Pemerintah kembali menunda penerapan kebijakan penghematan konsumsi BBM, setelah beberapa waktu lalu melakukan hal yang serupa. Semula, pemerintah hendak menerapkan kebijakan ini pada Januari 2011. Dengan alasan pemerintah (Pertamina) perlu waktu memersiapkan infrastruktur pendukung, misalnya stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), kebijakan diundur April 2011. Saat ini, dengan pertimbangan masih menunggu hasil tim kajian yang telah terbentuk, pemerintah kembali membuat target baru implementasi kebijakan tersebut diberlakukan mulai Juli 2011. Rencananya, kebijakan ini tidak hanya berubah dalam konteks waktu, tapi juga cakupan wilayah. Sebelumnya, kebijakan ini akan diuji coba di wilayah Jabodetabek, tapi entah dengan pertimbangan apa, rencananya pada Juli 2011 nanti implementasinya menjangkau seluruh Pulau Jawa. Inilah drama pilihan dan rencana penerapan kebijakan penghematan BBM di Indonesia yang telah dimulai tahun lalu.
Beberapa Pertimbangan
Asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam RAPBN 2011 adalah US$ 80/barel. Dengan berpatokan konsumsi BBM tidak melewati 38,5 juta kiloliter, maka subsidi BBM yang dianggarkan pada 2011 mencapai Rp 92,79 triliun. Problem yang muncul saat ini adalah kecenderungan harga minyak internasional yang cenderung meningkat, di mana saat ini sudah berada di atas US$ 100/barel. Diperkirakan potensi kenaikan ini masih akan terjadi pada bulan-bulan mendatang karena permintaan yang meningkat, ditambah dengan instabilitas politik dibeberapa negara Timur Tengah. Pada situasi ini tentu pemerintah harus berhitung dengan cermat untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak internasional tersebut karena posisi Indonesia sebagai importir. Sekurangnya pilihan kebijakan tersebut harus menyentuh tiga hal berikut: daya dukung APBN, dampak kepada perekonomian (inflasi), dan pemihakan/afirmasi kebijakan.
Pertama, menyangkut daya dukung APBN sebetulnya terdapat banyak aspek yang mesti dikuliti satu per satu. RAPBN 2011 dianggarkan defisit Rp 115,6 triliun yang akan ditutup dengan utang luar negeri dan dalam negeri. Dengan asumsi harga minyak internasional mencapai US$ 100/barel sepanjang 2011 dan tidak ada skema kebijakan penghematan BBM, maka diperkirakan tambahan subsidi akan membengkak hingga Rp 30 triliun. Dengan kata lain, total subsidi BBM bisa menjadi Rp 120 triliun. Pertanyaannya, apakah APBN masih kuat menyangga penambahan subsidi tersebut? Tentu saja tidak akan mampu, kecuali pemerintah menambah utang atau menggeser alokasi belanja/pengeluaran di sektor lainnya. Menambah utang baru jelas bukan langkah yang bijak, namun mengurangi jatah belanja sektor yang lain juga bukan cara yang mudah. Pada titik ini, kebijakan penghematan BBM menjadi relatif rasional dilakukan.
Kedua, jika memang kebijakan penghematan BBM dilakukan (istilah penghematan konsumsi BBM sebetulnya membingungkan, lebih tepat dipakai istilah kenaikan harga BBM saja), kira-kira bagaimana dampaknya terhadap perekonomian, khususnya inflasi. Kalkulasi yang beredar menyebutkan kenaikan harga BBM sekitar Rp 500 berpotensi menaikkan inflasi sekitar 0,8%. Potensi inflasi itu akan semakin tinggi jika level kenaikan harga BBM tersebut juga meningkat. Pengalaman pada 2005 dan 2008 menunjukkan kalkulasi matematis tersebut tidak selamanya akurat karena di lapangan faktor ekspektasi dan spekulasi sulit untuk dihindari. Pada 2005 inflasi melonjak menjadi 17,11% dan 2008 pada level 11,06% akibat kenaikan harga minyak. Sebabnya sederhana, kenaikan harga BBM memiliki efek rambat dan tular yang luar biasa kepada komoditas lain, termasuk pangan.
Pemerintah sulit mengisolasi dampaknya terhadap kenaikan komoditas lain karena hampir sebagian besar aktivitas ekonomi yang penting menggunakan BBM, seperti transportasi, pabrik, dan infrastruktur (listrik). Oleh karenanya, begitu harga BBM naik, maka komoditas lain juga mengalami hal yang serupa, bahkan dengan persentase kenaikan yang lebih tinggi. Hal lainnya, ketika inflasi meningkat, maka sektor keuangan (perbankan) juga akan meningkatkan suku bunga (deposito dan kredit) untuk mengompensasi kenaikan inflasi tersebut. Jika tingkat suku bunga (kredit) melonjak, maka yang pasti akan tertekan adalah investasi. Selanjutnya, penurunan investasi ini akan menjadi horor yang menakutkan bagi perekonomian, karena membuat ekonomi tidak tumbuh (stagnasi). Tanpa investasi tidak akan ada pertambahan barang dan jasa, sehingga lapangan kerja juga tidak tercipta (meningkatkan pengangguran). Biaya ini bisa jadi jauh lebih besar ketimbang penghematan subsidi yang dilakukan pemerintah.
