Kongres ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) kembali digelar pada tanggal 30-31 Juli 2009 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Seperti perhelatan-perhelatan sebelumnya, tidak ada yang istimewa dalam kongres kali ini. Tetapi bila disimak dari sejarah perjalanan lembaga profesi yang paling ‘prestisius’ di Indonesia ini, akan segera tampak dua wajah yang bisa ditampilkan. Pertama, pejabat-pejabat teras ISEI hampir selalu berasal dari kalangan birokrasi, bahkan kecenderungannya ketua umum ISEI dipegang oleh menteri-menteri (atau setingkat menteri) yang memegang pos ekonomi. Konsekuensinya, gagasan lembaga ini (tentu diseputar isu ekonomi) hampir selalu seragam dengan pandangan pemerintah. Lebih ekstrem lagi, konsep ekonomi yang diusung merupakan “pesanan†pemerintah, sehingga label “corong pemerintah†menjadi tidak terelakkan. Kedua, secara internal ISEI hanya menampung ekonom-ekonom berpandangan sama yang berakar dari mainstream economics. Implikasinya, suara-suara yang berseberangan tidak memeroleh tempat yang memadai dalam panggung ISEI.
Rasionalitas Politik
Setiap ilmu sosial (juga ilmu alam) selalu memiliki ruang melakukan ‘penyimpangan’. Dengan melakukan simplifikasi, penyimpangan tersebut terjadi karena dua hal. Pertama, penyimpangan akibat keterbatasan daya penjelas yang mampu diberikan oleh para ilmuwannya, entah karena kemalasan berpikir maupun kompleksitas variabel sosial yang sulit ditangani. Ini terjadi secara alamiah karena adanya “bounded rationality†yang niscaya dalam diri individu. Hal ini pula yang menjadi penjelas adanya teori-teori baru yang muncul sebagai revisi atau penolakan terhadap teori lama yang telah mapan. Kedua, penyimpangan akibat dominasi yang berhasil diraih oleh satu pandangan dengan mengabaikan pemikiran yang lain. Dominasi itu diraih bukan karena nilai kebenaran yang dikandungnya, melainkan soal kemampuannya untuk memengaruhi pengambil kebijakan dan memproduksi ‘kaki-kaki’ yang menggerakkan gagasan itu menuju ruang-ruang publik. Realitas ini, tanpa kecuali, juga dialami oleh ilmu ekonomi.
Dalam kasus yang pertama, mestinya setiap konsep atau kebijakan ekonomi yang lahir harus dikritisi sebab potensi terjadinya penyimpangan sangat besar. Setiap kebijakan ekonomi pasti melewati proses politik dan birokratisasi yang kental sehingga hasil akhirnya tidak mesti rasional. Dalam terminologi ekonomi politik, kebijakan ekonomi selalu memiliki tendensi untuk kabur karena bersinggungan dengan ‘ruang untuk melakukannya’ (a place to act), yakni ranah politik. Pada posisi inilah rasionalitas ekonomi sering kali harus minggir atas nama ‘rasionalitas politik’. Celakanya, rasionalitas politik tidak selalu memiliki karakter agung, misalnya untuk kemaslahatan bersama, melainkan melulu ditumpangi dengan agenda-agenda sempit yang tidak jelas nalar ilmiahnya. Hasilnya, lahirlah kebijakan ekonomi rapuh yang lahir dari kandungan rasionalitas politik yang tipis bobot akademiknya. Dalam kehidupan sehari-hari, teramat banyak kasus kebijakan yang bisa dicontohkan dari sudut pandang ini.
Sampai di sinilah diperlukan kekuatan penyeimbang untuk menguliti setiap kebijakan ekonomi yang dibikin pemerintah agar derajat penyimpangan bisa dikurangi. Sebagai lembaga yang memiliki anggota dengan kapasitas keilmuan yang tidak diragukan, tentu saja ISEI mempunyai kemampuan untuk memanggul tugas ini. Kebijakan-kebijakan ekonomi strategis pemerintah, seperti soal utang luar negeri, privatisasi, liberalisasi sektor keuangan, strategi industrialisasi, pengurangan kemiskinan, dan lain-lain mestinya harus diimbangi dengan produksi konsep alternatif dari ISEI. Sayangnya, untuk sebagian besar isu-isu tersebut organisasi ini malah bungkam, jika tidak malah berperan sebagai pemasok utama dari kebijakan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena pucuk kepengurusan (khususnya di pusat) ISEI nyaris identik dengan pemangku birokrasi pemerintah sehingga ruang untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi kebijakan menjadi sempit. Hasilnya, teramat sedikit pandangan alternatif yang dapat disodorkan ke pemrintah.
Keragaman Gagasan
Setiap organisasi, khususnya yang berbasis bidang keilmuan, akan eksis bila di dalamnya mengandaikan keragaman gagasan sebagai basis penemuan pengetahuan baru. Tanpa gesekan dari beragam pandangan, ilmu pengetahuan akan mengalami kejumudan sehingga gagasan alternatif tidak pernah lahir. Implikasinya, usia organisasi juga turut tersendat karena di dalamnya tidak ada lagi elan perubahan sebagai perekat eksistensi lembaga. Manajemen perubahan yang bersumber dari gesekan pemikiran itulah yang menjadi kisah sukses dari daya tahan lembaga-lembaga profesi (maupun organisasi masyarakat pada umumnya) untuk mengarungi perkembangan jaman. Di Indonesia, contoh dari ormas yang terus eksis karena kesanggupannya untuk menerapkan manajeman perubahan adalah NU dan Muhammadyah. Keduanya adalah lembaga keagamaan yang menggabungkan antara keyakinan agama yang ketat dengan interpretasi ilmu pengetahuan baru yang longgar untuk menghasilkan pengamalan agama yang terus relevan.
Prinsip itu yang mestinya dipegang oleh ISEI sehingga potensi untuk memproduksi ide-ide baru yang jenial bisa dilakukan. Namun, menyimak perkembangan yang berlangsung, tendensi untuk mengadopsi keragaman pandangan kian lenyap sehingga yang terjadi adalah keserbatunggalan ide. Ekonom-ekonom yang berumah di ISEI dengan mudah bisa dipetakan pandangannya, sedangkan pemikir-pemikir ekonomi dengan sikap akademik yang berlainan dipersilahkan membikin tenda di luar pagar ISEI. Jika pun ekonom-ekonom yang berseberangan itu dilibatkan, tidak lebih sekadar upaya prosedural untuk menepis anggapan tersebut, misalnya ekonom tersebut diundang sebagai pembicara dalam acara seminar atau kongres ISEI. Nyaris tidak pernah ada ekonom yang berbeda sikap itu (tanpa perlu disebutkan namanya), yang diakomodasi dalam kepengurusan inti ISEI sehingga dapat mendonasikan gesekan pemikiran ekonomi.
Arus utama pemikiran ekonomi yang menghuni rumah ISEI tersebut bergerak secara sistematis, yang disokong oleh kaki-kaki birokrasi dengan rantai yang panjang. Kebijakan pemerintah, panggung seminar, iklan-iklan koran, dan universitas merupakan bagian dari kaki-kaki untuk menggulirkan ide dari satu tempat ke tempat lain. Tanpa disadari dominasi itu semakin lama kian menggurita sehingga sulit muncul sikap kritis terhadap kebenaran pandangan monolitik tersebut. Tentu saja ongkos yang harus dibayar dari realitas ini sangat mahal, yakni dari tubuh ISEI tidak penah lahir gagasan besar untuk mengurai benang kusut pembangunan ekonomi. Alih-alih, boleh jadi organisasi ini secara kelembagaan memiliki saham dari proses pembusukan ekonomi Indonesia. Inilah saat yang tepat bagi ISEI untuk melakukan refleksi sehingga kongres kali ini membawa pesan perubahan yang berarti bagi organisasi, setidaknya dalam dua hal di atas.
Seputar Indonesia, 30 Juli 2009
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya