Tiap pemerintahan akan diuji oleh dua hal pokok: merumuskan kebijakan yang kredibel dan meneruskan kebijakan menuju implementasi yang efektif. Memproduksi kebijakan (termasuk bidang ekonomi) tentu tidak gampang karena di dalamnya terselip proses politik yang meletihkan dan kompleks. Disebut melelahkan karena mesti memertimbangkan serangkaian aspek-aspek yang secara teknokratis rasional di tengah pergulatan lalu lintas kepentingan yang hiruk pikuk. Kerap kali pula pemerintah dihadapkan kepada dua pilihan dilematis: secara ekonomi rumusan kebijakan rasional, tetapi dari aspek politik tak memeroleh dukungan, atau sebaliknya. Hal yang sama berlaku dalam menjalankan kebijakan. Pemerintah butuh organisasi (birokrasi) yang mapan, loyal terhadap keputusan, dan kapabel mengurai persoalan di lapangan.
Normatif dan PragmatisÂ
Secara umum, kebijakan (ekonomi) bisa didesain dalam dua kategori. Pertama, kebijakan yang diproyeksikan untuk membuat tatanan baru dalam jangka menengah/panjang. Kebijakan normatif ini bersandar kepada kesadaran terhadap adanya penyimpangan arah pembangunan ekonomi yang dijalankan selama ini. Ukuran penyimpangan tersebut dapat dilihat dari parameter konstitusi (sebagai kontrak sosial tertinggi bernegara) maupun argumen substantif terhadap peta sumber daya (ekonomi) yang tersedia. Kedua, kebijakan pragmatis yang diharapkan bisa menyelesaikan persoalan jangka pendek sesegera mungkin. Di sini kebijakan mesti beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat yang terus berubah, di mana perubahan itu menciptakan konflik atau permasalahan yang memerlukan pemecahan secepatnya.
Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang telah memimpin Indonesia sekitar 5 bulan, disadari atau tidak telah menciptakan dua jenis kebijakan ekonomi tersebut. Kebijakan normatif yang diupayakan untuk membuat tatanan baru jangka menengah/panjang tertuang dalam RPJMN 2014-2019. Di bidang ekonomi, sekurangnya tiga hal pokok disebutkan dalam Nawa Cita (yang menjadi dasar penyusunan RPJMN), yaitu pembangunan dari pinggiran (pedesaan), peningkatan produktivitas ekonomi rakyat demi penumbuhan daya saing ekonomi, dan ikhtiar memerkuat kemandirian ekonomi. Pemerintah menyadari ketakseimbangan pembangunan ekonomi, yang memisahkan wilayah pedesaan – perkotaan, telah menjadi sumber petaka. Demikian pula, produktivitas yang rendah membuat daya saing ekonomi menjadi lemah. Kemandirian ekonomi juga makin rapuh, misalnya di sektor energi dan pangan.
Sementara itu, pemerintah juga berjibaku membuat kebijakan pragmatis untuk merespons persoalan yang datang hampir tak kenal henti. Secara cepat pemerintah mengambil sikap penaikan harga BBM pada November 2014 karena presiden melihat subsidi minyak tak sesuai sasaran dan menggerogoti anggaran. Pemerintah gencar pula mengundang PMA (investasi asing) dalam forum internasional (APEC) dalam lawatan pertama ke luar negeri, diikuti dengan kerjasama pengembangan mobil (nasional) antara perusahaan Indonesia dan Malaysia (Proton). Perkara investasi ini menjadi perhatian pemerintah, yang ditunjukkan antara lain dengan mengupayakan perizinan yang sederhana dan cepat. BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) diminta mendesain percepatan izin usaha tersebut dan dipantau terus oleh presiden. Tentu masih banyak kebijakan lain yang dibikin untuk menyikapi persoalan kekinian.
Kesigapan Implementasi
Kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut sebagian telah berada dalam trayek yang benar. Kebijakan normatif sekuat tenaga disesuaikan dengan mandat konstitusi, seperti usaha membangun wilayah tertinggal (pinggiran) dan kemandirian ekonomi. Indonesia yang dibayangkan oleh konstitusi adalah semesta kesetaraan dan keadilan yang dengan sangat bagus dinarasikan dalam sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesiaâ€. Jadi, meski tak sempurna, tiga pilar ekonomi yang termaktub dalam Nawa Cita itu telah mencerminkan janji untuk mendekatkan kepada tujuan konstitusi. Sementara itu, kebijakan pragmatis sebagian juga telah mengakomodasi soal jangka pendek, semacam pembangunan infrastruktur, perizinan yang efisien, penguatan peran BUMN (lewat penambahan Penyertaan Modal Negara/PMN), dan lain sebagainya.
Di sinilah pemerintah diuji pada fase berikutnya: bagaimana kebijakan itu agar efektif dijalankan? Parameter kebijakan normatif adalah: apakah kebijakan-kebijakan pragmatis yang dibuat sudah memerkuat capaian kebijakan normatif tersebut, atau sebaliknya. Tampaknya, pada urusan ini pemerintah agak kedodoran. Misalnya, penguatan kemandirian energi tak dikuti dengan pembuatan kebijakan teknis yang mendekatkan kepada tujuan itu. Tata niaga impor, penguasaan BUMN terhadap eksplorasi minyak/gas, kebijakan pelepasan subsidi, dan inefisiensi cost recovery tak disentuh secara memadai sehingga kondisi selama ini bakal kekal. Demikian pula, penambahan PMN kepada BUMN tak disertai dengan peta jalan penguatan BUMN sesuai dengan mandat Pasal 33 UUD 1945. Secara teknis, kebijakan PMN itu malah berpotensi menjadi perkara hukum.
Terakhir, pengelolaan kebijakan pragmatis menjadi penentu kesigapan pemerintah menangani urusan (ekonomi) harian. Tiap kementerian harus menguasai data sehingga bisa mengantisipasi kejadian. Demikian pula, kecekatan koordinasi dan menjalankan keputusan merupakan amanah pokok yang tak boleh telat diamalkan. Kasus kenaikan harga beras merupakan contoh telanjang. Pemerintah sebetulnya sudah tahu data dasarnya: penaikan harga BBM November 2014, beras untuk orang miskin (raskin) tak lagi dibagi sejak November 2014, panen raya mundur dari Februari 2015 ke Maret/April 2015, dan stok beras Bulog tak terlalu banyak (1,4 juta ton). Ketakcermatan pemerintah mengolah data berakibat keterlambatan menangani kasus itu, yang kemudian disempurnakan dengan manajemen kebijakan yang tak efektif. Â Singkatnya, pemerintah mesti segera belajar bahwa produksi kebijakan dan pengelolaan adalah dua tugas kembar yang tak boleh salah dieksekusi.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Majalah Warta Ekonomi No 6 Tahun XXVIII, Maret 2015.