Relasi politik dan ekonomi tak pernah bisa dipisahkan. Keduanya selalu berkaitan dan saling memengaruhi. Inter-relasi di antara keduanya hari ini menjadi fokus di Indonesia karena hajat pilpres sudah usai dan pemerintahan baru yang bakal segera dilantik hendak melakukan “beauty contest†personalia kabinet. Jika presiden dan wapres lebih banyak diukur dari dukungan politik, maka para menteri merupakan simbol representasi teknokratis yang diharapkan mampu merumuskan penyelesaian masalah lewat konsep, kebijakan, dan program yang solid. Sungguh pun begitu, dalam kenyataan, tak sesederhana itu pemilihan seorang menteri. Meski ia mempunyai kecakapan teknokratis, tapi bila defisit kapabalitas politik, maka akan mudah ditikam dalam perumusan kebijakan, khususnya yang menghendaki persetujuan parlemen. Demikian pula, mereka juga harus terlatih mengelola orang karena berhadapan dengan gurita organisasi birokrasi yang punya agenda dan kepentingan sendiri.
Kecakapan Teknokratis
Bukan itu saja, urusan kabinet juga bersinggungan dengan “pasar†dalam konteks ekonomi. Pasar dalam pengertian jamak dimaknai tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Dia tidak merujuk tempat tertentu, misalnya minimarket atau warung kopi. Asalkan terjadi transaksi ekonomi, maka di situlah pasar tercipta. Pasar juga bisa dipahami sebagai mekanisme organisasi privat dalam kegiatan ekonomi, sebagai lawan dari instrumen negara (pemerintah) untuk mengkoordinasi aktivitas perekonomian. Oleh karena itu, selalu muncul perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini soal superioritas pasar berhadapan dengan negara. Namun, dalam kajian mutakhir, makna pasar menjadi lebih sempit lagi, yakni perkara yang hanya terpaut dengan pelaku ekonomi besar yang menjadi pengendali jantung perekonomian: sektor keuangan (pasar modal, bank, asuransi, dan lain-lain), guritas bisnis (konglomerasi), pengelola investasi, dan komunitas internasional. Inilah yang disebut pasar terkait formasi kabinet.
Dalam diskursus hari ini ungkapan yang kerap disampaikan adalah: kabinet harus diisi orang profesional. Istilah profesional merujuk kepada orang yang punya kompetensi teknokratis di bidangnya dan bukan anggota partai politik (parpol). Anggapannya, pengurus parpol tidak mungkin mempunyai kecakapan teknokratis dan memiliki konflik kepentingan yang tinggi. Dengan begitu, diharapkan pos-pos ekonomi strategis, seperti Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri BUMN, dan lain sebagainya diisi oleh kaum profesional. Mereka bisa pengusaha, praktisi, akademisi, atau yang lain; yang penting bukan orang parpol. Asumsinya: kaum profesional akan lebih cakap merumuskan kebijakan dan bebas dari kepentingan politik sehingga output yang dihasilkan sesuai dengan harapan publik. Cara pikir dikotomis dan bersahaja ini dianggap pilihan paling masuk akal sebagai parameter pemilihan personalia kabinet, khususnya di bidang ekonomi, pada masa sekarang.
Berikutnya, orang yang ditunjuk di bidang ekonomi juga mesti diterima oleh “pasarâ€. Sekali lagi, jangan sampai alpa, pasar yang dimaksud adalah penguasa jantung perekonomian (seperti yang ditulis di muka). Pemenang kontestasi politik (presiden dan wapes terpilih) digiring agar mematuhi bahwa individu yang ditunjuk harus mendukung pemilik saham perekonomian tersebut supaya pasar memberikan sinyal posisitf. Sebaliknya, jika orang yang dipilih adalah figur yang memiliki pemikiran afirmatif terhadap pelaku ekonomi yang selama ini dipinggirkan -misalnya usaha kecil dan menengah, sektor informal, petani dan nelayan, koperasi, dan lan-lain- maka pasar akan langsung menghukum, antara lain ditunjukkan oleh pelarian modal, IHSG jeblok, atau nilai tukar yang terjun bebas. Di sini hukum “pasar†berlaku: siapa yang lebih kuat pasti akan berhasil memengaruhi proses pengambilan keputusan ketimbang yang lemah. Diktum ini masih abadi sampai kini di negeri ini.
