Rumor pemerintah akan menaikkan harga minyak (BBM) nampaknya hampir mendekati kenyataan setelah Departemen Keuangan diketahui membuat skenario kenaikan harga minyak tersebut. Disebutkan dalam skenario itu, kenaikan harga minyak rata-rata 28,7% dengan persentase kenaikan terbesar terjadi pada premium (33%), disusul solar (27,9%), dan minyak tanah (25%) [Kontan, 30/4/2008]. Pilihan ini diambil karena pemerintah menyadari bahwa kebijakan lain, semisal smart card, tidak realistis dilakukan mengingat kapabilitas birokrasi yang lemah. Sedangkan kebijakan tidak menaikkan harga juga bukan langkah yang solid, karena walaupun secara politik lebih aman namun diperkirakan akan membuat anggaran negara semakin tertekan (sebab subsidi kian membengkak). Tetapi menaikkan harga minyak dengan persentase sebesar itu (28,7%), tentu juga harus dihitung secara cermat dampaknya karena berpotensi merobohkan daya tahan perekonomian.
Kapasitas Ekonomi
Pemerintah sebaiknya percaya bahwa kebijakan kenaikan harga minyak tidak bisa dianalisis secara otonom tanpa mempertimbangkan efek penjalaran (contagion effect) terhadap sektor-sektor ekonomi yang lain. Analisis inilah yang luput dilakukan pemerintah pada saat memutuskan kenaikan harga minyak sekitar 100% pada Oktober 2005. Saat itu pemerintah yakin kenaikan harga minyak sebesar itu tidak akan mengganggu perekonomian dan bahkan dapat menurunkan angka kemiskinan (bila kelompok itu diberi kompensasi lewat skema BLT/bantuan langsung tunai). Realitasnya, struktur ekonomi saat itu ambrol menghadapi tekanan harga dan angka kemiskinan justru meroket tidak terkendali. Bukti bahwa kenaikan harga minyak tidak bisa diisolasi dari sektor lainnya bisa dilihat dari inflasi yang meroket mendekati 18%, karena sektor yang berkaitan dengan penggunaan minyak juga harus menyesuaikan harga, seperti transportasi, industri, dan pertanian.
Problem kedua kenaikan harga minyak sekarang adalah soal harga pangan yang terjadi berbarengan dengan kenaikan harga minyak internasional. Hal ini masih ditambah dengan resesi ekonomi yang nyaris tidak bisa dihindari akibat perekonomian AS yang terjungkal (salah satunya bersumber dari kasus subprime mortgage). Jadi, triple economic horrors (minyak, pangan, dan resesi) tersebut menjadikan pilihan kebijakan menaikkan harga minyak sekarang jauh lebih kompleks ketimbang suasana yang terjadi pada 2005. Pendeknya, kenaikan harga pada 2005 saja (yang tidak disertai dengan persoalan harga pangan) telah menyebabkan meroketnya harga-harga komoditas pangan, sehingga menyebabkan melambungnya jumlah orang miskin, maka bisa dibayangkan bagaimana bila langkah serupa diambil saat ini. Dalam posisi ini, kenaikan harga minyak di tengah meroketnya harga pangan dipastikan akan dapat memicu munculnya kaum miskin baru yang lebih massif.
Di sinilah urgensinya pemerintah mengukur secara akurat persentase kenaikan harga minyak (jika memang pilihan sulit ini tidak mungkin dihindari) berdasarkan daya dukung/kapasitas ekonomi (efek rambatan, daya beli, dan status ekonomi rumah tangga). Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa kenaikan harga minyak sekarang tidak menggiring inflasi menembus angka 10%. Sebab, jika ini terjadi maka daya beli rumah tangga akan jebol sehingga pembengkakan kemiskinan tidak dapat dikendalikan. Kedua, pemerintah tidak bisa lagi mengharapkan mengatasi dampak kenaikan harga minyak dengan semata mengandalkan kebijakan kompensasi kepada orang miskin, seperti dengan memberikan uang kepada tiap individu/rumah tangga selama beberapa bulan. Sebab, langkah ini hanya bersifat karikatif dan dalam jangka panjang tidak membuat para penerimanya mengalami penguatan ekonomi. Dengan pertimbangan itu, kenaikan harga minyak sebesar 28,7% rasanya terlalu berlebihan.
Kenaikan Bersyarat
Syarat lain dari kebijakan kenaikan harga minyak adalah kejelasan skenario pemerintah untuk memanfaatkan dana penghematan subsidi minyak. Selama ini, pemerintah tidak terbiasa berpikir secara sistematif dan berdimensi jangka panjang sehingga setiap persoalan selalu didekati secara reaktif. Peta yang ada sudah cukup memberikan gambaran bahwa kegagalan terbesar negara ini adalah ketidakberhasilan membangun sektor pertanian yang kokoh. Inilah yang menyebabkan masyarakat selalu rentan terhadap gejolak ekonomi (misalnya krisis minyak) karena sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan tingkat kesejahteraan yang amat memprihatinkan. Bahkan, yang lebih paradoks lagi, ketika harga komoditas pertanian sedang sangat tinggi di pasar internasional, Indonesia tidak menjadi bagian dari para pemenang karena sektor pertaniannya sudah hancur. Implikasinya, para petaninya malah sengsara karena kenaikan harga pangan tersebut.
Proposal yang ingin diajukan di sini adalah kepastian bahwa pemerintah memberikan komitmen bahwa dana penghematan subsidi minyak akan dialokasikan untuk membangun sektor pertanian. Dalam jangka panjang, skema ini lebih memberikan kerangka penguatan ekonomi masyarakat, mengurangi ketergantungan terhadap negara lain, dan membantu mengeliminasi dampak gejolak ekonomi. Oleh karena itu, investasi secara besar-besaran (big-push investment) harus dikerjakan pemerintah di sektor pertanian dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu pemerintah harus menjamin kepemilikan lahan/land reform, pengadaan bibit/pupuk murah, perbaikan irigasi, dan infrastruktur pedesaan. Sedangkan di sektor hilir, insentif harus diberikan kepada industri-industri pengolahan komoditas sektor pertanian sehingga menjadi dasar dari pembangunan agribisnis. Jika komitmen ini tidak ada, kenaikan harga minyak ibarat racun yang akan mematikan sendi-sendi perekonomian nasional.
Kompas, 6 Mei 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef dan
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya