Perekonomian Indonesia sekitar seminggu ini hiruk pikuk kembali oleh dua berita penting. Pertama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, menyambut dengan tangan terbuka 16 waralaba asing (AS) yang akan masuk ke Indonesia. Waralaba AS tersebut kebanyakan akan masuk ke sektor makanan dan minuman, sehingga jika kesepakatan itu direalisasi dipastikan akan makin menambah pelaku ekonomi asing yang masuk ke Indonesia lewat mekanisme waralaba. Kedua, Indonesia baru saja mendapatkan posisi “investment grade†dari lembaga pemeringkat Fitch, dari semula BB+ menjadi BBB-. Pemerintah gembira sekali dengan kenaikan posisi tersebut sebab merasa investasi asing akan segera membanjiri pasar Indonesia, termasuk daya jual surat berharga negara yang makin meningkat. Dari dua berita tersebut, sebetulnya hal apa yang mesti dicermati pengaruhnya terhadap perekonomian nasonal ke depan?
Liberalisasi dan Kedaulatan Ekonomi
Pada zaman ini hampir tidak bisa ditemui negara yang perekonomiannya hidup hanya dengan mengandalkan investasi domestik, kecuali negara tertentu yang sangat tertutup, misalnya Korea Utara. Investasi dari negara lain (asing) diperlukan karena dua alasan pokok: mengatasi kelangkaan dana domestik dan merangsang munculnya wirausahawan domestik (lewat persaingan dengan usaha asing). Negara berkembang tentu berkepentingan dalam soal ini karena karakteristik ekonominya yang ditandai dengan tingkat tabungan yang lebih kecil dari kebutuhan investasi (saving-investment gap). Demikian pula, dengan investasi asing diharapkan transfer teknologi dan persaingan ekonomi bisa mendorong kemampuan dan kemajuan ekonomi di dalam negeri. Cara pandang inilah yang diyakini dan dipraktikkan sejak dekade 1950-an sehingga teori-teori ekonomi pembangunan nyaris seragam memberikan rekomendasi tersebut.
Lalu lintas investasi antarnegara tersebut menjadi lebih pesat berjalan sejak dekade 1980-an ketika proyek liberalisasi (perdagangan, keuangan, dan investasi) dilakukan secara sistematis. Indonesia bahkan memfasilitasi investasi asing itu sejak 1967 via UU No. 1/ 1967, yang kemudian terus disempurnakan lewat PP No. 20/1994 dan UU Penanaman Modal No. 25/2007. Hasilnya memang luar biasa, sejak 2000-2010 terdapat peningkatan peran PMA (penanaman modal asing) terhadap total investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 63% terhadap total investasi. Tetapi, pada 2010 peran PMA tersebut sudah melonjak menjadi sekitar 71%. Dengan kata lain, sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30%. Dengan begitu, konsep PMA sebagai pelengkap (komplementer) investasi sudah tidak berlaku lagi karena saat ini justru PMA menjadi sumber utama investasi nasional.
Deskripsi itu menjelaskan dengan baik betapa liberalisasi secara perlahan menggerogoti kedaulatan dan kemandirian perekonomian nasional. Jika pada awalnya investasi asing diharapkan beperan sebagai pendorong munculnya jiwa kewirausahaan lokal, membuka persaingan yang sehat, menjalankan transfer teknologi, dan beragam imajinasi utopis lainnya, ternyata dalam realitasnya malah mendesak dan mematikan pelaku ekonomi domestik. Operasi investasi asing itu bisa berupa langsung membuat pabrik atau eksplorasi, seperti kasus industri pertambangan, perbankan, komunikasi, dan lain-lain; atau merangsek lewat model franchise/waralaba. Meskipun keduanya memiliki metode operasi yang berbeda, namun memiliki sengatan yang sama-sama mematikan terhadap pelaku ekonomi domestik. Kasus dan data mengenai waralaba yang telah beroperasi sekitar 4 dekade di Indonesia memberikan penguatan bukti tersebut.
Penetrasi Waralaba Asing
Metode waralaba sebetulnya bukan barang baru karena sudah ada sejak abad 19. Pada 1851 perusahaan mesin jahit AS, Singer, mengadopsi sisten waralaba untuk memperluas jaringan dan penjualan produknya. Setelah itu, di penghujung abad 19, tepatnya 1898, General Motor juga melakukan langkah serupa dengan memakai istilah “independent businessâ€. Setelah itu berturut-turut perusahaan obat “Rexall†dan megakorporasi minuman, Coca Cola dan Pepsi, mengikutinya hingga saat ini (Hidayat, 2011). Sementara itu, bisnis waralaba tersebut masuk pertama kali ke Indonesia pada 1970-an, yang ditandai dengan masuknya KFC, Swensen, Shakey Pisa, dan akhir-akhir ini diteruskan oleh Burger King dan Seven Eleven. Pada 1992 sudah tercatat ada 29 waralaba asing dan 6 lokal (dengan outlet sejumlah 300) yang beroperasi di Indonesia. Dengan begitu, bisnis waralaba ini juga sudah cukup lama berkiprah di pasar nasional.
Perkembangan waralaba itu begitu pesat, sebab lima tahun setelah itu (1997) jumlahnya melesat menjadi 265, di mana 235 milik asing dan 30 lokal, dengan outlet sebanyak 2000. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/1998 bisnis waralaba ini juga turut terhempas, sehingga tinggal 170-an waralaba asing yang beroperasi dan sekitar 500 outlet yang ditutup. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan oleh waralaba domestik untuk merebut pasar, sehingga tercatat pada periode 2000-2004 pertumbuhan waralaba domestik lokal mencapai 60%, sedangkan asing sekitar 27%. Sampai 2010, diperkirakan omzet bisnis waralaba tersebut mencapai Rp 100 triliun. Umumnya, waralaba ini masuk ke lima sektor, yakni food and beverages, educational products and services, retail sector, real estate services, serta laundry and dry cleaning (www.Franshising_Indonesia.com). Celakanya, sekarang ketika waralaba lokal berkembang pesat muncul kebijakan pemerintah yang tidak bersahabat tersebut.
Kebijakan longgar yang dibuka oleh Menteri Mari Pangestu itu sekurangnya bermasalah dalam tiga hal. Pertama, sektor usaha makanan dan minuman merupakan kegiatan ekonomi yang banyak dilakukan oleh usaha kelas menengah ke bawah, sehingga pembukaan ini menggerus ruang operasi pelaku ekonomi pada kelas tersebut. Kedua, sampai saat ini pemerintah tidak pernah menerapkan asas resiprokal dalam kerjasama ekonomi dengan luar negeri. Pelaku ekonomi asing dibiarkan melenggang bebas masuk ke Indonesia, tapi pelaku ekonomi domestik sangat sulit membuka operasi usaha di negara asing. Hal ini berlaku dalam seluruh sektor ekonomi, termasuk industri makanan dan minuman. Ketiga, pembukaan pasar domestik secara besar-besaran dilakukan pada saat pemerintah nyaris tidak berbuat sama sekali untuk memerkuat ekonomi domestik. Ketiga hal itu tentu saja membuat luka dan menyakiti perasaan rakyat Indonesia.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef