Pemerintah kembali mendapatkan kado istimewa pada awal 2012 ini: lembaga pemeringkat Moody’s menganugerahi Indonesia status “Investment Gradeâ€, persis seperti yang diberikan Fitch akhir tahun lalu. Tidak lama lagi, diyakini Standard & Poor’s juga akan mengalungi Indonesia dengan gelar srupa, sehingga tidak diragukan lagi keabsahan Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Perbaikan peringkat investasi tersebut tentu tidak lepas dari beberapa prestasi yang diraup Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, seperti pencapaian pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, rasio utang terhadap PDB yang terus menurun, defisit fiskal yang terkendali, sektor perbankan yang dianggap jauh lebih kokoh pascakrisis 1998, dan inflasi yang terjaga. Dengan situasi yang sangat bagus ini, pemerintah yakin sepenuhnya ekonomi (khususnya investasi) akan makin melaju pada tahun-tahun mendatang, meskipun saat ini ekonomi global sedang memasuki musim pancaroba akibat krisis di Eropa dan AS.
Evaluasi Investasi 2011
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 19 Januari 2012 lalu telah mempublikasikan kinerja investasi 2011. Secara umum realisasi investasi tahun lalu, investasi domestik dan asing, meningkat 20,5% ketimbang 2010, yakni senilai Rp 251,3 triliun (US$ 27,64 miliar). Peningkatan ini tentu saja sangat mengejutkan di tengah tekanan ekonomi global yang mulai terasa pada pertengahan 2011. Penyumbang terbesar investasi asing berturut-turut adalah Singapura, Jepang, AS, Belanda, dan Korea Selatan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, investasi asing masih menjadi sumber dominan investasi di tanah air, dengan menyumbang 69,8% pada 2011; sedangkan investasi domestik hanya 30,2%. Donasi investasi asing ini agak menurun sedikit ketimbang 2010 yang berkontribusi sekitar 70,1%. Dari segi lokasi, investasi itu kebanyakan berada di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Papua, dan Jawa Timur (Jakarta Post, 20/1/2012). Jadi, dalam beberapa aspek kinerja investasi 2011 bisa dikatakan bagus.
Sementara itu, jika dilihat dari sektor yang paling diminati oleh investor asing di Indonesia adalah tranportasi, pergudangan, dan komunikasi; pertambangan; listrik, gas, dan air (LDA); baja, mesin, dan elektronik; serta kimia dan farmasi (The Wall Street Journal Asia, 20-24/1/2012). Menariknya, pertumbuhan investasi asing pada 2011 di Indonesia lebih tinggi daripada China yang hanya tumbuh 9,72%. Pertumbuhan investasi asing China pada 2011 itu merosot jauh ketimbang tahun sebelumnya yang sempat tumbuh 17,4% (2010). Penurunan itu antara lain dipicu oleh melemahnya investasi dari AS yang turun 26,1% pada 2011 (China Daily, 20-26/1/2012). Melihat perbandingan ini tentu menggembirakan karena selama ini China menjadi negara tujuan investasi asing terpenting di jagad ini dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah dengan status laik investasi, tentu wajar apabila pemerintah percaya tahun ini pertumbuhan investasi akan lebih hebat lagi.
Sungguh pun begitu, terlalu dini mengatakan bahwa prospek investasi Indonesia ke depan akan cerah seperti yang diyakini pemerintah. Pada 2011 lalu, posisi daya saing Indonesia (yang disiarkan oleh World Economic Forum/WEF) justru menurun dari peringkat 44 (2010) menjadi 46. Demikian pula, laporan Doing Business 2012 peringkat Indonesia merosot dari 121 (2010) ke 129 (2011). Aspek-aspek yang sangat mengganggu daya saing dan iklim investasi di tanah air adalah inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur. Inefisiensi birokrasi membuat perizinan usaha sangat mahal, sangat jauh ketimbang Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Korupsi juga membuat biaya perizinan tergolong sangat mahal di Asean, hanya lebih baik ketimbang Laos dan Timor Leste. Demikian pula, ketersediaan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, dan lain-lain) membuat investor menyerah untuk merealisasikan investasi, meskipun bank sudah bersedia mendanai.
Agenda Sistematis Investasi
Lepas dari kelemahan tersebut, terdapat sekurangya tiga masalah pokok terkait perkembangan investasi di Indonesia akhir-akhir ini. Pertama, dominasi PMA masih terjadi, bahkan dalam jumlah yang tergolong luar biasa (70%). Proporsi ini memang sudah mengalami sedikit penurunan dalam beberapa tahun terakhir, tapi secara umum tetap menempatkan investasi domestik (PMDN) sebagai pelengkap saja. Situasi ini tentu mencemaskan, bukan hanya dari sisi kedaulatan ekonomi, tetapi juga dari aspek nisbah ekonomi yang menjadi bagian ekonomi dalam negeri. Jamak diketahui, nisbah dari kegiatan ekonomi (investasi) pasti akan jatuh kepada pemilik, sedangkan pekerja atau pihak lain hanya memeroleh gaji saja. Bisa saja investasi itu berorientasi ekspor dan tercatat dalam statistik neraca perdagangan sebagai pendapatan Indonesia, namun dalam realitasnya itu bukan milik orang/korporasi Indonesia dan sewaktu-waktu pendapatan itu bisa direpatriasi ke luar negeri.
Kedua, masa depan Indonesia diyakini berada di daerah, khususnya di luar Pulau Jawa. Kepercayaan ini tumbuh melihat realitas bahwa Pulau Jawa seluruh sumber daya ekonominya telah terpakai, terutama yang terkait dengan sumber daya alam. Dengan realitas ini Indonesia perlu bergegas membangun luar Pulau Jawa. Celakanya, investasi tiap tahun masih terkonsentrasi ke Pulau Jawa, seperti yang terjadi pada investasi 2011, baik PMA maupiun PMDN. Tanpa ada upaya radikal untuk membelokkan lokasi investasi ini, maka instrumen investasi justru menjadi sumber masalah ekonomi nasional. Ketiga, data-data juga memerlihatkan bahwa amat sedikit investasi yang mencoba mengolah sumber daya alam sehingga nilai tambah kecil. Tragisnya lagi, di antara investasi yang mengolah komoditas sumber daya alam tersebut dilakukan oleh asing, sehingga nilai tambah diambil oleh mereka. Pemerintah tentu harus membuat peta jalan untuk memotong lingkaran masalah yang tidak menguntungkan ini.
Dengan mencermasti soal-soal tersebut, maka beberapa langkah jangka pendek dan menengah mesti dikerjakan agar investment grade yang diperoleh tidak malah menjadi petaka. Terpenting, pemerintah seyogyanya merumuskan upaya-upaya sistematis untuk mendongkrak peran investasi domestik sehingga pada 2015 sekurangnya kontribusinya meningkat menjadi 55-60% dari total investasi. Berikutnya, menyusun regulasi investasi yang lebih ketat di Jawa, sekaligus memberikan insentif yang besar untuk investasi di luar Jawa. Serangkaian insentif fiskal dan non-fiskal harus dikerahkan pemerintah, termasuk membangun infrastruktur secara besar-besaran. Terakhir, menjalankan konsep yang sudah disusun cukup lama mengenai pohon industri yang berbasis bahan baku lokal (pertanian dan sumber daya alam). Melalui serangkaian langkah-langkah sistematis ini diharapkan posisi sebagai negara laik investasi benar-benar menjadi kado yang indah bagi warga negara.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef