Awal Juli 2010 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kembali penurunan jumlah orang miskin di Indonesia. Menurut BPS, pada 2010 ini angka kemiskinan turun tipis menjadi 13,32% (pada 2009 mencapai 14,15%). Dengan begitu, jumlah orang miskin pada 2010 mencapai 31,02 juta penduduk. Penurunan ini tentu harus disyukuri karena berarti secara perlahan jumlah orang miskin di Indonesia dapat dikurangi. Namun, ada dua hal serius yang justru perlu diwaspadai. Pertama, walaupun persentase kemiskinan turun, tapi persentase jumlah orang miskin di pedesaan justru meningkat (dari 63,35% pada 2009 menjadi 64,23% pada 2010). Fakta ini merupakan pukulan telak sebab pembangunan (ekonomi) justru kian meminggirkan warga pedesaan. Kedua, jika terus menggunakan pendekatan kebijakan seperti selama ini, nampaknya sampai kapanpun penurunan kemiskinan akan lambat karena mudah menguap disapu aneka kebijakan maupun krisis ekonomi.
Muramnya Sektor Pertanian
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lebih dari 60% jumlah orang miskin ada di wilayah pedesaan. Artinya, kebijakan ekonomi yang diproduksi pemerintah selama ini cenderung memfasilitasi penduduk di perkotaan ketimbang warga desa. Jika dibuat lebih eksplisit, pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa daripada di sektor primer (pertanian) yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah sebagian besar penduduk di pedesaan. Dengan begitu, melacak penyebab naik turunnya angka kemiskinan di pedesaan sebetulnya tidak sulit, yakni tinggal menganalisis dinamika di sektor pertanian. Hipotesanya, jika pertumbuhan sektor pertanian bagus, maka jumlah kemiskinan (di pedesaan) akan cepat turun. Sebaliknya, jika sektor pertanian terpuruk, Â maka jumlah kemiskinan akan melonjak. Hipotesa ini sekaligus memudahkan pemerintah mengambil solusi mengatasi problem kemiskinan secara sistematis.
Faktanya, data yang dikeluarkan BPS ternyata mendukung hipotesa tersebut. Biasanya data kemiskinan diambil pada triwulan I tiap tahun, sehingga naik turunnya angka kemiskinan di pedesaan juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I. Data menunjukkan, pada triwulan I 2009 sektor pertanian tumbuh 4,8% (terhadap triwulan I 2008), sementara pada triwulan I 2010 sektor pertanian tumbuh hanya 2,9% (terhadap triwulan I 2009). Jadi, data itu dengan jelas menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 50% di antara periode tersebut. Bahkan, data itu juga tetap konsisten apabila membandingkan pertumbuhan sektor pertanian triwulan I 2009 (terhadap triwulan IV 2008) yang sebesar 19,3% dengan pertumbuhan triwulan I 2010 (terhadap triwulan IV 2009) yang hanya 18,1%. Inilah yang menjadi sebab mengapa jumlah orang miskin di desa meningkat pada saat data nasional kemiskinan mengalami menurun.
Menariknya lagi, jika data di atas didalami lagi dengan mengaitkan situasi makroekonomi, maka akan mendeskripsikan informasi berikut. Pada saat ekonomi sedang krisis (seperti situasi triwulan I 2009, di mana keadaan paling muram akibat krisis ekonomi global yang bermula sejak September 2008) sektor pertanian justru tumbuh bagus. Sebaliknya, ketika ekonomi sedang berada dalam jalur pemulihan (seperti periode triwulan I 2010, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7%) sektor pertanian justru terpuruk ke angka 2,9%. Dengan kata lain, jika ekonomi sedang krisis sektor pertanian dijadikan “pelampung†atau katub pengaman. Namun, saat ekonomi sedang menanjak (up-ward) sektor pertanian ditinggal kembali (realitas muram ini tentu sangat menyedihkan). Pola ini nyaris sama dengan periode 1997/1998 ketika terjadi krisis ekonomi yang hebat, di mana saat itu Nilai Tukar Petani (NTP) malah mencapai rekor tertinggi.
Pelanggengan Dualisme
Kenyataan di atas kembali melayangkan pikiran kita tentang dualisme ekonomi yang sudah nyaring disuarakan semenjak dekade 1980-an terhadap perkembangan ekonomi nasional. Dualisme ekonomi itu memisahkan secara tegas ekonomi perkotaan dan ekonomi pedesaan, antara sektor industri/jasa dan sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi sektor industri/jasa di perkotaan tidak secara langsung menyeret sektor pertanian di wilayah pedesaan. Sebaliknya, pertumbuhan sektor pertanian (khususnya saat krisis) tidak mampu memicu perkembangan sektor industri/jasa. Hal ini terjadi karena basis pembangunan sektor industri/jasa di Indonesia sama sekali terpisah dengan sektor pertanian. Jadi, tanpa perubahan radikal terhadap pilihan strategi pembangunan nasional mustahil masalah kemiskinan ini dapat dituntaskan. Pemerintah tahu persis dengan soal ini, tapi mengapa tidak ada langkah konkret untuk mendesain jalan keluar yang sederhana ini?
Pesan dari data dan analisis tersebut sebetulnya sangat jelas, bahwa penyelesaian problem kemiskinan dengan model selama ini, yang fokus kepada kebijakan tambal sulam (semisal penyaluran kredit dan bantuan karikatif) tanpa berupaya secara sistematis memihak sektor pertanian dan pengolahan/industri (yang terkait dengan sektor pertanian), pasti akan menemui kegagalan. Bahkan, jika krisis ekonomi terjadi, misalnya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang anjlok maupun inflasi yang melambung, angka kemiskinan bakal melonjak lagi. Dengan kata lain, peristiwa krisis dapat menghancurkan upaya penanganan kemiskinan (parsial) yang telah dilakukan sebelumnya. Ini membuat angka kemiskinan naik–turun mirip roller-coaster: menegangkan, tapi menyenangkan sebagai sebuah permainan. Masalahnya, apakah nasib sekian puluh juta warga itu patut dianggap sebagai permainan yang menyenangkan demi pencitraan pemerintah? Entahlah…..