Ketiga, menyangkut pertimbangan etis siapa yang layak diprioritaskan dalam situasi perekonomian saat ini? Seperti diketahui, sekarang terdapat dua problem perekonomian yang dihadapi Indonesia, yakni harga minyak dan pangan. Keduanya memiliki “daya ledak†yang tinggi bukan hanya pada sisi ekonomi, tetapi juga aspek politik. Dalam RAPBN 2011, subsidi pangan dianggarkan sebesar Rp 15,267 triliun (sekitar 17,5% dari total subsidi BBM). Dalam situasi ruang gerak APBN yang terbatas, pilihan mana yang akan diambil? Tentu saja opsi penambahan subsidi pangan jauh lebih adil ketimbang pemberian subsidi BBM (meskipun subsidi BBM sendiri harus diakui sebagian juga dikonsumsi oleh penduduk golongan bawah, misalnya buruh pabrik). Jadi, dalam perspektif yang terakhir ini, pilihan menaikkan atau tidak harga minyak terkait dengan alokasi untuk anggaran yang lain, termasuk subsidi pangan yang juga relevan dipikirkan.
Skema yang Harus Dipersiapkan
Jika pertimbangan menaikkan atau tidak harga BBM dilihat dari tiga sudut pandang di atas, maka sebetulnya posisinya adalah dua mendukung kenaikan harga BBM dan satu menghendaki agar BBM tidak dinaikkan (menambah subisidi). Harga BBM perlu dinaikkan karena situasi APBN yang tidak memungkinkan untuk menambah subisidi. Jika subsidi ditambah pasti ada alokasi lain yang digeser atau pemerintah kembali menaikkan defisit anggaran (dengan cara menambah utang). Demikian pula, harga BBM patut dinaikkan karena dalam situasi sekarang pemerintah lebih perlu untuk memikirkan kaum miskin yang terjerembab akibat krisis pangan. Harga kebutuhan pangan yang terus melambung membuat kehidupan kelompok miskin terancam, sehingga pilihan penambahan subsidi pangan menjadi lebih masuk akal. Satu-satunya alasan bagi penolakan kenaikan harga BBM adalah implikasinya terhadap pemburukan ekonomi.
Sungguh pun begitu, apabila nanti pemerintah benar-benar menjatuhkan pilihan terhadap kenaikan harga BBM, terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah perlu mencari opsi kebijakan yang paling simpel untuk implementasinya. Metode yang sederhana itu untuk mengurangi terjadinya kemungkinan moral hazard dan keterlibatan birokrasi dalam pengawasan. Opsi untuk menerapkan hanya di wilayah Jawa, sebetulnya tetap membuka celah terjadinya moral hazard, seperti pelarian BBM dari Jawa ke luar Jawa. Dalam situasi ini, pemerintah tidak cukup memiliki kaki yang kuat melakukan pengawasan akibat kapasitas birokrasi yang terbatas. Demikian pula, membedakan mobil pribadi dan transportasi publik memiliki risiko yang besar terjadinya moral hazard tersebut, sehingga di sini pemerintah mesti benar-benar berhitung secara cermat.
Kedua, mitigasi yang serius dari efek kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Salah satu yang patut dipertimbangkan secara cermat adalah potensi kenaikan harga pangan akibat kenaikan harga BBM. Sepanjang 2011 saja inflasi harga pangan sudah mencapai lebih dari 15%, di mana hal itu terjadi tanpa kenaikan harga minyak. Tentu saja bisa dibayangkan berapa kenaikan harga pangan jika pada tahun ini harga BBM dinaikkan. Oleh karena itu, pemerintah harus berjibaku mengatasi soal ini dengan banyak skema, dari mulai penambahan subisidi pangan, pengaturan stok dan distribusi pangan, sampai kepada penguatan daya beli kelompok miskin. Subsidi pangan (beras) harus dipastikan sampai kepada target orang miskin sesuai dengan waktu yang dibutuhkan. Pasokan dan distribusi pangan harus mengalir secara stabil sepanjang tahun sehingga tidak membuka ruang spekulasi. Demikian pula, penguatan daya beli dengan melibatkan kaum miskin dalam pekerjaan crash program menjadi penting dalam situasi seperti ini.
Terakhir, secara etis pula pemerintah baru dapat mengambil opsi kebijakan menaikkan harga BBM bila pemerintah sendiri telah jujur dan bersih dalam semua urusan menyangkut pengelolaan minyak. Sampai sekarang tidak ada kejelasan mengenai biaya produksi minyak per liter/barel, jumlah produksi per hari/tahun, level kebocoran distribusi minyak, misteri cost recovery, dan aneka pertanyaan lain yang mesti dijawab secara tuntas. Tidaklah patut apabila kebijakan kenaikan harga BBM dilakukan, tapi di baliknya terdapat banyak hal yang tidak jelas mengenai ekonomi minyak di negeri ini. Rakyat tidak boleh diminta terus-menerus berkorban yang timbul atas kesalahan kebijakan maupun pengelolaan sumber daya ekonomi di negara ini, termasuk sumber daya alam. Bila seluruh syarat itu tidak dapat dipenuhi pemerintah, rasanya kebijakan kenaikan harga BBM menjadi batal pula secara etis.
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ekonom Universitas Brawijaya