Â
Kabinet Trisakti
Bagi kebaikan bangsa, pemikiran dikotomis di atas harus dihentikan. Bukan saja secara konseptual mengandung paradoks, namun secara politik juga tak ada padanannya di negara lain, termasuk di negara maju. Mengandung paradoks sebab pemilik kepentingan bukan saja orang parpol, namun juga individu yang tak terkait dengan politik. Jamak terjadi, disadari atau tidak, bias pemikiran dan juga komunitas yang terkoneksi dengan seseorang akan memengaruhi proses pengambilan keputusan. Jadi, profesional sekalipun amat potensial ditumpangi dengan aneka kepentingan, misalnya dari dunia (bisnis) internasional. Jadi, yang harus dibangun adalah sistem yang tak memungkinkan pejabat menjalani laku terkutuk, seperti jualan kebijakan. Selanjutnya, dikotomi profesional dan parpol juga tak dikenal di negara lain, sebab mereka menyadari bahwa seorang menteri adalah jabatan politik, sehingga kriteria keterterimaan secara politik sama pentingnya dengan kapabilitas teknokratis sendiri, sehingga keduanya merupakan satu paket yang harus dipunyai sekaligus.
Hal lain yang kerap dilupakan, setiap presiden dan wapres terpilih memenangkan kontestasi karena membawa janji berupa platform, kebijakan, dan program kerja. Di dalam janji-janji tersebut tersingkap bukan saja hal-hal konkret yang hendak dikerjakan, tapi juga nilai ideologis yang diusung. Jokowi – JK secara gamblang membawa gerbong konsep “ekonomi berdikari†yang nantinya akan diturunkan menjadi ribuan program kerja. Konstituen memilih mereka karena merasa ideologi yang dipanggul itu sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan suasana hati rakyat, bukan semata preferensi “pasarâ€. Konsekuensinya, pembantu presiden dan wapres yang dipilih adalah figur yang menghayati dan mampu menjaga agar platform itu tegak di lapangan. Mereka itu bisa berasal dari parpol, akademisi, aktivis, wirausahawan atau siapa saja yang selama ini memang berkhidmat dan berjuang di atas nilai-nilai ideologi itu. Ukurannya bukan oleh penerimaan “pasarâ€, tapi kesetiaan terhadap platform tersebut.
Pembangunan ekonomi pasca-reformasi tak menghasilkan capaian-capaian yang memuaskan rakyat akibat berjalan tak selaras dengan konstitusi. Itulah sebabnya pemenang pilpres dibeli platformnya oleh rakyat karena tawaran untuk setia terhadap konstitusi. Kabinet seyogyanya tidak diperdebatkan oleh asal-muasal orang, namun pemihakannya terhadap saripati ideologi bangsa dan kebijakan ekonomi yang menyantuni seluruh kepentingan rakyat. Saatnya benih-benih yang telah ditanam selama ini dipanen, yakni anak bangsa terbaik yang berada di parpol, akademisi, aktivis, dunia usaha, dan lain-lain. Jika pengelola pemerintah nanti diberi nama “Kabinet Berdikariâ€, maka orang-orang yang mengisi di dalamnya seyogyanya adalah para patriot-cakap yang hendak memastikan negara ini menjadi berdaulat dan paham kebijakan ekonomi seperti apa yang seharusnya diproduksi. Saatnya energi bangsa dikerahkan untuk memikirkan hal-hal yang substansial, bukan memperdebatkan perkara yang artifisial.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef