Seperti sudah diduga, angka kemiskinan pasca-kenaikan BBM pada Juli 2013 lalu telah meningkatkan kemiskinan, baik dalam persentase maupun jumlah orang. BPS minggu lalu menyampaikan data terbaru jumlah penduduk miskin meningkat dari 28,07 juta (Maret 2013) menjadi 28,55 juta (September 2013) atau naik 480 ribu orang. Oleh karena itu, secara persentase angka kemiskinan meningkat dari 11,37% menjadi 11,47%. Dari segi lokasi, jumlah penduduk miskin terbesar ada di wilayah pedesaan (17,92 juta) dan di perkotaan 10,63%. Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi, inflasi sepanjang 2013 diproyeksikan pada kisaran 5,5-6%. Pemerintah kemudian merevisi inflasi menjadi 7,2% setelah kenaikan harga BBM. Namun, seperti diketahui, pada 2013 inflasi mencapai 8,3%, jauh diatas proyeksi pemerintah. Inflasi tinggi inilah yang dianggap sebagai penyebab utama kenaikan jumlah orang miskin.
Miskalkulasi
Hal pertama yang perlu disampaikan, pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman dalam soal membuat kalkulasi dampak kenaikan harga minyak terhadap inflasi. Pada 2005 dan 2008 saat pemerintah menaikkan harga BBM, inflasi juga melambung, bahkan di atas 10% (17,1% pada 2005 dan 11,6% pada 2008). Inflasi pada saat itu juga jauh lebih tinggi dari estimasi pemerintah. Bahkan, pemerintah dengan percaya diri menyatakan bahwa kemiskinan akan turun pada 2005 lalu karena warga miskin diberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Fakta membuktikan bahwa selisih antara inflasi proyeksi pemerintah dan realisasi pada saat itu mencapai sekitar 4,5%. Akibatnya, kemiskinan melambung dan BLT tidak sanggup mengkompensasi kenaikan inflasi tersebut. Pertistiwa ini terulang lagi tahun lalu saat pemerintah yakin inflasi hanya akan bertambah sekitar 1,2-1,5% karena kenaikan harga minyak. Indef secara terbuka menyatakan inflasi akan berada di kisaran 8,5% jika harga BBM naik sekitar 30-35%. Terbukti, pemerintah kembali tak akurat dalam membuat proyeksi.
Ketidakcermatan membikin kalkulasi itu membuat program kompensasi juga berpeluang terpeleset, baik dalam pengertian jenis program maupun intensitas pelaksanaan. Secara umum pemerintah menggunakan instrumen BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) sebagai program kompensasi kenaikan harga BBM. Program ini diberikan selama 4 bulan, di mana tiap bulan diberikan Rp 150 ribu. Program kompensasi tersebut mungkin cukup jika inflasi yang dipakai persis seperti yang dihitung pemerintah, yakni 7,2%. Namun, pada kenyataannya inflasi jauh lebih tinggi dari estimasi sehingga kompensasi itu tidak memadai. Jadi, di luar soal opsi program pemerintah yang dianggap bermasalah, dalam soal besarannya pun juga tidak kredibel karena salah kalkulasi penghitungan inflasi. Sampai pada titik ini, sudah terdapat dua blunder yang dibuat pemerintah, yakni salah memperkirakan inflasi dan ketidakcematan itu mengakibatkan intensitas program juga mengalami kesalahan.
Pertanyaannya, mengapa inflasi bisa sebegitu tinggi? Dalam kasus BBM rentetan inflasi yang tinggi tersebut tidak bisa dielakkan karena energi menjadi sumbu aktivitas ekonomi lainnya. Misalnya, transportasi membutuhkan bahan bakar sehingga setiap barang yang hendak didistribusikan pasti harganya naik (karena adanhya kenaikan ongkos transportasi). Demikian pula petani atau nelayan yang memerlukan mesin untuk keperluan air atau menjalankan kapal, di mana aktivitas tersebut juga membutuhkan bahan bakar sehingga menaikkan biaya produksi. Itu gambaran betapa bahan bakar memiliki kaitan yang kuat dengan kegiatan ekonomi. Berikutnya, jamak tejadi bila kenaikan harga BBM pasti dimanfaatkan para spekulan untuk menahan pasokan (khususnya pangan) sehingga dengan mudah mengerek harga. Akibatnya, sudah bisa diduga apabila rentetan kenaikan harga BBM itu menimbulkan kenaikan harga yang tak terbendung, seperti pengalaman 2005 dan 2008 lalu. Sayangnya, pemerintah tak pernah belajar dari kasus tersebut.
Penyimpangan Transformasi Ekonomi
BPS sendiri sebetulnya mengeluarkan dua data kemiskinan, yakni data makro dan mikro. Data kemiskinan makro dihitung berdasarkan data sampel (bukan sensus), sehingga hasilnya sebetulnya bersifat prediktif. Data kemiskinan ini bersumber dari Susenas (survei sosial ekonomi nasional), yang pengambilan datanya dilakukan pada biasanya setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga (RT) dan menggunakan ukuran kebutuhan dasar (basic needs). Namun sekarang nampaknya ditambah dengan data November/Desember. Data inilah yang kita konsumsi setiap tahunnya, termasuk yang baru dipublikasikan minggu lalu. Sementara itu, data kemiskinan mikro koleksi datanya didasarkan pada ciri-ciri RT miskin. Output dari data mikro ini adalah Rumah Tangga Sasaran (RTS), yakni RT miskin dan RT hampir miskin. Data mikro ini sudah pernah dilakukan dua kali, yaitu pada 2005, 2008, dan 2011. Dengan begitu, data kemiskinan mikro akan dikerjakan lagi pada tahun ini.
Terlepas dari soal jenis data kemiskinan tersebut, fakta kenaikan harga minyak ini tak boleh hanya dilihat sebagai persoalan kenaikan harga minyak semata (yang mengakibatkan inflasi). Dalam konteks yang lebih besar, sebetulnya terdapat dua persoalan serius yang mesti dibuka secara jernih. Pertama, strategi pembangunan yang diadopsi Indonesia pasca-reformasi ekonomi 1998 secara sistematis justru menciptakan kemiskinan baru yang tak mungkin dihindari. Secara umum pemerintah membuka ekonomi (liberalisasi) tanpa kontrol sehingga ruang ekonomi banyak diserobot oleh kepentingan dan pelaku negara lain. Penguasaan asing dalam aktvitivas ekonomi nasional kian dominatif sehingga meminggirkan pelaku ekonomi domestik. Dalam situasi keterampilan mayoritas tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar berkualifikasi rendah, maka liberalisasi menjadi makanan kelompok yang terampil dan bermodal kuat, yang sebagian besar berasal dari luar negeri.
Kedua, sudah diingatkan sejak lama agar proses transformasi ekonomi nasional menuju sektor industri dan jasa bertumpu kepada sumber daya ekonomi domestik (sektor primer). Model transformasi ekonomi ini akan menjamin pembangunan berjalan secara halus, pijakannya kuat, dan berlanjut. Nyatanya, pikiran ini tak pernah dipilih oleh pemerintah sehingga industri dan jasa berkembang lepas dari sektor primer. Akibatnya, pada saat pertumbuhan ekonomi lumayan tinggi, sektor pertanian dan industri padat karya pertumbuhannya rendah. Padahal, sektor pertanian sampai sekarang masih menyerap sekitar 40% dari total tenaga kerja dan sektor industri 12%. Industri yang berkembang di Indonesia justru berbahan baku impor, sehingga ketika nilai tukar anjlok (seperti sekarang) harga bahan baku menjadi mahal dan sektor industri kelimpungan. Sebaliknya, komoditas CPO, batu bara, emas, nikel, bijih besi, karet, dan lain-lainnya diekspor dalam kondisi masih bahan mentah. Ironis!
Pendekatan Aset
Kebijakan di atas secara jelas menunjukkan ketidakberpihakan kepada mayoritas pelaku atau sektor ekonomi yang menjadi titip tumpu pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai, di sisi lain malah memproduksi kemiskinan baru, yakni mereka yang terlempar dari arena persaingan ekonomi. Oleh karena itu, masalahnya bukan sekadar kemiskinan menjadi langgeng, tapi juga ketimpangan pendapatan makin menganga, baik ketimpangan pendapatan antar-kelompok maupun antar-sektor ekonomi. Pada 2011 lalu untuk pertama kalinya Gini Rasio menembus angka 0,41 (terbesar dalam sejarah Indonesia), dengan menggunakan pengeluar rumah tangga. Kalkulasi lain yang menggunakan pendapatan rumah tangga diperkirakan saat ini Gini Rasio berada pada kisaran 0,48. Artinya, jika Gini Rasio sudah mendekati 0,5 menandakan parahnya ketimpangan pendapatan tersebut. Ketimpangan pendapatan, seperti dipahami, bukan hanya soal ekonomi, namun juga menjadi musibah sosial.
Pada saat menjumpai masalah kemiskinan dan ketimpangan struktural tersebut, pemerintah hanya mendesain program penyelesain secara karikatif, sehingga antara penyakit dengan resep yang diberikan tidak sepadan. Sejak dulu program tidak mengalami perubahan, yang terjadi tiap tahun hanya perubahan-perubahan kulit saja, misalnya nama program yang direvisi, tapi substansinya sama. Pada 2005 dan 2008 muncul BLT, sekarang BLSM. Selain itu ada Raskin, PNPM Mandiri, KUR, dan lain sebagainya. Model program-program semacam itu sejak masa Orde Baru juga sudah ada, bahkan jauh lebih sistematis. Desain program semacam itu bukan tak ada manfaatnya, tapi amat tidak memadai dengan karakteristik penyebab kemiskinan. Pendekatan aset tidak pernah disinggung dalam solusi kemiskinan, baik dalam pengertian akses permanen terhadap modal dan lahan. Reforma agraria masih dianggap tabu, sehingga eksekusi kebijakan tersebut nyaris tak terdengar.
Dengan mencermati situasi tersebut, maka harus dibuat penanganan “pengurangan kemiskinan semesta†yang berporos dalam dua hal. Pertama, watak kebijakan ekonomi harus diganti secara total, dengan lebih memberdayakan potensi ekonomi domestik tanpa terjebak praktik ekonomi isolatif dengan negara lain. Hubungan ekonomi antarnegara memang wajib ada, tapi bukan berarti menelanjangi ekonomi dalam negeri tanpa proteksi yang memadai kepada pelaku domestik, khususnya golongan menengah ke bawah. Sektor ekonomi pertanian dan industri padat karya harus dibangun sebagai satu-kesatuan sebagai titik tumpu perekonomian nasional. Gerbong ekonomi harus mengangkut semua pelaku ekonomi, bukan hanya segelintir orang. Proteksi dan subsidi merupakan kebijakan yang sah, bahkan diterapkan oleh semua negara. Jika memang salah sasaran, solusinya bukan menghilangkan tapi merumuskan secara lebih tepat agar efektif.
Kedua, program kemiskinan tidak cukup dengan model seperti saat ini, namun mesti menyentuh kepada penguatan aset orang miskin, sekurangnya berupa modal dan tanah. Persaingan ekonomi harus dibuat adil sehingga benih-benih keswadayaan dan pemberdayaan tidak takluk dihisap oleh kelompok ekonomi skala besar akibat tata persaingan usaha yang tidak sehat. Penguatan aset dan persaingan usaha merupakan paket kebijakan yang selama ini nyaris tidak disentuh sehingga pelaku ekonomi yang jumlahnya sangat banyak (koperasi, usaha mikro, dan usaha kecil) tidak bisa berkembang. Potensinya sangat besar menjadi pilar ekonomi, namun selalu terjerembab secara mengenaskan. Inilah peta jalan yang mesti ditempuh oleh pemerintah untuk melenyapkan patologi sosial yang bernama kemiskinan ini. Rezim sekarang hampir pasti tak punya waktu melakukan ini, sehingga hanya kepada pemerintahan berikutnya kita menitipkan harapan. Semoga kita tak salah pilih lagi.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef