Ketimpangan wilayah menjadi salah satu masalah serius di Indonesia. Aneka rencana sudah dibuat dalam tiga dekade terakhir untuk mengatasi persoalan tersebut, namun dalam beberapa hal justru terjadi pemburukan. Ketimpangan pendapatan antarpulau, proporsi PDRB yang gemuk di Jawa, konsentrasi daerah investasi, disparitas pembangunan manusia, dan lain sebagainya merupakan sebagian tanda dari pemburukan ketimpangan wilayah tersebut. Tentu soal ekonomi nasional bukan hanya ini, namun bila kerangka kepentingan nasional diletakkan dalam konteks masa depan keutuhan wilayah nusantara, maka ketimpangan regional merupakan problem riil yang perlu dipecahkan sejak hari ini. Sebagian sudah skeptis dengan ragam model kebijakan ekonomi yang telah disusun pemerintah, karena sejarah mengirim bukti: kebijakan tidak selini dengan komitmen peemrintah (pusat).
Intensitas Ketimpangan
Latar belakang ketimpangan wilayah tersebut dapat dilihat dari beberapa data berikut ini. Pertama, investasi sebagai pemicu kegiatan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir justru makin mengerucut di Pulau Jawa. Pada 2006, investasi dalam negeri (PMDN) di Pulau Jawa mencapai 63,1% dari total investasi. Namun, pada 2009 investasi di Pulau Jawa tersebut telah melonjak menjadi 85,7%. Dengan kata lain, investasi di luar Pulau Jawa hanya 14,3%. Pola yang sama juga terjadi pada investasi asing (PMA). Pada 2006, PMA di Pulau Jawa mencapai 73,7% dari total PMA yang masuk ke Indonesia. Tetapi, pada 2009 Pulau Jawa sudah menampung 86,6% investasi asing. Artinya, pulau lain cuma kebagian porsi 13,4% (BKPM, diolah). Jika diyakini bahwa investasi merupakan “ibu kandung†dari kemakmuran ekonomi, maka mudah ditebak apabila kesejahteraan itu menumpuk di Jawa saja, sedangkan pulau lainnya berada dalam posisi tertinggal.
Kedua, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dianggap rahasia di balik keberhasilan ekonomi (di luar sumber daya ekonomi lainnya) juga menampakkan deskripsi yang sama. 15 daerah yang memiliki IPM paling kecil hampir seluruhnya berada di luar Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten. Pada 2009, 15 provinsi yang mempunyai IPM terendah secara berurutan adalah: Maluku, Sulsel, Lampung, Sulteng, Banten, Gorontalo, Sultra, Kalsel, Sulbar, Kalbar, Malut, Papua Barat, NTT, NTB, dan Papua (BPS, 2010). Dengan situasi seperti ini, maka sulit mengharapkan daerah di luar Pulau Jawa dapat mempercepat pembangunan ekonomi karena tidak didukung oleh kualitas manusianya. Secara lebih lanjut, kondisi ini menjadi sumber munculnya lingkaran setan: ekonomi yang redup membuat manusia terbaik di daerah pindah ke Jawa; selanjutnya orang yang tetap tinggal di daerah (dengan kualitas yang lebih rendah) tidak mungkin menggerakkan perekonomian.
Ketiga, akumulasi dari dua soal tersebut menghasilkan capaian ekonomi yang tidak menggembirakan. Jika diukur dari pendapatan per kapita, maka hanya Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang bisa dianggap pendapatannya relatif memadai; sedangkan pulau-pulau lainnya jauh tertinggal. Pada 2010, pendapatan per kapita nasional sekitar US$ 3000, dan jika dibagi berdasarkan pulau-pulau maka akan tampil data sebagai berikut: Pulau Kalimantan pendapatan per kapita US$ 3.783, Jawa US$ 2.540, Sumatera US$ 2.375, Bali – Nusa Tenggara US$ 1.139, Sulawesi 998, dan Papua US$ 866 (Kemenko, 2011). Pulau Kalimantan memang mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi, tapi banyak catatan di dalamnya. Salah satunya, pulau tersebut memiliki banyak aktivitas sumber daya alam, seperti batubara, kelapa sawit, dan yang lain; namun aktivitas itu dimiliki oleh segelintir pelaku ekonomi, bahkan boleh jadi pemiliknya bukan orang Kalimantan.