Bagian 2
Selain argumentasi tentang pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi yang dianggap sebagian kalangan bermasalah, problem reformasi ekonomi yang menghasilkan capaian tidak optimal disebabkan juga oleh ketiadaan strategi reformasi kelembagaan yang solid. Pada titik ini, reformasi kelembagaan merupakan “enabling environment†yang membuat kebijakan reformasi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Sekurangnya terdapat tiga aspek reformasi kelembagaan pada level makro yang kurang disentuh pada saat pemerintah menjalankan kebijakan reformasi ekonomi. Ketiga aspek kelembagaan itu tidak lain adalah kelembagaan reformasi administrasi (administrative reform), sistem hukum (legal system reform), dan politik (political reform). Negara-negara yang berhasil menjalankan kebijakan reformasi pasti menyentuh kelembagaan makro tersebut karena ketiganya sangat memengarui kinerja kegiatan ekonomi.
Aspek reformasi administrasi-birokrasi ini nyaris tidak disentuh dalam desain reformasi ekonomi. Inilah yang kemudian membuat prosedur dan biaya memulai bisnis di Indonesia menjadi tidak efisien. Data memperlihatkan lama memulai bisnis di Indonesia pada 2009 masih 60 hari (hanya lebih bagus daripada Kamboja dan Timor Leste) dan ongkos memulai bisnis mencapai 26% dari pendapatan per kapita (cuma lebih murah ketimbang Kamboja dan Filipina) [World Bank, 2009]. Reformasi terhadap sistem legal juga tidak berjalan, sehingga pencurian hak cipta, penjiplakan, dan pembajakan merupakan hal yang jamak dalam keseharian kegiatan ekonomi. Implikasinya, insentif ekonomi untuk melakukan investasi menjadi hilang. Studi yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Counsultancy) pada 2010 menyebutkan Indonesia memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual di Asia.
Terakhir, pekerjaan rumah dianggap berakhir ketika reformasi politik telah dijalankan. Makna reformasi politik yang betul bukan hanya secara prosedur sudah mengadopsi unsur-unsur penting dari demokrasi, seperti pemilihan umum yang terjadwal, eksistensi parlemen, dan pelembagaan media untuk berekspresi. Di sini diandaikan, jika kegiatan ekonomi sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis, maka patronase antara politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam sistem ekonomi yang dipandu oleh pasar (market-driven economic system). Realitasnya, ketika sistem politik demokratis tidak ditopang dengan aturan main yang rinci, maka agenda reformasi ekonomi berpotensi ditelikung oleh political rent-seekers. Misalnya, APBN/APBD sebagian menguap ke saku para “political fund managers†yang membiayai Pemilu/Pilkada. Inilah kerapuhan kelembagaan makro yang tidak diperhatikan di Indonesia.
Pengabaian Kelembagaan Mikro
Hal lainnya, kelembagaan mikro (yang memungkinkan pelaku ekonomi dapat bekerjasama dan berkompetisi secara sehat) juga tidak disentuh sehingga meninggalkan patologi pembangunan yang gawat. Pertama, meskipun dana dan segepok kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak menunjukkan data yang impresif (pada 1990 persentase kemiskinan sebesar 15,1% dan 2010 sebesar 13,33%). Hal ini terjadi karena pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan. Mestinya, kelembagaan yang dipersiapkan adalah aturan main hubungan antarpelaku ekonomi di sektor pertanian, mengurangi dominasi pedagang lokal, menghidupkan aset orang miskin yang mati, dan lain-lain. Harus diakui dengan rendah hati pekerjaan inilah yang terabaikan oleh pemerintah selama ini.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir justru menjadi lahan yang subur bagi peningkatan ketimpangan pendapatan. Dalam perspektif kelembagaan hal ini dapat dijelaskan lewat dua cara: (i) terdapat tendensi kesenjangan antara inflasi dan upah minimum (provinsi) semakin tipis. Beberapa tahun lalu (misalnya 2001), persentase kenaikan upah minimum jauh lebih besar ketimbang inflasi, namun dalam beberapa tahun terakhir (misalnya 2008) proporsi kenaikan inflasi nyaris sama dengan kenaikan upah minimum; dan (ii) liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen memutar dana dari satu saku ke saku lainnya (pemilik modal) tanpa memiliki dampak terhadap kegiatan ekonomi riil (investasi). Perekonomian memang tumbuh, namun terus berputar pada segelintir pemangku modal karena liberalisasi tidak diimbangi dengan kelembagaan yang mengatur bagaimana seharusnya dana tersebut dikelola.
Ketiga, pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan (meskipun amat pelan), tapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) masih sangat besar, diperkirakan mencapai 30 juta jiwa. Lebih mengecewakan lagi, jumlah pekerja yang masuk ke sektor informal terus tumbuh sehingga saat ini mencapai hampir 65% dari total tenaga kerja (INDEF, 2010:94). Fenomena ini terjadi karena faktor-faktor berikut: desain insentif yang tidak bekerja di sektor pertanian, mahalnya biaya izin usaha, perilaku rent-seeking dalam promosi sektor ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan ketiadaan perlindungan hukum terhadap sektor informal. Seluruh penyebab itu adalah masalah kelembagaan yang tidak disiapkan secara serius oleh pemerintah sehingga menimbulkan komplikasi masalah ekonomi, khususnya pengangguran.
Menyusun Strategi Kelembagaan
Analisis di atas memberikan petunjuk bahwa salah satu agenda terpenting pemerintah dalam menyelamatkan reformasi ekonomi adalah mendesain kelembagaan makro dan mikro yang lebih rinci agar masalah-masalah ekonomi yang pokok dapat diatasi. Pada level makro, reformasi kelembagaan sistem administrasi, legal, dan politik menjadi fokus yang tidak boleh dilupakan. Sementara itu, pada level mikro, kelembagaan ekonomi yang langsung berkaitan dengan penurunan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran mesti dirumuskan dengan detail. Berikutnya, kelembagaan makro dan mikro saja belum cukup, tapi masih harus ditopang dengan kelembagaan sosial, berupa jaminan sosial dan transfer pendapatan untuk memastikan setiap individu dapat hidup secara laik. Kurang lebih dengan cara inilah pembangunan ekonomi bukan hanya tumbuh, namun juga menyejahterakan semua rakyatnya.
Tabel: Reformasi Kelembagaan yang Perlu Dibangun
Level Kelembagaan | Rincian Aturan Main | Hasil yang Diharapkan |
Kelembagaan Makro | ||
Reformasi administrasi | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Sistem meritokrasi -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Remunerasi yang layak -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Penerapan reward and punishment -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Peningkatan kompetensi | Sistem birokrasi dan administrasi yang mampu menjalankan kebijakan reformasi ekonomi secara efektif |
Reformasi hukum/legal | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Memerkuat independensi -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Remunerasi yang layak -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Penegakan aturan main -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Perlindungan terhadap hak kepemilikan | Sistem legal yang bisa diakses semua masyarakat, ada kepastian, adil, konsisten, dan cepat |
Reformasi politik | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Penguatan checks and balances -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Transparansi proses pengambilan keputusan -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Sirkulasi dan pembagian kekuasaan | Sistem politik yang bekerja demi memenuhi kebutuhan rakyat, bukan berjalan karena motif-motif keuntungan pribadi (rent-seeking) |
Kelembagaan Mikro | ||
Kelembagaan pengurangan kemiskinan | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Statuta hubungan antarpelaku ekonomi -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Memangkas dominasi posisi pedagang lokal -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Regulasi penambahan lahan -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Menghidupkan aset yang mati -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Penguatan koperasi serta usaha kecil dan menengah | Pengurangan kemiskinan secara cepat dan memberi peluang berusaha permanen secara memadai/laik |
Kelembagaan pengurangan ketimpangan pendapatan | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Pengendalian harga pangan -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Statuta upah minimum -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Pengaturan kepemilikan aset produktif -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Kuota kredit ke sektor pertanian dan IBT (luar Jawa) | Pemerataan pendapatan, baik antarindividu, antarsektor, maupun antarwilayah |
Kelembagaan pengurangan pengangguran | -         Peningkatan insentif di sektor pertanian, merombak kelembagaan distribusi -         Menyederhanakan dan mengurangi biaya izin usaha -         Peningkatan akses modal -         Perlindungan sektor informal | Pengurangan pengangguran, khususnya akibat penerapan kebijakan yang salah, sehingga tiap orang dapat memaksimalisasikan kapabilitas individu |
Dukungan Kelembagaan Sosial | ||
Jaminan kebutuhan dasar | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Jaminan social -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Skema pendidikan dan kesehatan | Menjamin setiap orang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak |
Transfer pendapatan | -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Pajak dan subsidi -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Jaminan kesempatan kerja -Â Â Â Â Â Â Â Â Â Asuransi pengangguran | Memastikan setiap orang memiliki bekal untuk masuk ke pasar kerja lagi |
Seputar Indonesia, 21 Januari 2011
*Ahmad Erani Yustika,
Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef (tulisan ini merupakan rangkuman dari pidato pengukuhan Guru Besar pada 30 Desember 2010