Rasanya semua sepakat dengan pernyataan ini, bahwa “kemiskinan bukanlah tragedi kemanusiaan akibat takdir ataupun ketidakramahan alam.” Memang betul, akibat kekeringan, banjir, longsor, atau topan menyebabkan timbulnya jumlah kaum papa baru, tapi segera hal itu akan menguap jika diberikan uang atau dibangun infrastruktur baru. Hal in tentu berbeda apabila dikaitkan dengan komunitas kemiskinan yang sesungguhnya; di mana kerumunan multituna ini tidak akan serta merta hilang jika bantuan material diberikan, atau bahkan jika bimbingan dan penyuluhan dijadikan program untuk menambal kekurangan ketrampilan. Di sinilah bermula kesalahpahaman dari setiap kebijakan antikemiskinan yang diproduksi oleh pemerintah maupun lembaga nirlaba swasta. Realitas empiris menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan persoalan sistematis yang tidak mungkin diselesaikan lewat kebijakan teknis-ekonomis semata. Risalah ini ingin melihat kemiskinan dengan meletakkan aspek kelembagaan sebagai pisau analisis.
Neoklasik Vs. Kelembagaan
Ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan berikut (Miller, 1988:50-51): (i) alokasi sumberdaya (resource allocation), (ii) tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi, dan harga (levels of growth employment, income, production, and prices); (iii) distribusi pendapatan (income distribution); dan (iv) struktur kekuasaan (the structure of power). Pendekatan klasik/neoklasik lebih banyak memakai tiga instrumen yang pertama untuk menguliti setiap persoalan ekonomi; sebaliknya pendekatan ekonomi kelembagaan lebih menekankan kepada piranti yang terakhir untuk menganalisis fenomena ekonomi. Namun, akibat dominasi pandangan neoklasik dalam analisis pembangunan, tidak bisa disangkal bila rumusan-rumusan penyelesaian persoalan ekonomi, termasuk kemiskinan, lebih banyak dipengaruhi oleh tiga instrumen yang pertama tadi. Berhubung hal itu telah berlangsung sangat lama, maka sebenarnya pemikiran sosial (khususnya ekonomi) sudah kehilangan elan keragaman untuk mengkaji masalah ini secara lebih saksama.
Model neoklasik mengandaikan adanya pasar kompetitif dan kesempurnaan informasi, sehingga kegiatan ekonomi menempatkan setiap pelakunya dalam posisi sejajar. Implikasinya, distribusi pendapatan akan terbagi secara proporsional. Sekadar ilustrasi, jika dalam suatu pasar terdapat ratusan pedagang beras dengan banyak konsumen, maka setiap kenaikan harga yang diberlakukan oleh seorang pedagang akan menggiring konsumen pindah ke pedagang lainnya. Akibatnya, pedagang yang tadinya menaikkan barang, akhirnya tertekan untuk menurunkannya kembali ke harga semula. Contoh lainnya, jika permintaan terhadap beras tiba-tiba meningkat (dengan asumsi jumlah penawaran tetap), maka harga barang akan naik. Pada situasi seperti ini pelaku ekonomi lain akan masuk untuk menjual beras (karena adanya insentif laba yang besar), sehingga akan menaikkan jumlah penawaran dan yang kemudian mendorong harga turun pada situasi semula. Lewat simulasi seperti inilah paham neoklasik percaya kemakmuran bersama akan diperoleh karena adanya jaminan distribusi pendapatan.
Problemnya adalah, apakah dunia nyata keadaannya seperti yang dilukis oleh aliran neoklasik di atas? Tentu saja jawabannya tidak. Fakta-fakta berikut ini barangkali bisa menjadi sinyal atas kompleksitas kegiatan ekonomi: (a) peternak sapi menjual seliter susu Rp 2500,- ke tengkulak, tengkulak menjual Rp 3500,- ke distributor, distributor menjual ke toko Rp 5000, dan toko menjual Rp 7000,- ke konsumen; (b) pelaku sektor informal di Lima (Peru) harus menunggu selama 289 hari dan melakukan dua kali penyogokan untuk mendapatkan surat ijin pendirian usaha kecil (Yeager, 1999:117), sementara pengusaha besar cuma perlu sehari untuk mendapatkan secarik kertas serupa; (c) buruh dibayar dengan patokan kebutuhan hidup minimal, sementara manajer (dan pemilik modal) berdasarkan keuntungan perusahaan; dan (d) pelaku sektor industri (industriawan) sangat gampang mendapatkan keringanan pajak (tax holiday), sementara subsidi bagi pelaku sektor pertanian (petani) setiap waktu terus digerogoti jumlahnya.
Dari keempat rujukan di atas, terlihat bahwa fenomena kemiskinan muncul justru karena persoalan kelembagaan. Pertama, ternyata tidak ada kesetaraan kekuatan antarpelaku ekonomi (kasus relasi peternak susu, tengkulak, dan pemilik toko). Kedua, ketidaksejajaran kemampuan untuk melakukan “manipulasi” terhadap kebijakan publik (kasus ijin investasi bagi sektor informal dan pengusaha besar). Ketiga, interaksi yang asimetris antara principal dan agent untuk membuat kesepakatan ikatan kerja (kasus buruh dan pemilik modal). Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mendesakkan dan mempengaruhi kebijakan publik (kasus pajak dan subsidi untuk sektor industri dan pertanian). Keempat persoalan tersebut adalah fenomena kelembagaan yang terjadi di Indonesia, yang pada akhirnya meletakkan pelaku ekonomi dalam dua posisi berseberangan: sebagai pemenang atau pecundang. Dengan dasar inilah persoalan kemiskinan –dan bukan sekadar ketimpangan- muncul ke permukaan.
Konfigurasi Kemiskinan
Dalam konteks kelembagaan itulah setidaknya terdapat empat penyebab munculnya barisan kaum miskin di Indonesia: (i) kekuataan antara kelompok bisnis besar dan sektor marjinal yang timpang sehingga energi untuk memengaruhi kebijakan menjadi timpang, termasuk di dalamnya kegagalan untuk membangun simetri kegiatan antarpelaku ekonomi (hulu dan hilir); (ii) ketidakseimbangan laju pembangunan antarsektor ekonomi. Kebijakan mendorong pembangunan sektor industri/jasa tanpa melibatkan sektor pertanian di masa lalu, misalnya, telah menciptakan penyebaran kantong-kantong (enclaves) kemiskinan; (iii) penyeragaman kebijakan antikemiskinan untuk seluruh target masyarakat sehingga mengabaikan aspek heterogenitas budaya dan spesifikasi lokalitas; dan (iv) penetrasi globalisasi/liberalisasi yang begitu dalam sehingga mengakibatkan pelaku ekonomi skala kecil terlempar dari pusat kegiatan ekonomi, seperti yang terlihat dari penggusuran pasar tradisional/sektor informal.
Pada titik inilah melihat fenomena kemiskinan dari sudut “structure of power” menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditunda. Struktur kekuasaan ini bisa dibuka dari tiga pintu. Pertama, mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang berpotensi meluaskan skala kemiskinan akibat sabotase pemilik modal yang bisa membeli kebijakan tersebut. Contohnya, pemanfaatan kawasan ekonomi rakyat (pasar tradisional) untuk pembangunan pusat perbelanjan modern (hypermart) yang terjadi pada hampir semua kota besar di Indonesia. Kedua, melakukan verifikasi atas kepemilikan aset ekonomi produktif yang timpang antarpelaku ekonomi, diantaranya kepemilikan tanah dan akses kredit. Ketiga, memilah jenis-jenis hubungan kesepakatan antarpelaku ekonomi (institutional arrangements) yang tidak memberikan kesetaraan dalam pemetikan profit maupun biaya atas aktivitas yang dikerjakan. Ini berlaku untuk setiap relasi ekonomi, khususnya antara pelaku ekonomi di sektor hulu dan hilir.
Secara umum ada dua poros strategi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk meredam pembengkakan kemiskinan. Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan membenahi infrastruktur politik (political infrastructure) yang menjadi penyebab kemiskinan. Pengertian infrastruktur yang tidak laik di sini adalah situasi ketidaksepadanan antarpelaku ekonomi. Jalur politik yang harus diagendakan adalah: (a) menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya kasus buruh dan pemilik modal, petani penggarap dan tuan tanah, relasi peternak susu-tengkulak-pemilik toko); (b) menata kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang, misalnya lewat kebijakan distribusi lahan (land reform) dan memutar haluan kredit; dan (c) transparansi dalam pengambilan kebijakan sehingga tidak terbuka kesempatan bagi pemilik modal menelikung kebijakan yang hendak dirumuskan oleh pemerintah, di mana hal ini kerap sekali terjadi.
Kedua, kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan (poverty reduction). Dalam kajian ekonomi kelembagaan, yang bisa memengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi dan distribusi (pendapatan) adalah jenis kelembagaan dan kebijakan (ekonomi). Dua negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi sama, belum tentu mempunyai implikasi distribusi pendapatan yang sama pula. Dalam kasus ini, pilihan kebijakan ekonomi semacam perdagangan internasional (pengenaan tarif untuk produk pertanian), fleksibilitas nilai tukar (disesuaikan dengan daya saing produksi nasional), penciptaan lapangan kerja (public expenditure), pajak progresif, dan sistem pengupahan yang adil; akan menjamin bahwa setiap tingkat pertumbuhan ekonomi yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok miskin (pro-poor growth). Jika prosedur ini berlangsung, maka dengan sendirinya jumlah penduduk miskin bisa dikurangi tanpa melalui paket karitas pemerintah, seperti yang selama ini selalu diulang.
Majalah ADIL, No. 16, 17-30 Mei 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)