2 ribu ha), dan Sumatera (5,3 ribu ha) [Investor Daily, 28 Januari 2013]. Pada kawasan itu telah didukung infrastruktur yang memadai sehingga investor tertarik membangun lokasi pabrik di lokasi di sana. Penyebaran kawasan industri di banyak daerah lain di Indonesia tentu menjadi hal utama yang perlu dilakukan pemerintah, seperti di Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara & Maluku. Dengan demikian, pada masa mendatang prioritas permintah bukan sekadar mengejar target nilai investasi, tetapi juga menyeleksi investasi berdasarkan lokasi, sektor, dan orientasi (misalnya penyerapan tenaga kerja, penciptaan nilai tambah, dan sumbangan terhadap ekspor).
Penguatan Sektor Industri
Di luar hal-hal tersebut, hal yang patut disambut gembira adalah adanya geliat investasi di sektor industri yang makin membesar. Sektor industri memang menjadi tumpuan bagi pembagunan ekonomi Indonesia ke depan karena penyerapan tenaga kerjnyaa yang relatif banyak dan nilai tambah yang besar. Era sektor primer harus diakhiri karena tidak menjadikan masyarakat sejahtera. Sungguh pun begitu, sektor industri yang dibangun tetap harus selaras dengan kekayaan sumber daya ekonomi (endowment factor) di sektor pertanian dan sumber daya alam lainnya serta karakteristik keterampilan tenaga kerja. Subsektor industri yang paling diincar PMA di atas memang sangat potensial di Indonesia, baik karena ketersediaan bahan bakunya maupun pasarnya yang besar. Namun, dalam beberapa aspek subsektor itu tidak terlalu kompatibel dengan keterampilan tenaga kerja yang 65% hanya lulus SMP ke bawah. Di sinilah perlu dibuat matriks yang lebih utuh untuk mengaitkan sektor industri dengan karakteristik keseluruhan perekonomian.
Sekadar ilustrasi, subsektor industri makanan dan minuman (dan tembakau) sumbangannya terhadap total sektor industri sekitar 7,2%, tapi donasi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 23,5%. Pola yang sama juga terjadi pada subsektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang berkontribusi cuma sekitar 2% dari total sektor industri, namun menyerap tenaga kerja sebesar  11,5% (Kementerian Perindustrian dan BPS, diolah). Hal berbeda terjadi pada industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi; serta industri logam, mesin dan elektronika yang sumbangannya terhadap sektor industri cukup besar, tapi tak banyak menyerap tenaga kerja. Fakta ini perlu disampaikan karena adanya kisah menyedihkan, di mana sampai sekarang 62% angkatan kerja nasional bekerja di sektor informal. Tentu saja tidak lantas subsektor ini harus ditinggalkan, tapi boleh dikembangkan asalkan menyumbangkan bagi kepentingan pada aspek yang lain, seperti orientasi ekspor ataupun nilai tambah yang besar.
Pada akhirnya kita sangat berharap bahwa nilai tambah pada sektor industri tidak hanya dinikmati oleh usaha besar, apalagi asing. Pelaku UMKM berhak diprioritaskan dalam perolehan nilai tambah tersebut sehingga pengembangan sektor industri mestinya bertumpu kepada jenis pelaku ini. Di negara maju, seperti di Jepang, Jerman, Denmark, dan lain-lain sudah terjadi keterkaitan yang kuat antara UMKM dengan usaha besar sehingga nilai tambah bisa disebar distribusinya. Di Jerman, pabrik gula (misalnya) kepemilikannya dipegang oleh koperasi petani sehingga mata rantai nilai tambah dalam industri gula sebagian besar jatuh ke petani. Model-model semacam itulah yang harusnya dibangun di Indonesia agar persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan mudah diatasi. Jadi, perlu dipahami membangun sektor industri bukan sekadar menambah pabrik atau mendatangkan investasi, namun juga memikirkan keterkaitannya dengan struktur tenaga kerja, jenis pelaku, dan kepentingan nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef